Kamis, 29 Mei 2008

Dari Bedah Buku di Banyuwangi:

Tinggalkan “Aksi Ranjang”, Lakukan “Aksi Jalanan”!
(Makalah Bedah Buku “DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS” Kamis 29 Mei 2008, di Auditoroim Lt. 2 Universitas 17 Agustus (UNTAG) Banyuwangi)

Oleh Nurani Soyomukti

Seks adalah v
ariabel independen. Seks selalu ada dalam tubuh manusia karena manusia adalah homo seksualis (makhluk seksual). Menekan kebutuhan seks adalah menyangkal keberadaan (eksistensi) manusia. Tetapi, mengumbar kebutuhan seks juga tidak menjelaskan hakekat kita sebagai manusia. Hidup bukan hanya seks, meskipun seks tetap kebutuhan yang sangat penting.

Keadilan pemenuhan seks adalah awal dari harmoni peradaban. Kita lihat sekarang, pemenuhan kebutuhan seks dibatasi oleh berbagai macam belenggu, mulai agama, negara, moral, hingga—yang paling penting adalah—tatanan ekonomi. Tanpa negara, agama, maupun moral, seks tetap lah ada dalam tubuh manusia.

Karenanya yang harus kita gugat adalah ketidakadilan ekonomi yang diskriminatif. Mayoritas rakyat miskin tetap kesulitan bertahan hidup, tertekan dalam melangsungkan proses produksi dan reproduksi. Para pemuda penganggur di desa-desa dan perkotaan tidak siap untuk mendapatkan seks secara “halal” karena—untuk menikah (jika ini salah satu cara “halal” untuk “ngeseks”)--dihadapkan pada kemiskinan. Maka, jalan “jahat” untuk mendapatkan seks adalah tindakan anti-demokrasi dan pelacuran.

KAPITALISME: JUAL BELI TUBUH!
Dan pelacuran atau jual-beli tubuh adalah pilar dari masyarakat kapitalisme. Pada akhir-akhir ini banyak kasus-kasus perkosaan dan seks bebas yang disebabkan oleh gambaran tubuh telanjang yang membodohi. Yang dialami rakyat adalah: dari ketertindasan ekonomi-politik menjadi perbuatan kriminal. Di berbagai tempat (terutama media-media kapitalis), mereka disuguhi tubuh-tubuh glamour yang menawarkan gaya hidup. Ketika rakyat miskin, yang banyak numpang nonton TV di rumah tetangganya, melihat kemewahan keluarga-keluarga dalam sinetron dan telenovela, di dalam hati mereka sangat mendambakan kehidupan seperti itu. Kebutuhan dan keinginan mereka dirangsang, dalam alam bawah sadar mereka menginginkan segala sesuatu yang mereka lihat.

Tetapi tidak bisa menjelaskan kenapa mereka tidak bisa seperti orang lain yang mampu memenuhi segala kebutuhannya, seperti gaya hidup selebritis yang ditonton dalam acara infoteinmen (yang tubuhnya estetis karena dirawat dan didandani dengan aksesoris dan pakaian yang mahal-mahal). Mereka hanya bisa pasrah dan dalam banyak hal dimanfaatkan dalam mobilisasi politik kaum elit feodal dan borjuasi. Banyak orang yang stressed dalam budaya yang mengobral tubuh dan kemewahan yang dalam pemenuhannya hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu. Makanya, muncullah praktek-praktek “ilegal” dalam kehidupan sehari-hari. Seperti diungkapkan Ignas Kleden pada tahun 1980-an, bahkan sebelum budaya masyarakat belum sedangkal sekarang: ”...godaan terhadap suatu gaya hidup yang belum dapat didukung oleh penghasilan yang sah, dengan mudah dapat membawa orang kepada praktek-praktek ilegal dan tidak sah untuk memperoleh penghasilan tambahan guna membiayai hidup yang dicita-citakan.”
?

Tubuh yang “dicita-citakan” oleh masyarakat KAPITALIS yang terstandardisasi oleh iklan, dengan demikian adalah tubuh yang akhirnya bisa digunakan untuk kepentingan kapitalisasi dan komersialitas. Tubuh dijadikan alat dalam iklan, pada saat yang sama “ideal keindahan tubuh” juga dikonstruk dan distansardisasi agar memudahkan para produsen untuk menyesuaikan antara citra produk dengan gairah membeli masyarakat.

Produsen budaya kapitalis telah mensandardisasi estetika tubuh sampai hal-hal yang terkecil, mulai dari ukuran (besar-kecil), bentuk, warna, dan bahkan bau. Standar ini digunakan untuk meluncurkan produk-produk yang meluas, misalnya komoditas yang bisa membuat tubuh seksi, payu dara besar, pinggang ramping; yang bisa meninggikan badan; yang dapat menimbulkan aroma atau bau badan (parfum); yang dapat memutihkan, menghaluskan, dan melembabkan kulit; dan produk-produk yang dapat meningkatkan estetika tubuh (dan bagian-bagiannya) yang telah terstandardisasi.

Hal itu juga seiring dengan ideologi pemujaan tubuh yang meluas, yang awalnya dilakukan oleh para pekerja iklan dan hiburan dalam masyarakat kapitalis. Tubuh dan seluruh bagiannya harus dirawat kalau orang mau berharga dan bernilai dalam masyarakat komoditas ini. Aerobik, fitness, bodybuilding, operasi plastik, facial cream, dan cara-cara estetisasi tubuh lain dilakukan oleh orang yang berpunya uang dan juga untuk mengisi waktu luang.

Maka tubuh adalah modal dalam industri budaya itu sendiri. Tubuh digunakan untuk mencari uang, tanpa dukungan alat produksi lain pun jadi. Seorang wanita “cantik” dan “seksi” bisa dengan mudah menjadi peragawati ataupun bintang sinetron; kecantikan dan daya tariknya dengan sendirinya menjadi daya tawar (modal) untuk menjalani hubungan produksi uang dengan orang dan lembaga kapitalis lain. Dalam masyarakat kapitalis, jika kita berharga, maka akan banyak yang beli kita, harganyapun tinggi.

TUBUH-TUBUH DI KAMPUS
Beberapa tahun lalu ada kasus yang cukup terkenal di sebuah kampus di kota Bandung. Namanya adalah “ITENAS 15”—yaitu video cabul dua orang mahasiswa di Bandung. Kedua mahasiswa Bandung itu mengabadikan hubungan intimnya dalam sebuah kaset CD. Sayangnya video itu tersebar dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Hubungan intim keduanya pun terpublikasikan di mana-mana.

Belakangan kasus serupa juga seringkali terjadi. Artinya, itu bukan kasus yang pertama dan yang terakhir. Kasus semacam itu, tentu saja, tidak harus semata-mata hanya dipahami sebagai kebobrokan mental (mahasiswa sebagai makhluk) manusia, terutama sebagai homo seksualis. Kita harus jujur: Seks adalah realitas.

Dalam buku yang berjudul ”Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme” ini, saya telah menguraikan kencenderungan seksual dalam tingkahlaku mahasiswa sekarang ini dengan tinjauan filosofis dan psikologis—terutama memanfaatkan pandangan Sigmund Freud, Karl Marx, dan Kahlil Gibran.
[2]

Kebejadan seksual yang terjadi di kalangan mahasiswa dan masyarakat secara umum tak bisa dilepaskan dari perkembangan tatanan ekonomi kapitalis. Dalam kapitalisme seks ditebarkan secara habis-habisan, bukan hanya secara sembunyi-sembunyi, tetapi semakin terang-terangan. Nafsu seks masyarakat dirangsang dan mereka sekaligus memberikan pelajaran liberalisme seks.

Kamu tahu kan bahwa di jaman sekarang ini, tontonan porno begitu mudah dilihat? Tayangan-tayangan TV, film, dan media cetak juga banyak sekali yang mengumbar pornografi, belum lagi film porno yang dengan mudah diakses lewat internet dan bahkan di-download ke HP. Intinya adalah bahwa, kapitalisme ingin bertahan dengan cara mempengaruhi kamu untuk menjadi remaja/kaum muda yang permisif dan suka merayakan kebebasan semacam seks bebas. Karena kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana keutamaannya adalah pengejaran keuntungan sebanyak-banyaknya bagi mereka yang memiliki modal dan menjalankan industri, maka industri seks juga merupakan suatu kegiatan ekonomi yang mendatangkan banyak keuntungan. Produksi seks, selain menguntungkan, juga akan menciptakan anak-anak muda yang mudah dicetak menjadi generasi yang mudah diatur.

Di negara-negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat, misalnya, 4000 film porno diproduksi setiap tahun, dan uang yang dihasilkan lebih dari 12 milyar AS. Sebuah suvey memperkirakan penduduk Amerika Serikat setiap tahun mengeluarkan $8-10 milyar untuk mendapat majalah, kaset video atau akses ke siaran dan situs internet porno.
[3]

Tentunya hal itu membawa akibat moral yang buruk bagi masyarakat. Sebuah survey oleh majalah Women’s Day mengatakan 21% dari 6.000 pembacanya pernah mengalami serangan atau pelecehan seksual sebagai akibat langsung dari konsumsi pornografi. Studi lain mengatakan tontonan pornografi cenderung membuat laki-laki menjadi lebih agresif terhadap perempuan.

Sebaliknya kekerasan seksual juga cenderung mendorong perempuan untuk terlibat dalam industri pornografi. Sekitar 70% perempuan dalam industri ini pernah mengalami serangan seksual atau menjadi korban incest semasa kecil. Dalam beberapa tahun belakangan kecenderungan melibatkan anak-anak dalam industri ini pun semakin besar untuk melayani konsumen pedofilia yang juga semakin meningkat.

Di Indonesia juga sama. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh dr. Andik Wijaya, DMSH terhadap 202 remaja di kota Malang, pada bulan September 2001, juga begitu adanya. Dengan 51, 5 % responden pria, 48, 5 % wanita. 6 % beusia 13-15 tahun, 67,3 % berusia 16-18 tahun, dan 26,7 % berusia diatas 18 tahun. Dari hasil penelitian itu terungkap bahwa 7 % dari responden mengaku melakukan aktifitas oral sex. 100 persen mereka yang melakukan oral sex ini mengaku mendapatkan gagasan untuk melakukan oral sex dari VCD porno yang mereka lihat, disamping itu 73 persen dari teman, 66 persen dari internet, 47 persen dari media cetak seperti koran, tabloid, maupun majalah.

Gambaran itu adalah petunjuk bagi kita betapa buruknya akibat yang ditimbulkan bagi liberalisasi tubuh. Para ”pekerja tubuh” di kalangan artis-selebritis memberika sumbangan yang besar bagi liberalisasi budaya dan secara nyata mendukung terciptanya liberalisasi pasar (ekonomi neoliberal) yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat. Mereka merelakan dirinya (tubuhnya) dieksploitasi dan pemilik industrilah yang paling banyak mendapatkan keuntungan.

CINTA SEJATI ADALAH “PERLAWANAN”
Percayalah, patokan cinta itu bukan sinetron atau film porno. Cinta memang indah, apalagi kalau dilambari nafsu—pasti memabukkan dan membuat kamu lupa diri. Tapi cinta bukan hanya kesenangan, tapi kebersamaan—bahkan termasuk kesedihan dan kebersamaan yang dibagi bersama. “Cinta bukan sekedar kata-kata”, begitu dilantunkan Once vokalis Dewa 19 dulu. Cinta adalah tindakan, perbuatan, komitmen untuk menciptakan kebaikan bersama. Makanya cinta itu dekat dengan konsep keadilan (justice) dan kesamaan (equality).

Tapi tidak semua lagu-lagu pop yang kamu dengarkan memberikan ajaran Cinta dengan baik. Lagu penuh pujaan memang mewakili rasa senang seorang mahasiswa dan meyakinkan bahwa mencari pasangan hidup (pacaran) adalah kegiatan yang paling penting. Sinetron juga demikian. Ada ajaran penting yang ada dalam sinetron. Ada dya kemungkinan bagi seorang remaja (dalam kisah sinetron) apabila ia tertolak cintanya: (1) ia menangis/cengeng atau pasrah dan berdoa pada Tuhan; (2) ia agresif jahat dan melakukan segala cara agar tujuannya terpenuhi (biasanya dikisahkan dengan melakukan tindakan-tindakan licik baik oleh dirinya sendiri maupun meminjam orang lain, hingga menggunakan bantuan “setan”—sebagaimana digambarkan dalam kisah sinetron “gaib-gaiban”.

Kedua hal itulah yang kemudian diikuti oleh masyarakat kita dalam bertindak untuk memaknai hidupnya dan hubungannya dengan orang lain. Ajaran picik dari sinetron itu turut bertanggungjawab untuk melemahkan dan merusak mental masyarakat, terutama juga kamu sebagai mahasiswa. Kemudian, makna cinta palsu lah yang banyak dipahami dan dilakukan oleh masyarakat kita.

Kalau kamu pacaran, tetapi kamu masih punya pikiran jernih akan apa yang terjadi dan kamu juga masih banyak meluangkan waktu untuk berperan dalam gerakan, maka kamu memang tidak sepicik teman-teman kamu yang waktunya habis-habisan di habiskan untuk pacaran dan bersenang-senang. Apalagi jika kalian berdua (kamu dan pacar kamu) sama-sama berperan dalam gerakan sosial-politik untuk perubahan, itu akan lebih bagus. Kalian nantinya akan menikah, membangun keluarga berdasarkan pengetahuan dan peran sosial di masyarakat, menghidupi keluarga tetapi juga masih punya tindakan bagi perjuangan untuk perubahan demi keadilan yang kini sedang dibangun oleh berbagai gerakan di berbagai negara—Wah, keluarga semacam itulah yang merupakan keluarga produktif! Kamu dan pacar/istrimu pun akan melahirkan anak-anak dan cucu-cucu yang diwarisi dengan cita-cita mulia, pengetahuan, keberanian, dan keterlibatan dalam perjuangan melawan penindasan.

Maka, dapat disimpulkan bahwa selama masih terjadi penindasan di masyarakat, Cinta Sejati yang paling agung adalah berhubungan dengan banyak orang dan membangun tindakan kolektif (kebersamaan) untuk membicarakan perubahan bagi masa depan umat manusia. Dalam sebuah situasi kehidupan yang dipenuhi kontradiksi, Cinta sejati nampak dalam perlawanan yang tegas dan berani terhadap keangkara-murkaan yang ada di depan kita.
Maka, sebagaimana dikatakan oleh Che Guevara, “tingkat tertinggi dari cinta adalah perlawanan (revolusi)”. Hal itu senada dengan pandangan seorang filsuf pendidikan dari Brazilia, Pailo Freire, yang pernah mengatakan:
[4]

“Saya akui bahwa saya tidak percaya pada revolusi yang mengingkari adanya cinta, yang meletakkan isu cinta dalam tanda kurung. Dalam hal ini, saya termasuk “Guevarian”, Che Guevarian. Cinta dan revolusi itu berjalan bersama. Sensualisme itu berisi tubuh dan dibuat secara eksplisit oleh tubuh, sekalipun terkait dengan kemampuan kognitif. Akan terasa absurd jika kita memisahkan antara usaha yang teliti untuk mengetahui dunia dan keinginan untuk mengetahui. Saya tertarik bukan hanya pada dunia, tetapi pada proses mempelajari dunia secara sungguh-sungguh”.
—(Pauol Freire)—

***
___________________________
Catatan:
? Ignas Kleden, Transnasionalisasi Gaya Hidup: Pengalaman Indonesia, dalam “Sikap Ilmiah & Kritik Kebudayaan”, cetakan ke-2 (Jakarta: LP3ES, 1998) hal. 275
[2] Lihat Nurani Soyomukti. Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme. Yogyakarta: Garasi Book, 2008
[3] ”Dua Bintang Porno AS Terinfeksi HIV/AIDS”, dalam http://kaskus.us/archive/index.php/t-115729.html
[4] Paulo Freire. Pendidikan Masyarakat Kota. Yogyakarta: LKiS,2003, hal. 81

Minggu, 25 Mei 2008

Undangan Bedah Buku:


Undangan Terbuka

Hadirilah
BEDAH BUKU “DARI DEMONTRASI HINGGA SEKS BEBAS”

Hari/Tanggal:
Kamis/29 Mei 2008

Jam:
10.00-14.00

Tempat:
Lantai II Auditorium Universitas 17 Agustus (UNTAG)
Banyuwangi

Pembicara:
- Nurani Soyomukti (penulis/aktivis Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional—JAMAN—Jawa Timur);
- Bpk Sugihartoyo (Rektor Universitas 17 Agustus/UNTAG Banyuwangi);
- Bpk Eko Sukartono (Wakil Ketua DPRD Banyuwangi);
- Hary P.R. (KPU Banyuwangi);
- Ketua GMNI Banyuwangi.

Mohon kehadirannya untuk persebaran gagasan dan persemaian aksi kaum muda!!!

Salam…

Dimuat di Jawa Pos, 20 Mei 2008:

Mengembalikan Perguruan Tinggi pada Peran Lokal

Oleh: NURANI SOYOMUKTI

Peran Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia cukup penting dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat. PT menjadi pemasok tenaga-tenaga yang dibutuhkan bagi berjalannya roda kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Bahkan konsep pembangunan masyarakat juga lahir dari kalangan terdidik yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Lebih jauh lagi, kepemimpinan intelektual dan politik di negeri ini juga lahir dari PT. Bagi Indonesia yang telah memasuki fase demokratisasi yang ditandai dengan adanya kebijakan desentralisasi, peran PT sudah mulai harus diarahkan untuk menjawab problem-problem lokal.

Penguatan komunitas masyarakat harus didasarkan pada upaya untuk memberikan sumbangan pada masyarakat di mana PT berada. Hal ini karena PT sebagai lembaga pendidikan dihidupi oleh masyarakat setempat dan, karenanya, ia harus menghidupi lingkungannya. Masalahnya, di manapun pendidikan tidak pernah berdiri sendiri tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial di mana pendidikan diselenggarakan (Mansour Fakih, 2002).

Sebuah PT yang berada di suatu kota, katakanlah Surabaya, dihidupi oleh sebuah kota di mana tempat itu didatangi oleh mahasiswa dari berbagai penjuru tempat. Interaksi antara para pendatang dengan masyarakat lokal (Surabaya) tentu memunculkan semacam keterkaitan sosial, ekonomi, bahkan politik yang memengaruhi berjalannya kehidupan di Surabaya.

Kedatangan mereka banyak mempengaruhi dinamika sosio-ekonomi yang menyebabkan eksistensi kampus bertahan dan posisinya semakin established di sebuah kota. Kampus-kampus besar di Jawa Timur juga memiliki posisi yang sama. Beberapa PT besar tentu memoles keperkasaan yang kemudian terpancar dari wilayah Jawa Timur yang dinamis.Nasionalisasi Peran PTDinamika itu tentu saja terdiri dari berbagai macam kemajuan dan sekaligus keterbelakangan. Kemegahan PT tidak boleh melepaskan perannya terhadap dinamika lokal tersebut.

Selama ini ada kecendurungan bahwa PT, terutama yang merasa dirinya sebagai yang paling besar dan bonafid di berbagai wilayah Indonesia, berupaya keras untuk bersaing dalam mewarnai pentas nasional dan internasional. Para peneliti dan figur akademisnya berusaha menampilkan diri untuk berperan dalam pentas nasional. Bahkan semua akademisi yang ada juga lebih banyak bicara (berkomentar di media, menulis opini, menjadi pembicara seminar) dan beraktivitas dalam konteks urusan nasional.Hal itu memang telah menjadi kebiasaan lama dari tendensi peran akademis PT.

Tumbuhnya PT di Indonesia memang beriringan dengan munculnya nasionalisme Indonesia yang mau tak mau harus diarahkan pada upaya untuk menyebarkan gagasan kebangsaan yang melampaui lokalitas (kedaerahan). Bahkan di era tahun 1960-an, kampus-kampus begitu pandai mengilmiahkan nasionalitas yang dihadapkan pada musuh dari luar (neo-imperialisme). PT juga menjadi begitu politis karena kalangan kampus banyak berdebat tentang bagaimana membangun bangsa dengan ditandai oleh konflik-konflik ideologis.

Bisa dikatakan, saat itu tidak ada tempat sedikitpun bagi lokalitas karena semua pemikiran dan tindakan yang lahir dari PT terserap kepada konflik politik elit di tingkat nasional. Pidato Soekarno di depan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) pada tahun 1959 menandai hal paling penting bagi upaya menarik semua potensi bangsa ini ke dalam nasionalitas. Heroisme nasionalisme bernuansa Kiri melawan penjajahan diteriakkan keras-keras dalam pidato ini.Situasi politis di PT berakhir saat Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah terjadi pembantaian dan penangkapan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya.

Dan tidak sedikit dari mereka yang ditahan ini adalah tokoh-tokoh kampus yang penting karena tokoh-tokoh PKI juga banyak yang beraktivitas sebagai tokoh yang tersohor dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sementara Soeharto selama 32 tahun juga masih menempatkan kampus untuk memacu pembangunan (developmentalisme), dengan catatan bahwa ia telah menumpulkan situasi politis PT. Para tokoh akademisi dari kampus ternama menjadi fungsionaris pembangunan yang berkiblat pada modernisasi ala kapitalis Barat.

Sayang, banyak PT di Indonesia juga begitu terlenanya untuk memberikan legitimasi ilmiah terhadap fondasi pembangunan yang keropos dengan menegasikan potensi sosio-ekonomi dan politik lokal. PT baik yang di kota besar maupun yang berada di pinggiran sibuk untuk menyebarkan mantra-mantra pembangunan yang bersifat sentralistik di bawah kendali instrument politik Orde Baru (ABG: ABRI, Birokrasi, Golkar).

Potensi Daerah
Setelah wacana desentralisasi muncul, kebutuhan untuk membangun dari daerah mulai disadari. Potensi lokal harus mulai digarap secara maksimal untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat. Budaya lokal yang positif harus dijaga kelestariannya dan dijadikan aset yang berguna bagi kekayaan daerah. Kebutuhan itu mengundang PT untuk memainkan perannya, melakukan penelitian, mengkonseptualisasi kebijakan yang efektif dan menjawab persoalan.Berbagai persoalan yang ada di daerah juga membutuhkan pemikiran dan rekomendasi-bahkan keterlibatan-dari kalangan PT yang ada di daerah setempat.

Sikap tanggap dan peka akan permasalahan daerah setempat perlu terus dipupuk. Jika di suatu daerah terjadi kemacetan atau penumpukan sampah secara berlebihan, misalnya, perguruan tinggi yang ada di sana perlu memberi rekomendasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Selama ini perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mampu menghasilkan riset-riset berkualitas tinggi. Selain itu, juga mampu mencetak lulusan-lulusan yang cerdas dan berkualitas. Namun, perguruan tinggi kurang mampu memberi sumbangan bagi pemecahan masalah di daerahnya. Dan mulai sekarang paradigma posisi dan peran PT itu harus diubah. PT harus merasa memiliki dan dimiliki daerahnya, biar pendidikan tidak tercerabut dari akar sosialnya.

(*)NURANI SOYOMUKTIJaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Surabaya

Resensi Bukuku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS" di Jawa Pos, Minggu/18 Mei 2008:

Mahasiswa Tumbal Kapitalisme Budaya

Judul Buku : Dari Demonstrasi hingga Seks Bebas
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2008
Tebal : 182 halaman
AHMAD Wahib (1942-1973) sempat menambang kerisauan ketika mengamati pola gerakan mahasiswa: "Kalau gerakan mahasiswa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju, saya kira kita ketinggalan puluhan tahun, baik dari segi keradikalan ide-idenya, kerevolusioneran sikap-sikapnya, kematangan koordinasinya, serta kekompakannya. Meski demikian kita boleh bangga bahwa pemimpin-pemimpin gerakan mahasiswa sebelum kemerdekaan adalah pejuang sekaligus pemikir."
Kegelisahan yang digemakan Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam pada 23 Oktober 1970 itu hingga kini masih terasa gaungnya. Apalagi ketika mengamati gerakan mahasiswa saat ini yang bias oleh kepentingan pragmatis serta tidak memiliki pijakan paradigmatik yang jelas. Gerakan mahasiswa pun tumpul. Dan, predikat agen perubahan (agent of change) seperti bertengger di menara gading.Gerakan mahasiswa pernah mencapai klimaks pada Mei 1998 ketika berhasil menumbangkan (rezim otoriter) Soeharto sekaligus meneluhkan badai reformasi.
Namun perlahan gelombang gerakan mahasiswa pun menyusut. Hatta, satu dasawarsa kemudian, Mei 2008, reformasi ternyata belum menghasilkan perubahan substansial yang benar-benar berarti.
Tak ubahnya gerbong kosong, sebab reformasi tak dikawal dengan gerakan sistemik untuk membumikan agenda-agenda kerakyatan. Pertanyaan pun mencuat: ke manakah mereka, para mahasiswa, itu?Nurani Soyomukti mendedahkan jawabnya dalam buku ini. Alumnus Fisip Universitas Jember itu menuduh mahasiswa saat ini tengah meringkuk dalam ruang pengap budaya yang dikonstruksi oleh kapitalisme.
Dengan keperkasaannya, kapitalisme mengasingkan mahasiswa dari realitas sosial dan kebiasaan berpikir kritis serta berilmu pengetahuan, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Kapitalisme telah menelikung eksistensi mahasiswa agar tak lagi dapat menjadi "mahasiswa sejati" yang getol membela kebenaran dan keadilan, sehingga lahirlah generasi mahasiswa bergaya hidup anti-ilmiah dan anti-aksi-aksi advokasi kerakyatan (hlm. 23).
Meski masih ada segelintir mahasiswa yang berusaha loyal dengan khitahnya sebagai agen perubahan, keberadaan mereka mirip sepercik tinta yang menetes di lautan.
Mereka gagal membangun pencitraan massif yang positif terhadap mahasiswa. Ironisnya, justru citra negatif yang kerap melekat pada diri mahasiswa karena acapkali tersandung kasus-kasus amoral.
Itulah sekelumit fenomena buram gaya hidup mahasiswa yang dipotret buku ini: mulai dari melemahnya tradisi berpikir kritis lewat forum-forum diskusi yang tergantikan oleh budaya cangkrukan dan ngerumpi sambil pencat-pencet HP, menguatnya sikap hedonistik dengan gemar berbelanja di mal ketimbang membeli buku, bahkan merayakan pesta narkoba dan prostitusi terselubung. Soyomukti menguraikannya dengan sangat gamblang tentang bagaimana terjadi pergeseran karakter mahasiswa dalam setiap zaman sampai pencitraan mahasiswa yang berubah di mata masyarakat.
Mahasiswa memang mengalami penindasan kapitalisme melalui konstruksi gaya hidup dan budaya keseharian. Tanpa mereka sadari, nalar kritisnya ditumpulkan dan akses pengetahuan meski tampak kasat mata namun terbentur budaya tanding yang berorientasi pada pemenuhan hasrat hedonistik yang menggelapkan mata. Dalam situasi demikian, eksistensi mahasiswa benar-benar berada di tubir jurang kehancuran.Betapa tidak, mahasiswa kini dikepung kapitalisme dari berbagai penjuru, mulai privatisasi pendidikan, materi pendidikan yang semata-mata mengabdi pada kepentingan industri pasar, serbuan realitas semu media yang menampilkan hipokritisme sosial melalui sinetron dan tayangan infotainment.
Hal ini mengindikasikan kehidupan mahasiswa yang kian berjarak dengan realitas ketidakadilan dan pemiskinan masyarakat. Mereka kiranya tak menyadari bahwa semakin masuk dalam pusaran kultur yang diciptakan kapitalisme, maka eksistensi dan gaya hidup mereka pada hakikatnya tengah diteror (hlm. 80-91).Dalam menganalisis fenomena kehidupan mahasiswa ini, Soyomukti tidak terjebak pada pendekatan moral-religius. Misalnya seperti yang dilakukan Iip Wijayanto dengan Sex in The Kost. Pendekatan demikian hanya melihat objek dengan kacamata hitam-putih dan mengasumsikan mahasiswa hidup di ruang hampa. Naga-naganya, pendekatan ini cenderung melarang atau mengharuskan dengan kriteria moral tertentu.
Gaya hidup mahasiswa yang menyimpang serta sirnanya idealitas kerakyatan lantas dituduh sebagai temperamen yang memang sudah melekat. Bagi Soyomukti, moral bukanlah sebab, melainkan akibat dari kontradiksi kapitalisme.
Karena itu, cukup masuk akal bila refleksi Soyomukti dalam buku ini sangat menarik dan terbilang tidak biasa. Ia tidak hanya melihat wajah makro kehidupan mahasiswa, tetapi juga meneroka fenomena subtil dan terdalam dari mahasiswa. Maka, lebih dari sekadar reportase gerakan mahasiswa, buku ini mengungkap sisi lain kehidupan mahasiswa yang nyaris tak tersentuh oleh karya-karya serupa lainnya.Namun, di tengah-tengah kepiawaian Soyomukti dalam mengeksplorasi teori-teori kritis dan pemikiran kiri ala Marxian, psikologi Frommian, dan filsafat cinta Gibranian sebagai pisau analisis kajian, ia masih terkesan kurang tajam dalam menelanjangi teknologi kekuasaan dan kepentingan ideologis kapitalisme yang meneror kehidupan mahasiswa, sehingga analisisnya pun terasa agak normatif.
Dus, munculnya garis demarkasi antara kegiatan subtil seperti berpacaran, dugem, shopping di mal dengan menelusuri kenikmatan belajar dan membangun aksi-gerakan melahirkan stigma moralitas oposisi biner. Kesan mereproduksi gaya tutur bernuansa dakwah pun tidak tertampik meski disusupi dengan analisis wacana kekiri-kirian.Selain itu, meski cukup detail menjelajahi lajur-lajur pembebasan mahasiswa dalam konteks bernalar dan berpikir kritis guna membongkar hegemoni kapitalisme, buku ini tidak tegas memberi jawaban mengenai bagaimana praktik pembebasan yang terintegrasi dengan kekuatan-kekuatan gerakan rakyat dalam membumikan agenda kerakyatan.
Secuplik kelemahan tersebut tentu tidak mengurangi signifikansi dan kontribusi positif buku ini. Karena itu, buku ini layak diapresiasi para (calon) mahasiswa untuk bercermin, sekaligus bekal introspeksi dalam memaknai eksistensinya. (*)
*) Faizah S.A., Guru SMK Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta

Catatan Literer:

Isu Kepemimpinan Alternatif
dalam Buku


Oleh: Nurani Soyomukti*)

Keti
ka menulis buku “Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Politik Radikal” (Resist Book, Yogyakarta 2007), “Hugo Chavez Vs. amerika Serikat” (Garasi, Yogyakarta 2008), dan “Revolusi Sandinista” (Garasi, Yogyakarta 2008), yang terbayang dalam benak saya memanglah upaya untuk menggambarkan kepemimpinan politik alternatif yang sangat kita butuhkan pada saat bangsa kita sedang mencari-cari jalan untuk menemukan hal yang sama. Ketika sekarang ini isu di negeri ini didominasi oleh kepemimpinan nasional dalam kaitannya dengan pemilu 2009, nampaknya dunia perbukuan telah lama memulainya.

Maksud saya, keberadaan buku-buku dengan tema tokoh-tokoh dan pemimpin alternatif dari Negara-negara lain seperti Iran (Ahmadinejjad), Bolivia (Evo Morales), Cuba (Fidel Castro), Venezuela (Hugo Chavez), yang merupakan contoh-contoh pimpinan yang berani di era ini turut mewarnai dunia perbukuan. Saya sendiri mengakui bahwa saya ingin menunjukkan bahwa kepemimpinan alternatif itu masih ada, dan itu seharusnya ditiru oleh negeri yang mengalami krisis kepemimpinan politik seperti Indonesia di tengah-tengajh krisis ekonomi yang menyengsarakan.

Sekedar Otobiografis(?)
Tokoh-tokoh yang diangkat dalam buku-buku di atas seringkali disebut sebagai tokoh radikal dan pemberani di abad ini karena mereka memiliki jalan lain untuk memenuhi tuntutan rakyatnya dan berani melawan dominasi global di bawah kepemimpinan Amerika Serikat (AS).

Tokoh-tokoh tersebut menjalankan kebijakan alternatif yang berbeda dengan jalan ekonomi neoliberal dan seringkali menghiasi berita dunia saat berkomentar secara keras terhadap kebijakan Washingrton. Secara umum, mereka adalah para pemimpin yang menegaskan kemandirian nasional bagi negaranya. Pada saat para elit dan pemimpin Indonesia selalu tunduk dan patuh pada AS dan lembaga-lembaga ekonomi global yang menyebabkan negeri ini terpuruk dan tergantung, kehadiran tokoh-tokoh alternatif di atas tentu mendapatkan perhatian di kalangan masyarakat.

Yang pertanyaan kemudian adalah: apakah buku-buku tersebut akan ikut mendorong kesadaran masyarakat akan munculnya kepemimpinan alternatif di negeri ini?
Atas pertanyaan itu, saya pesimis. Saya melihat bahwa penulisan buku tentang para pemimpin-pemimpin radikal tersebut hanya menekankan sisi biografis, yang kebanyakan menggambarkan pemujaan individual para tokoh tersebut. Seakan para penulis dan penerbitnya hanya ingin memanfaatkan popularitas sang tokoh untuk mendapatkan keuntungan, sehingga dengan menerbitkan buku tokoh-tokoh radikal tersebut.

Buku yang baik, menurut saya, bukanlah buku yang hanya sekedar mendiskripsikan sesuatu, apalagi dengan bumbu-bumbu yang mengilusi dan tidak mengambarkan sisi histroris secara dialektis. Hal ini harus dihindari dengan cara mengambarkan kontradiksi yang terjadi di masyarakat yang melahirkan sang pemimpin, dengan mengangkat bagaimana kesadaran massa dan gerakan yang dibangun oleh pemimpin tersebut. lebih jauh, bagaimana sang pemimpin menggunakan landasan pemikiran, strategi-taktik, dan program perjuangan merupakan hal terpenting yang harus diangkat dalam sebuah buku tentang tokoh.

Lebih jauh, penulis juga seharusnya kritis dan mampu melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada pemimpin tersebut. juga perlu untuk membandingkannya dengan tokoh-tokoh lain, terutama tokoh negeri ini baik di era dulu maupun sekarang. Kita pernah punya tokoh Soekarno dan banyak buku-buku yang hingga kini juga bic
ara mengenainya, tetapi apakah tokoh ini bisa menginspirasi bagi pencarian figure alternatif? Penulisan biografi Soekarno juga tak sedikit yang terjebak pada kultus individu, sebagaimana ia juga merupakan tokoh yang punya kecenderungan mempertahankan kultus itu. Bung Karno disebut sebagai “penyambung lidah rakyat”, yang mungkin dapat berkonotasi bahwa rakyat tidak perlu bersuara sendiri karena sudah suaranya sudah dapat diwakili oleh mulut Bung Karno. Personalitas politik yang demikian inilah yang membuat pendidikan politik dan demokrasi tidak maju karena rakyat pada akhirnya pasif; pola hubungan antara elit atau pimpinan politik bersifat patron-client dan bukannya sejajar (demokratis). Bahkan posisi Bung Karno juga dianggap sebagai bapak, dan banyak orang yang memanggilnya “Bapak”—dan ia memang sangat menikmati posisi dan pujaan-pujaan yang diterimanya.

Bahkan semua kekuatan politik sangat terpengaruh pada gaya kepemimpinannya dan tidak memiliki kemandiriannya sendiri. PKI (Partai Komunis Indonesia), yang telah disepakati oleh para peneliti sebagai motor utama kekuatan utama anti-imperialis di Indonesia, juga sangat tergantung pada Bung Karno. Nama Bung Karno juga sering dimanfaatkan untuk memobilisasi massa dan kepentingan politik oleh tokoh-tokoh di negeri ini. Memanfaatkan nama Bung Karno, sayangnya, justru diiringi dengan deideologisasi Bung Karno. Bukan ajaran besarnya (NASAKOM), tetapi hanya namanya yang seringkali disebut-sebut.

Ketika menulis “Revolusi Bolivarian”, saya berusaha menghindari pengkultusan itu dengan lebih banyak mennggambarkan kondisi gerakan rakyat yang melahirkan Chavez dan bukan sosok Chavez semata. Kultus individu adalah suatu hal yang sangat membahayakan demokrasi yang harus disadarkan pada analisa objektif terhadap realitas dan bukannya pada prasangka dan pengaruh orang lain (tokoh individu). Dan Chavez justru menjadi orang yang menyadari pentingnya kemadirian rakyat. Dia berkali-kali mengungkapkan keinginannya bahwa rakyat harus memiliki kekuatannya sendiri. “Untuk menghapus kemiski
nan, kamu harus memberikan kekuasaan pada rakyat miskin (to eradicate poverty, you must give power to the poor),” demikian kata Chavez.

Kekuasaan di tangan rakyat miskin adalah kesadaran politik yang ditekankan pada kepercayaan diri rakyat bahwa mereka punya kekuatan dan, karenanya, mereka tidak boleh tergantung pada seseorang saja. Artinya, Chavez percaya bahwa letak kekuatan rakyat adalah independensinya dan sekaligus solidaritasnya untuk menangani masalah bersama. Ia juga menolak rakyat atau manusia dijadikan “mesin”, suatu hal yang dianggap bisa diatur dan diperintah tanpa kemampuan berpikir dan bergerak sendiri. Kemanusiaan, bagi Chavez dalam pernyataannya itu, harus diletakkan di atas segalanya, sebagai prinsip. Bukannya Negara yang harus diletakkan di atas segalanya.

Chavez nampaknya juga cukup paham adanya fakta bahwa mendominasi rakyat di bawah Negara akan menghilangkan demokrasi. Inti demokrasi adalah dinamika massa rakyat dalam mendiskusikan dan mengarahkan aktivitas ekonomi-politiknya, dan bukan semata-mata tergantung dari atas. Kalau dinamika dan keterlibatan massa di bawah dipotong, kecenderungannya akan menjadi masyarakat yang terpimpin secara totaliter, sebagaimana terjadi pada masa Stalin di Rusia dan Negara-negara sosialis lainnya yang mengarah pada totalitarianisme. Buku-buku tentang tokoh-tokoh totaliter juga banyak ditulis, bagaimana kita akan dapat belajar jika kisahnya hanya terpaku pada tokoh dengan polesan penulisan secara hitam-putih dan bahkan propagandis? Wallahu’alam!!!


Minggu, 18 Mei 2008

Budaya Kerja:

“Sosialisme Kecil” dalam Ruang Kerja

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Bekerja itu ternyata asyik. Bekerja itu sangat manusiawi.
Pengalaman menarik sekali kualami akhir-akhir ini saat berada di ruang kerja. Tidak selamanya memang, tetapi seringkali suatu ketika aku berada di sebuah ruangan (tempat aku bekerja) semua orang nampak ceria dan terlelap dalam kerjanya masing-masing.


Semua orang nampak berproduksi. Ada yang menyusun arsip-arsip, ada yang mengkliping, ada yang mendesain gambar dan terbitan. Sementara aku juga asyik menyusun kata-kata, sesekali mengernyitkan dahi dan kadang menjauhkan pandanganku dari monitor labtop saat mataku lelah. Dan seringkali kulirik mereka satu persatu.


Ada seorang pemuda, belum lulus kuliah yang asyik mengliping koran-koran yang memberitakan informasi tentang isu yang kami kerjakan, dan seringkali juga opini yang berkaitan. Namanya Ruudj. Pemuda itu, masih seorang aktivis progresif, dan kini bersama-sama ada di ruangan ini untuk membantu menyusun perlawanan ”dengan cara yang lebih taktis tanpa meninggalkan kerja-kerja radikal lainnya”—begitulah dalam bahasa dia. Aku sudah berhubungan dengannya sejak lama dengan dia. Dan pernah beberapa orang Kiri kacangan menuduh kami sebagai ”pengkhianat” atau ”memihak borjuis”.


Sungguh dia tidak tahu, bahwa ruangan ini bukan ”sarang” kami sebenarnya. Dan ia tak tahu bahwa aku bukannya berubah moderat, tetapi sungguh semakin radikal dalam mengambil sikap ideologis dan juga taktis yang lebih tepat. Aku, dan sebenarnya bersama dengan banyak kawan bersamaku, hanya ingin lepas dari massa lalu, yaitu mengerjakan proyek perubahan hanya dengan ”umpatan” dan ”kemarahan” yang egois dan menunjukkan eksistensi diri yang sempit, yang kadang tidak mempertimbangkan aspek strategis maupun taktisnya.


Perubahan didasari oleh kerja-kerja produktif dan kreatif karena landasan perubahan sejarah itu adalah struktur basis, yaitu sektor produktif. Kamu tidak bisa merubah keadaan hanya dengan kemarahan hampa atau jargon yang melangit. Carilah substansi, dan pelajarilah alur perubahan, jangan tinggalkan produktitas dan justru ajarkan produktifitas itu pada siapapun! Jangan perbanyak generasi malas, ajaklah semua untuk bekerja saat mereka marah pada keadaan.


Maka, itulah alasanku berada di ruangan ini.


”Ini sosialisme kecil”, batinku.


Kok?


Masalahnya semua orang nampak tidak terisolasi pada jam-jam itu, pada hari itu. Dan kejadian ini tampaknya seringkali terjadi. Setelah bosan berada di ruangan kami juga bisa bebas keluar, berinteraksi dengan anak-anak muda lain yang mendiskusikan perubahan, dan kadang juga memenuhi hasrat orang-orang yang ingin mendengarkan siraman-siraman pengetahuan dalam kaitannya dengan karya-karya yang kuhasilkan.


Dari ruang ini pulalah aku diijinkan—bahkan dianjurkan—untuk menulis karya-karyaku dan dari ruang inilah aku—kami!—bisa menjelajah ilmu pengetahuan dengan jaringan global (internet). Di ruang ini kami menyusun kata-kata propaganda, memperjuangkan pendidikan gratis, kesehatan gratis, meskipun kadang juga ada seruan-seruan normatif seperti “pertahankan NKRI” dan “Melaksanakan Pancasila 1 Juni Bung Karno”.


“Di ruang ini kita menjadi Soekarnois”, seloroh anak muda kawanku itu.
“Memang kenapa?”, tanyaku.
“Iya, ternyata bagus. Sama seperti Aidit, Semaun, dan lain-lain”.
“Iya, kenapa kita harus dipaksa untuk memilih satu tokoh saja. Kan banyak orang yang baik di masa lalu, bahkan semua orang tak mungkin tidak memiliki kelemahan. Dan kita tak bisa lagi memakai pendekatan hitam-putih karena itu akan membentuk watak kita. Dogmatis. Pola pikir kacamata kuda dan hanya akan melahirkan sikap sok atau heroisme kosong, perubahan tak bisa dilalui dengan cara itu!”


*
Ruangan itu tidak besar. Sehingga kami bisa sering menyapa, antara orang-orang yang saling memiliki meja kursinya masing-masing. Dengan menghadapi PC (komputer) dan labtopnya masing-masing.


Tetapi ruangan itu juga tidak sempit. Di dalamnya ada TV, ada kulkas, dan kami bisa membuat teh hangat atau kopi sendiri. Tidak ada pembantu, tetapi tiap pagi dan malam hari seorang muda berambut gondrong sekali, yang pandai melukis, namanya Mas Slamet, bekerja membersihkan ruangan. Tapi dia bukan pembantu, bahkan tak ada dari kami yang menganggapnya pembantu. Aku dan penghuni ruangan itu bahkan juga sering berkeluhkesah padanya. Kadang juga kucoba bertanya padanya: ”Ada perintah?”


Hanya satu yang paling aku benci dari ruangan itu, AC yang membuatku kedinginan dan membuatku sering ke kamar kecil karena tubuhku tak siap untuk teknologi itu. Seorang kawan di ruangan itu mengejekku dengan mengatakan: ”Wah, kamu tak bakat jadi orang kaya”. Aku tahu dia hanya bercanda karena aku tahu dia sudah mengerti bahwa aku tidak ada obsesi untuk jadi orang kaya.


Kadang memang kami tak selamanya bekerja. ”Sosialisme membutuhkan waktu luang juga, man!”, tukas Ruudj. Dia katakan itu pada setelah aku menyemprotkan kata-kata padanya: ”Gimana? Masih berproduksi atau main game?”


”Main, Bos! Capek nih, menurunkan ketegangan dulu”, jawabnya.


Baiklah, batinku, manusia adalah homo ludens, makhluk yang suka permainan. Otak tidak bisa diperas, ia harus mendapatkan hiburan. Ketegangan harus dikurangi.
Sebenarnya ada 4 orang lain lagi penghuni ruangan ini. Pertama adalah Mas Widodo Eka Tjahyana, dosen Hukum di UNEJ yang sudah bergelar doktor dalam usianya yang relatif muda. Dialah kordinator para pekerja-pekerja yang bersarang di ruangan itu—dan dialah yang menamai tim yang ada di ruangan itu dengan ”Task-Force”. Dia tak pernah mengajar di kampusnya karena berkecimpung sebagai staf ahli DPR/RI sejak 2006. Lalu ada Mbak Anis Megawati, kuliah di Ohio State University Amerika, menjadi sekretaris dan asisten pribadi seorang anggota DPR/RI. Lalu ada Mbak Dyah Ayu Winarti (Wiwin), mantan aktifis SMID dan GMKI di tahun 1990-an. Lalu ada Fifi (nama lengkapnya aku tak tahu), fresh graduated dari UNIBRAW. Ada Eliza Zakia, mahasiswi semester akhir Ilmu Politik UNAIR yang juga pernah terlibat di gerakan mahasiswa radikal.


Kemudian, ada Mas Sumarsono, seorang desainer handal yang kemampuan komputasinya tak bisa kubayangkan. TE-O-PE BE-GE-TE untuk urusan desain. Lalu baru aku dan Ruudj.
Ruangan itu sangat demokratis dan menyenangkan, mungkin kebanyakan yang ada di situ—meskipun kadang tidak dengan formasi lengkap karena ada kesibukan di luar—adalah insan-insan yang pola pikirnya rasional. Fifi adalah yang paling relijius dan selalu minta ijin keluar ruang pada saat waktu sholat. Tetapi dia tidak pernah menanyakan apakah yang lain sholat atau tidak. Untungnya tidak semua dari kami muslim.


Tidak ada konflik di ruangan ini karena kami diikat atas nama produktifitas. Tetapi bukan tanpa subjektifitas, subjektifitas dapat terfasilitasi asalkan tidak mengganggu produktifitas. Apalagi kalau subjektifitas itu menyenangkan, seperti aku dan Mbak Wiwin yang suka menyanyi—kami memang pernah menyanyi di karaoke (Inul Vista) pada saat kami masih tinggal di Jakarta.


Sayangnya, tak ada yang suka karaoke selain aku, Mbak Wiwin, dan Mbak Anis. Mas Widodo dan Eliza mengaku sebagai orang yaang tak suka dan tak bisa menyanyi. Makanya, kegiatan mencari hiburan bersama yang kami lakukan bareng-bareng di luar ruangan itu adalah makan bareng di restoran. Mbak Anis sebagai “bandar”-nya. Dan memang dialah yang menjadi pengorganisir dana dari seluruh kegiatan ini. Dia juga yang menggaji kami dengan alasan bahwa “kerja kita adalah kerja profesional”—pada hal menurutku dan Ruudj “kerja kita adalah kerja politis”. Itu mungkin beda antara Mbak Anis yang terdidik di kampus Barat (Amerika Serikat/AS) dengan kami.


Itu bukan prinsip.
Yang lebih prinsip adalah bahwa kami bisa berproduksi, dan tidak menekankan semua kegiatan pada mengolok dan mengejek. Kami juga dapat sokongan dan dapat banyak jaringan. Karena sesungguhnya kami tak hanya ada di ruang itu.
30 dari kegiatan kami ada di lapangan. Bayangkan, kami menyusun dan menyetak bahan propaganda kami sendiri, lalu juga turun ke bawah (berkeliling ke seluruh kabupaten dan kota Jawa Timur) untuk menyebarkan selebaran-selebaran berisi tuntutan-tuntutan kerakyatan:
TOLAK KENAIKKAN BBM!
PENDIDIKAN GRATIS, ILMIAH, DAN DEMOKRATIS UNTUK RAKYAT!
KESEHATAN GRATIS UNTUK RAKYAT!
PILIH CALON GUBERNUR YANG ANTI-NEOLIBERALISME!!!
***

Jumat, 16 Mei 2008

Opiniku di Suara Karya:

Korupsi dan Elitisme Keberagamaan
Oleh Nurani Soyomukti

Suara Karya/Jumat, 16 Mei 2008


Korupsi adalah produk dari hubungan sosial yang kontradiktif. Sedangkan agama merupakan bagian dari realitas sosial yang ikut mengiringi pembangunan karakter masyarakat, meskipun kondisi sosial yang memberi basis bagi perkembangan mental manusia.

Di Barat, sebagaimana ditulis Max Weber, pertumbuhan ekonomi kapitalis dapat berjalan lancar untuk memakmurkan peradaban, karena spirit agama berperan begitu kuatnya. Spirit dan kekuatan etis dari aliran/ sekte agama Protestan membantu melicinkan pertumbuhan ekonomi yang kemudian terbukti mampu bertahan dan melakukan ekspansinya ke berbagai belahan dunia bersama modernisasi yang dibawanya.

Pertanyaannya, bisakah semangat keagamaan menjadi faktor pelicin (lubricating factor) bagi perkembangan dan kemakmuran ekonomi Indonesia? Korupsi di negeri ini bukan hanya parah, tetapi telah membudaya dan mendarah daging. Korupsi telah menghambat produktivitas dan modernisasi yang seharusnya berpilar pada diferensisi peran sosial yang mulus karena masing-masing kelompok bersaing secara sehat, rasional, dan didasarkan pada prestasi kerjanya. Korupsi telah menghambat orang yang punya potensi produktif dan kreatif dapat berperan karena terhalangi oleh keputusan yang didasarkan pada keputusan korup (baca: irrasional).

Selama ini peran ormas-ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU ternyata belum cukup efektif, karena agama seakan hanya dijadikan simbol moral dan konsolidasi elitis, dan bukan tindakan-tindakan partisipatoris dalam menegakkan penyimpangan. Di tahun 2003, pada saat dua organisasi m
enyatakan berkoalisi dengan menyatukan tekad bulat untuk memerangi korupsi, wacana pemberantasan korupsi seakan menguat. Sayangnya, itu hanya menjadi wacana di media massa, karena setelah deklarasi kedua organisasi dilakukan, ternyata tidak ada gerakan kedua organisasi untuk mendampingi aparat hukum menangkapi para koruptor.
Inilah yang saya maksud bahwa agama hanya menjadi simbol dan kosmetik. Agama Islam yang pernah berperan untuk melawan penjajahan bangsa Quraisy sebagai pelanggeng perbudakan, ternyata di negeri ini tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali pemanis dari langgengnya berbagai kontradiksi yang terjadi.


Saya yakin seandainya deklarasi untuk memberantas korupsi dari dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu diikuti oleh tindakan konkret dan serius, warga NU dan Muhammadiyah akan mendorong penegak hukum mengadili para koruptor secara tegas dan tidak berbelit-belit.

Akhirnya, akan banyak orang bertanya-tanya akan imbauan moral agama terhadap berbagai permasalahan sosial di Indonesia. Apalagi adanya fakta bahwa Departemen Agama justru menjadi sarang korupsi yang paling besar di pemerintahan kita. Agama terkesan kian ompong dalam menghadapi masalah korupsi.

Korupsi memang bukan hal mudah untuk diberantas karena menyejarah dalam kelahiran bangsa kita. Dulu Tan Malaka pernah menyarankan pada Soekarno untuk memotong satu generasi, mengganti generasi birokrasi peninggalan Belanda dengan para kaum muda yang bersih dari didikan kolonial. Sayangnya, usulan itu tak terlaksana.

Simbiosis antara budaya feodal yang berpilar pada budaya irrasionalitas-dengan hubungan industrialisasi kapitalis peninggalan penjajahan-menjadi bahaya laten bagi rakyat. Pelayanan publik yang demokratis dan memakmurkan tidak kunjung datang akibat simbiosis antara dua budaya menindas dalam dua fase corak produksi itu.

Feodalisme menggunakan irrasionalitas agama dan kepercayaan kolot sebagai produk kebangsawanan untuk menundukkan rakyat agar segelintir penguasa dapat hidup menghisap rakyat. Sedangkan modernisasi kapitalisme juga menindas rakyat pekerja dengan hubungan produksinya yang eksploitatif.

Yang dominan sekarang ini, posisi agama di dalam masyarakat feodal adalah untuk melegitimasi kekuasaan atas nama Tuhan, sebagai simbol perekat kesatuan dan solidaritas meskipun diiringi ketimpangan. Ketokohan berdasarkan agama sangat penting untuk merekatkan rakyat dari tercerai-berai, meskipun secara ekonomi timpang.

Ketika kapitalisme kian menjadi-jadi, ternyata semangat keagamaan di negeri ini juga masih sama. Hal ini terjadi karena feodalisme tidak dihancurkan oleh penjajah, kapitalisme juga tidak tumbuh bersama semangat keagamaan-sebagaimana terjadi di Barat dalam pengertian Weberian-tetapi dicangkokkan dan dibiarkan tidak dapat berkembang secara produktif. Tujuannya agar Indonesia tetap menjadi negara kapitalis pinggiran yang tergantung pada modal (penjajah asing).

Dengan demikian, korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari hubungan imperialistik itu. Modernisasi tidak dapat
berkembang pesat karena korupsi, dan ini memang dibiarkan, karena kalau modernisasi maju modal asing akan tersaingi. Tak heran jika sejak Orde Baru pemikiran dan praktik keagamaan selalu saja diupayakan agar terjebak pada simbolisasi saja. Agama tidak mampu menurunkan pemikiran kritis dan progresif untuk mendorong peran partisipatoris para aktivis ormas keagamaan.

Agama gagal menurunkan teologi pembebasan untuk membela rakyat miskin (mengentaskan kemiskinan), dan gagal memerangi korupsi. Dalam hal pemberantasan korupsi, agama yang secara jelas melarang korupsi (penipuan dan penindasan), ternyata hanya menjadi penyeru moral sloganistik. Lagi-lagi yang terjadi hanyalah konsolidasi elite keagamaan untuk menjadikan isu korupsi sebagai daya tawar politik kepada penguasa. Agama tidak menggerakkan kesadaran massa rakyat agar kampanye antikorupsi bukan hanya jadi wacana, tetapi juga jadi sebuah gerakan.***

Senin, 12 Mei 2008

Dari Bedah Buku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS" di Gedung Soetarjo UNEJ:

Mahasiswa:
Generasi ”CAPEK DECH!!”


Oleh: Nurani Soyomukti*)

Tulisan ini saya buat setelah beberapa waktu yang lalu (Hari Kamis, 07 Mei 2008/sekitar pukul 19.30) saya diundang oleh panitia Pameran Buku Nasional yang diadakan di Gedung Soetarjo Universitas Jember untuk berbicara mengenai buku saya yang berjudul ”Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme” (DDHSB).
Seorang mahasiswa bertanya pada saya dengan mengatakan pada saya bahwa ia tidak setuju dengan buku saya yang terlalu banyak mengembalikan semua masalah pada kapitalisme. Saya menanggapinya dengan nada dingin, tidak meledak-ledak seperti biasanya—mungkin saya terlalu lelah karena dari Surabaya saya datang agak terlambat, membela agar acara ini berjalan karena kedatangan saya.


Saya menjawab dengan mengaitkannya dengan bagaimana tatanan ekonomi (kapitalisme) membentuk kesadaran, ideologi, dan watak manusia. Saya mengutip Marx dalam ”German Ideology” bahwa ”ide-gagasan, cara berpikir, dll suatu masyarakat mencerminkan ideologi kelas yang mendominasi”. Artinya, kalau masyarakatnya kapitalis, maka ideologi yang tersebar adalah ideologi kapitalis. Watak ideologi dalam masyarakat berkelas selalu mirip dengan ”kesadaran palsu” (false consciousness). Hal itulah yang membuat mahasiswa terlena.

Tak Mampu Melihat Kemiskinan
Biasanya mereka yang menjadi mahasiswa, yang segala fasilitasnya telah disediakan karena hubungan ekonomi yang sedang berjalan, tidak mengetahui adanya realitas sejati di luar kampus. Realitas di mana hubungan eksploitatif kapitalisme yang menindas terus berjalan. Biasanya sulit bagi mahasiswa untuk mengetahui bahwa realitas yang timpang itu karena mahasiswa berada di dalam ”istana pendidikan” di mana anak-anak orang mampu konon kabarnya merayakan statusnya sebagai mahasiswa (pembelajar di perguruan tinggi).

Kesulitan dalam melihat realitas sejati berupa realitas penindasan dan kemiskinan di masyarakat itu tentu saja dipelihara. Bahkan upaya untuk membuat mahasiswa tidak mengetahui (baca: buta) akan terjadinya proses eksploitasi dan kemiskinan itu juga diupayakan secara terus-menerus. Kapitalisme memang punya cara kerja yang bagus untuk menyembunyikan penindasan yang dilakukannya. Simak kisah yang ditulis seorang pengamat bernama Jeremy Seabrook dalam bukunya ”Kemiskinan Global” berikut ini:

”Orang miskin dibentuk ulang dalam citra orang kaya. Mereka menjadi subjek berondongan publisitas dan iklan, untuk memiliki dan untuk membelanjakan... di kalangan yang terpinggirkan, budaya itu membangkitkan suatu karikatur partisipasi pasar kejahatan, penyalah-gunaan obat, kecanduan, persaingan... tersingkir dari pasar global, kaum muda menjadi prajurit bayaran transnasional, dalam kancah perang untuk memenangkan logo dan merk. Obsesi mereka pada emblem yang menunjukkan kepemilikan—kaos, jeans, pakaian olah-raga, telfon genggam—mendorong mereka melakukan apapun untuk menggenggam barang-barang itu”.
1

Mahasiswa atau kaum muda lainnya hanya disuguhi realitas hidup lewat TV melalui acara-acaranya di mana yang ada hanyalah kisah orang-orang kaya atau iklan yang memamerkan produk-produk. Melihat media seperti TV, yang juga menjadi kegiatan yang paling banyak dilakukan, akan membuat mahasiswa hanya tahu bagaimana dunia hanyalah kebahagiaan dan situasi glamour.

Masalahnya yang tampil hanyalah orang-orang kaya yang bicara soal kebahagiaannya, atau masalahnya yang remeh denfgan komentar-komentar yang gampangan. Jika kamu melihat TV, terutama acara gosip selebritis (infoteinment), maka kata-kata utama—dan paling banyak dicekokkan pada kamu (maksudnya: agar kamu menirunya)—adalah: ”Plis Dech!”, ”Gitu Lho(h)!!”, ”Capek Dech!!!”.

TV, dan bahkan berbagai media, atau singkatnya KAPITALISME tampaknya hanya ingin kamu menjadi ”GENERASI CAPEK DECH”. Kapitalisme tidak menginginkan kamu mencari kosa kata lain, kapitalisme ingin kamu meniru kata-kata para selebritis dan bintang iklan karena mereka menginginkan kamu hanya bisa membeli (mengkonsumsi), meniru, dan tak berpikir bagaimana supaya kamu mencipta, berkreasi, atau menciptakan gaya hidup (berpikir dan bertindak)
atas inisiatifmu sendiri.

Tahukah kamu kenapa negeri kita kian terpuruk dan terbelakang?
Sebab utamanya adalah: Karena kita selalu tergantung pada ilmu dan teknologi (IPTEK) asing. Kenapa hal itu terjadi? Karena tenaga produktif kita lemah. Sebagai generasi muda, kamu adalah bagian penting dari tenaga produktif nasional. Jika kamu memiliki kemampuan mencipta dan berkreasi di bidang pengetahuan dan teknologi, kamu tak hanya meniru dan membeli (gila belanja), maka jika orang kayak kamu banyak... aku yakin negeri ini akan menjadi negeri yang kuat.
Tahukah kamu bahwa remaja-remaja, pelajar dan mahasiswa di India dan Cina saat ini begitu bersemangatnya untuk belajar menguasai dan mengembangkan hardware dan software. (Sementara ketika remaja kita ditanya, ”Kamu ingin belajar apa?”, maka mereka hanya menjawab: ”Nowhere”!). Cina dan India saat ini pertumbuhannya terus naik, sementara negeri kita kian terpuruk. Remaja-remaja Jepang masih bangga membawa dan membaca buku pada saat mereka menunggu bus atau saat duduk-duduk di stasiun kereta, mereka sangat gila membaca dan memasok terus-menerus pengetahuannya. Sedangkan kebanyakan remaja kita malah begitu bangganya dengan produk-produk baru yang dibelinya, terutama baju atau produk-produk yang dibeli untuk trendi-trendian, untuk bisa tampil seperti yang ada di TV.
Menurut pengamat gaya hidup remaja, Alissa Quart dalam bukunya yang berjudul Brabded (2003), dikatakan bahwa: ”Sebagian besar remaja memang gandrung pada merek, tetapi yang paling terobsesi pada merk adalah remaja yang merasa kekurangannya hanya dapat ditutupi dengan merek paling terkenal untuk melindunginya dari tekanan sosial”.
2

Tahukah mereka bahwa mereka memang berusaha dibentuk oleh kapitalis (pemodal) asing agar mereka sebagai generasi muda Indonesia akan hanya pasif-konsumtif dan diharapkan hanya akan menjadi kalangan yang mendatangkan keuntungan bagi produk-produk kapitalis. Kalau kaum muda itu hanya bangga ketika menghabiskan uang untuk belanja dan memiliki produk-produk baru—atau bangga saat bisa tampil seperti di TV atau sinetron—, maka dengan gembiranya para kapitalis dengan kondisi itu yang hanya menghabiskan banyak waktu untuk ”kebanggaan semu”. Artinya, mereka telah menjadi korban dari upaya yang dilakukan kapitalis agar kamu hanya bisa membeli, meniru, dan tidak menghasilkan sesuatu.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa, sebagaimana saya tuliskan di bagian pendahuluan buku tersebut, saya tidak hitam-putih dalam melihat persoalan yang dihadapi mahasiswa. Mahasiswa adalah produk atau—lebih tepatnya—korban. Tetapi masih ada potensi bagi mahasiswa untuk bisa menjadi progressif, tetapi hal itu membutuhkan kepemimpinan dari elemen mahasiswa yang maju serta didukung oleh syarat-syarat objektif perkembangan sejarah masyarakat yang ada. Saat ini, ketika krisis kapitalisme terus meningkat, ke depan pasti akan muncul lagi gerakan mahasiswa. Saya sungguh tidak apatis, saya optimis. Bahkan akhir-akhir ini hidup saya semakin optimis, seperti energi tersendiri dalam hidup saya!***

Catatan:
1 Jeremy Seabrook, Kemiskinan Global, Resist Book, Yogyakarta, 2006
2 Alissa Quart, Belanja Sampai Mati, Resist Book, Yogyakarta, 2008, hal. 24-25