Minggu, 25 Mei 2008

Catatan Literer:

Isu Kepemimpinan Alternatif
dalam Buku


Oleh: Nurani Soyomukti*)

Keti
ka menulis buku “Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Politik Radikal” (Resist Book, Yogyakarta 2007), “Hugo Chavez Vs. amerika Serikat” (Garasi, Yogyakarta 2008), dan “Revolusi Sandinista” (Garasi, Yogyakarta 2008), yang terbayang dalam benak saya memanglah upaya untuk menggambarkan kepemimpinan politik alternatif yang sangat kita butuhkan pada saat bangsa kita sedang mencari-cari jalan untuk menemukan hal yang sama. Ketika sekarang ini isu di negeri ini didominasi oleh kepemimpinan nasional dalam kaitannya dengan pemilu 2009, nampaknya dunia perbukuan telah lama memulainya.

Maksud saya, keberadaan buku-buku dengan tema tokoh-tokoh dan pemimpin alternatif dari Negara-negara lain seperti Iran (Ahmadinejjad), Bolivia (Evo Morales), Cuba (Fidel Castro), Venezuela (Hugo Chavez), yang merupakan contoh-contoh pimpinan yang berani di era ini turut mewarnai dunia perbukuan. Saya sendiri mengakui bahwa saya ingin menunjukkan bahwa kepemimpinan alternatif itu masih ada, dan itu seharusnya ditiru oleh negeri yang mengalami krisis kepemimpinan politik seperti Indonesia di tengah-tengajh krisis ekonomi yang menyengsarakan.

Sekedar Otobiografis(?)
Tokoh-tokoh yang diangkat dalam buku-buku di atas seringkali disebut sebagai tokoh radikal dan pemberani di abad ini karena mereka memiliki jalan lain untuk memenuhi tuntutan rakyatnya dan berani melawan dominasi global di bawah kepemimpinan Amerika Serikat (AS).

Tokoh-tokoh tersebut menjalankan kebijakan alternatif yang berbeda dengan jalan ekonomi neoliberal dan seringkali menghiasi berita dunia saat berkomentar secara keras terhadap kebijakan Washingrton. Secara umum, mereka adalah para pemimpin yang menegaskan kemandirian nasional bagi negaranya. Pada saat para elit dan pemimpin Indonesia selalu tunduk dan patuh pada AS dan lembaga-lembaga ekonomi global yang menyebabkan negeri ini terpuruk dan tergantung, kehadiran tokoh-tokoh alternatif di atas tentu mendapatkan perhatian di kalangan masyarakat.

Yang pertanyaan kemudian adalah: apakah buku-buku tersebut akan ikut mendorong kesadaran masyarakat akan munculnya kepemimpinan alternatif di negeri ini?
Atas pertanyaan itu, saya pesimis. Saya melihat bahwa penulisan buku tentang para pemimpin-pemimpin radikal tersebut hanya menekankan sisi biografis, yang kebanyakan menggambarkan pemujaan individual para tokoh tersebut. Seakan para penulis dan penerbitnya hanya ingin memanfaatkan popularitas sang tokoh untuk mendapatkan keuntungan, sehingga dengan menerbitkan buku tokoh-tokoh radikal tersebut.

Buku yang baik, menurut saya, bukanlah buku yang hanya sekedar mendiskripsikan sesuatu, apalagi dengan bumbu-bumbu yang mengilusi dan tidak mengambarkan sisi histroris secara dialektis. Hal ini harus dihindari dengan cara mengambarkan kontradiksi yang terjadi di masyarakat yang melahirkan sang pemimpin, dengan mengangkat bagaimana kesadaran massa dan gerakan yang dibangun oleh pemimpin tersebut. lebih jauh, bagaimana sang pemimpin menggunakan landasan pemikiran, strategi-taktik, dan program perjuangan merupakan hal terpenting yang harus diangkat dalam sebuah buku tentang tokoh.

Lebih jauh, penulis juga seharusnya kritis dan mampu melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada pemimpin tersebut. juga perlu untuk membandingkannya dengan tokoh-tokoh lain, terutama tokoh negeri ini baik di era dulu maupun sekarang. Kita pernah punya tokoh Soekarno dan banyak buku-buku yang hingga kini juga bic
ara mengenainya, tetapi apakah tokoh ini bisa menginspirasi bagi pencarian figure alternatif? Penulisan biografi Soekarno juga tak sedikit yang terjebak pada kultus individu, sebagaimana ia juga merupakan tokoh yang punya kecenderungan mempertahankan kultus itu. Bung Karno disebut sebagai “penyambung lidah rakyat”, yang mungkin dapat berkonotasi bahwa rakyat tidak perlu bersuara sendiri karena sudah suaranya sudah dapat diwakili oleh mulut Bung Karno. Personalitas politik yang demikian inilah yang membuat pendidikan politik dan demokrasi tidak maju karena rakyat pada akhirnya pasif; pola hubungan antara elit atau pimpinan politik bersifat patron-client dan bukannya sejajar (demokratis). Bahkan posisi Bung Karno juga dianggap sebagai bapak, dan banyak orang yang memanggilnya “Bapak”—dan ia memang sangat menikmati posisi dan pujaan-pujaan yang diterimanya.

Bahkan semua kekuatan politik sangat terpengaruh pada gaya kepemimpinannya dan tidak memiliki kemandiriannya sendiri. PKI (Partai Komunis Indonesia), yang telah disepakati oleh para peneliti sebagai motor utama kekuatan utama anti-imperialis di Indonesia, juga sangat tergantung pada Bung Karno. Nama Bung Karno juga sering dimanfaatkan untuk memobilisasi massa dan kepentingan politik oleh tokoh-tokoh di negeri ini. Memanfaatkan nama Bung Karno, sayangnya, justru diiringi dengan deideologisasi Bung Karno. Bukan ajaran besarnya (NASAKOM), tetapi hanya namanya yang seringkali disebut-sebut.

Ketika menulis “Revolusi Bolivarian”, saya berusaha menghindari pengkultusan itu dengan lebih banyak mennggambarkan kondisi gerakan rakyat yang melahirkan Chavez dan bukan sosok Chavez semata. Kultus individu adalah suatu hal yang sangat membahayakan demokrasi yang harus disadarkan pada analisa objektif terhadap realitas dan bukannya pada prasangka dan pengaruh orang lain (tokoh individu). Dan Chavez justru menjadi orang yang menyadari pentingnya kemadirian rakyat. Dia berkali-kali mengungkapkan keinginannya bahwa rakyat harus memiliki kekuatannya sendiri. “Untuk menghapus kemiski
nan, kamu harus memberikan kekuasaan pada rakyat miskin (to eradicate poverty, you must give power to the poor),” demikian kata Chavez.

Kekuasaan di tangan rakyat miskin adalah kesadaran politik yang ditekankan pada kepercayaan diri rakyat bahwa mereka punya kekuatan dan, karenanya, mereka tidak boleh tergantung pada seseorang saja. Artinya, Chavez percaya bahwa letak kekuatan rakyat adalah independensinya dan sekaligus solidaritasnya untuk menangani masalah bersama. Ia juga menolak rakyat atau manusia dijadikan “mesin”, suatu hal yang dianggap bisa diatur dan diperintah tanpa kemampuan berpikir dan bergerak sendiri. Kemanusiaan, bagi Chavez dalam pernyataannya itu, harus diletakkan di atas segalanya, sebagai prinsip. Bukannya Negara yang harus diletakkan di atas segalanya.

Chavez nampaknya juga cukup paham adanya fakta bahwa mendominasi rakyat di bawah Negara akan menghilangkan demokrasi. Inti demokrasi adalah dinamika massa rakyat dalam mendiskusikan dan mengarahkan aktivitas ekonomi-politiknya, dan bukan semata-mata tergantung dari atas. Kalau dinamika dan keterlibatan massa di bawah dipotong, kecenderungannya akan menjadi masyarakat yang terpimpin secara totaliter, sebagaimana terjadi pada masa Stalin di Rusia dan Negara-negara sosialis lainnya yang mengarah pada totalitarianisme. Buku-buku tentang tokoh-tokoh totaliter juga banyak ditulis, bagaimana kita akan dapat belajar jika kisahnya hanya terpaku pada tokoh dengan polesan penulisan secara hitam-putih dan bahkan propagandis? Wallahu’alam!!!


Tidak ada komentar: