Minggu, 25 Mei 2008

Dimuat di Jawa Pos, 20 Mei 2008:

Mengembalikan Perguruan Tinggi pada Peran Lokal

Oleh: NURANI SOYOMUKTI

Peran Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia cukup penting dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat. PT menjadi pemasok tenaga-tenaga yang dibutuhkan bagi berjalannya roda kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Bahkan konsep pembangunan masyarakat juga lahir dari kalangan terdidik yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Lebih jauh lagi, kepemimpinan intelektual dan politik di negeri ini juga lahir dari PT. Bagi Indonesia yang telah memasuki fase demokratisasi yang ditandai dengan adanya kebijakan desentralisasi, peran PT sudah mulai harus diarahkan untuk menjawab problem-problem lokal.

Penguatan komunitas masyarakat harus didasarkan pada upaya untuk memberikan sumbangan pada masyarakat di mana PT berada. Hal ini karena PT sebagai lembaga pendidikan dihidupi oleh masyarakat setempat dan, karenanya, ia harus menghidupi lingkungannya. Masalahnya, di manapun pendidikan tidak pernah berdiri sendiri tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial di mana pendidikan diselenggarakan (Mansour Fakih, 2002).

Sebuah PT yang berada di suatu kota, katakanlah Surabaya, dihidupi oleh sebuah kota di mana tempat itu didatangi oleh mahasiswa dari berbagai penjuru tempat. Interaksi antara para pendatang dengan masyarakat lokal (Surabaya) tentu memunculkan semacam keterkaitan sosial, ekonomi, bahkan politik yang memengaruhi berjalannya kehidupan di Surabaya.

Kedatangan mereka banyak mempengaruhi dinamika sosio-ekonomi yang menyebabkan eksistensi kampus bertahan dan posisinya semakin established di sebuah kota. Kampus-kampus besar di Jawa Timur juga memiliki posisi yang sama. Beberapa PT besar tentu memoles keperkasaan yang kemudian terpancar dari wilayah Jawa Timur yang dinamis.Nasionalisasi Peran PTDinamika itu tentu saja terdiri dari berbagai macam kemajuan dan sekaligus keterbelakangan. Kemegahan PT tidak boleh melepaskan perannya terhadap dinamika lokal tersebut.

Selama ini ada kecendurungan bahwa PT, terutama yang merasa dirinya sebagai yang paling besar dan bonafid di berbagai wilayah Indonesia, berupaya keras untuk bersaing dalam mewarnai pentas nasional dan internasional. Para peneliti dan figur akademisnya berusaha menampilkan diri untuk berperan dalam pentas nasional. Bahkan semua akademisi yang ada juga lebih banyak bicara (berkomentar di media, menulis opini, menjadi pembicara seminar) dan beraktivitas dalam konteks urusan nasional.Hal itu memang telah menjadi kebiasaan lama dari tendensi peran akademis PT.

Tumbuhnya PT di Indonesia memang beriringan dengan munculnya nasionalisme Indonesia yang mau tak mau harus diarahkan pada upaya untuk menyebarkan gagasan kebangsaan yang melampaui lokalitas (kedaerahan). Bahkan di era tahun 1960-an, kampus-kampus begitu pandai mengilmiahkan nasionalitas yang dihadapkan pada musuh dari luar (neo-imperialisme). PT juga menjadi begitu politis karena kalangan kampus banyak berdebat tentang bagaimana membangun bangsa dengan ditandai oleh konflik-konflik ideologis.

Bisa dikatakan, saat itu tidak ada tempat sedikitpun bagi lokalitas karena semua pemikiran dan tindakan yang lahir dari PT terserap kepada konflik politik elit di tingkat nasional. Pidato Soekarno di depan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) pada tahun 1959 menandai hal paling penting bagi upaya menarik semua potensi bangsa ini ke dalam nasionalitas. Heroisme nasionalisme bernuansa Kiri melawan penjajahan diteriakkan keras-keras dalam pidato ini.Situasi politis di PT berakhir saat Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah terjadi pembantaian dan penangkapan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya.

Dan tidak sedikit dari mereka yang ditahan ini adalah tokoh-tokoh kampus yang penting karena tokoh-tokoh PKI juga banyak yang beraktivitas sebagai tokoh yang tersohor dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sementara Soeharto selama 32 tahun juga masih menempatkan kampus untuk memacu pembangunan (developmentalisme), dengan catatan bahwa ia telah menumpulkan situasi politis PT. Para tokoh akademisi dari kampus ternama menjadi fungsionaris pembangunan yang berkiblat pada modernisasi ala kapitalis Barat.

Sayang, banyak PT di Indonesia juga begitu terlenanya untuk memberikan legitimasi ilmiah terhadap fondasi pembangunan yang keropos dengan menegasikan potensi sosio-ekonomi dan politik lokal. PT baik yang di kota besar maupun yang berada di pinggiran sibuk untuk menyebarkan mantra-mantra pembangunan yang bersifat sentralistik di bawah kendali instrument politik Orde Baru (ABG: ABRI, Birokrasi, Golkar).

Potensi Daerah
Setelah wacana desentralisasi muncul, kebutuhan untuk membangun dari daerah mulai disadari. Potensi lokal harus mulai digarap secara maksimal untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat. Budaya lokal yang positif harus dijaga kelestariannya dan dijadikan aset yang berguna bagi kekayaan daerah. Kebutuhan itu mengundang PT untuk memainkan perannya, melakukan penelitian, mengkonseptualisasi kebijakan yang efektif dan menjawab persoalan.Berbagai persoalan yang ada di daerah juga membutuhkan pemikiran dan rekomendasi-bahkan keterlibatan-dari kalangan PT yang ada di daerah setempat.

Sikap tanggap dan peka akan permasalahan daerah setempat perlu terus dipupuk. Jika di suatu daerah terjadi kemacetan atau penumpukan sampah secara berlebihan, misalnya, perguruan tinggi yang ada di sana perlu memberi rekomendasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Selama ini perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mampu menghasilkan riset-riset berkualitas tinggi. Selain itu, juga mampu mencetak lulusan-lulusan yang cerdas dan berkualitas. Namun, perguruan tinggi kurang mampu memberi sumbangan bagi pemecahan masalah di daerahnya. Dan mulai sekarang paradigma posisi dan peran PT itu harus diubah. PT harus merasa memiliki dan dimiliki daerahnya, biar pendidikan tidak tercerabut dari akar sosialnya.

(*)NURANI SOYOMUKTIJaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Surabaya

Tidak ada komentar: