Jumat, 21 Desember 2007

22 Desember Hari IBU:

Ibunda, Ibumu, dan Ibu Kita

Oleh: Nurani Soyomukti


Hari Ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember, untuk mengingat jasa para Ibu dan kaum perempuan yang melahirkan anak-anak peradaban. Ibu adalah sosok terpenting bagi kelahiran manusia baru. Oleh karenanya, dalam peringatan Hari Ibu, kaum perempuan ditempatkan sebagai sumber utama kehidupan, yang dilahirkannya mengucapkan terimakasih, memberi ucapan selamat dan bahkan diwujudkan dengan memberikan hadiah sebagai tanda kasih sayang pada Ibu.

Sosok Ibu di sini harus kita lihat benar-benar sebagai pusat peradaban umat manusia, yang dengan segala “doa”-nya, anak-anak itu telah menjalani kehidupan masing-masing, dengan peran yang berbeda-beda. Sosok Ibu yang terhormat adalah Ibu yang mampu mendorong agar anak-anaknya dapat berperan dalam membangun sejarah peradaban. Peradaban yang maju itu haruslah ditandai dengan capaian hubungan social yang menghidupi bagi semua umat manusia—bukan hanya segelintir saja—dan menunjukkan tingkat capaian kematangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memudahkan hidup dan melestarikan kehidupan itu sendiri.

Saat peradaban sedang timpang, kontradiktif, dan bahkan cenderung untuk mundur, maka Sang Ibunda juga harus mendorong anak-anaknya untuk terlibat aktif untuk mengatasi masalah itu. Sang Ibunda bukan hanya mendorong anak-anaknya untuk terlibat dalam perjuangan kemanusiaan yang mendalam, bukan sekedar mengejar kesuksesan pribadi dan kejayaan individu. Seorang Ibu bahkan akan berbahagia saat anaknya memiliki kerelaan dan mau menanggung resiko dari proses perjuangan hidup membela kebenaran dan melawan ketidakadilan. Bahkan seorang Ibu itu, kalau ia benar-benar memahami anak-anaknya, mau tak mau, ia juga mau terlibat dalam upaya melawan ketidakadilan tersebut.


Nyai Ontosoroh dan “Ibunda”: Ibu Sejati

Maka Sang Ibu sejati tersebut mirip dengan seorang ibu dalam novel “Ibunda”-nya Maxim Gorky yang memahami dan mengerti kenapa anaknya, dan anak-anak muda lainnya, harus berjuang membebaskan belenggu ketertindasan. Bahkan sang Ibu tersebut bukan hanya merelakan anaknya dengan tangis keharuan atas jiwa kepahlawanan. Seorang Ibu dalam novel Gorky digambarkan sebagai orangtua yang bertindak: mengirimkan surat-surat ke penjara, membagi-bagikan selebaran secara sembunyi-sembunyi.

Secara tegas, Ibunda dalam karya Gorky digambarkan sebagai sosok perempuan yang hidup di masa Revolusi Demokratik berlangsung di Rusia, sekitar awal abad 20. Ia bersama rakyat miskin lainnya hidup di tengah peluit pabrik yang menjerit-jerit di atas perkampungan buruh yang kumuh. Ibunda menikah dengan Michail Wlassow, laki-laki peminum berat, yang memperlakukan istri secara amat kejam. Setelah suaminya meninggal banyak keadaan yang berubah. Ia masih punya anaknya yang bernama Pavel, yang kemudian menjadi aktivis buruh dan terlibat dalam gerakan politik pada waktu itu.

Keterlibatan Pavel dalam politik dimulai ketika ia memiliki kebiasaan baru, yaitu membaca buku dan interaksinya dengan para aktivis yang ditemuinya di tempat lain. Awalnya, ketika dilihatnya bahwa kepribadian, komitmen, dan (utamanya) tujuan hidup anak laki-laki itu berubah, Sang Ibunda cemas dan khawatir padanya. Tetapi akhirnya ia mulai dapat memahami hal-hal baru yang tak pernah terbayangkan dalam hidupnya setelah kawan-kawan Pavel menyusun sebuah gerakan kemanusiaan yang bahkan juga dibicarakan di rumahnya. Bahkan Sang Ibunda haru karena sekecil kumpulan pemuda tidak mabuk-mabukan ketika mengadakan pertemuan di antara mereka. Padahal, di daerah tempat ia tinggal, bila seorang pemuda telah usai kerjanya di pabrik dan berkumpul dengan teman-temannya, kegiatan yang normal adalah minum-minum sampai mabuk. Hal baru yang lainnya adalah bagaimana seorang gadis kawan Pavel mengorbankan dirinya, waktunya, hanya untuk sesuatu yang abstrak, yang disebut cita-cita.

Maka, dalam novel Gorky ini seorang ibu digambarkan sebagai sosok yang produktif dan aktif dalam sejarah untuk perubahan masyarakat. Bukan seorang ibu yang cengeng dan hanya menginginkan kesuksesan pribadi anaknya. Ibunda dalam novel Gorky ini adalah yang memiliki cinta kasih universal, menyinari perasaan-perasaan tersulit anak-anak selama menghadapi represi kekuasaan Tsar. Ketika Pawel dan anak-anak itu satu persatu ditangkap bahkan disiksa di depan matanya, Ibunda terjun ke kancah revolusi dengan peranannya sebagai pendistribusi pamflet ke kalangan buruh dan tani. Kemudian ia dituduh pencuri oleh seorang mata-mata, dan saat sedang ditangkap polisi militer dengan kekerasan, ia teriakkan “bahkan samudera pun tak kan mampu menenggelamkan kebenaran”.

Pengaruh Maxim Gorky dan sastra realisme sosialis di Indonesia memang melekat pada Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang telah meninggal dunia di tahun ini beberapa waktu lalu. Melalui karya terbesarnya, tetralogi Bumi Manusia, Pram juga mengangkat sosok perempuan sekaligus seorang ibu di masa penjajahan yang banyak melontarkan pemikiran yang maju dan mencerahkan.

Oleh Pram tokoh Nyai Ontosoroh yang dikonstruksi dan diidealisasi Pram juga seorang yang karena pengaruh pencerahan ikut mendukung pemikiran baru yang sedang bangkit waktu itu. Nyai Ontosoroh adalah seorang wanita bumi putera yang bernama asli Sanikem, perempuan pribumi sederhana yang awalnya tak berdaya untuk menolak menjadi gundik (nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema. Tetapi ia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketakberdayaan menolak untuk menjadi gundik mendorong Nyai Ontosoroh untuk banyak menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mengendalikan perusahaan milik Herman.

Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem wanita pribumi yang lagi-lagi tak berdaya ketika anaknya, Anellies, diambil paksa dari tangannya. Tetapi bagaimanapun juga Nyai Ontosoroh dalam novel tersebut telah berusaha keras melakukan perlawan mempertahankan anaknya meski kalah. Kekalahan adalah resiko dari pertarungan. Tetapi semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh berkata kepada tokoh Minke dengan kepala tegak: "Kita kalah. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya!"

Dalam novel tersebut, Nyai Ontosoroh adalah seorang ibu yang sangat mengasihi anaknya, Annelis. Bahkan ia adalah sang ibu yang memberikan banyak gagasan maju yang mencerahkan anak angkatnya, Minke, seorang pemuda keturunan bangsawan Jawa yang tidak lagi mau tunduk patuh pada produk pikiran dan tindakan lama yang mencerminkan relasi ketidakadilan. Seorang ibu, Nyai Ontosoroh, telah mendorong seorang pemuda untuk berpartisipasi dalam mendukung perubahan di sebuah negeri yang memang hendak meninggalkan jaman kegelapan. Seorang ibu dalam masyarakat transisi memiliki peran yang kuat, tidak lemah dan hanya tunduk patuh serta jatuh ke dalam kubang posisi dan peran domestik, apa lagi sampai menjadi objek kekerasan suami.

Karya-karya semacam itulah yang sangat kita butuhkan sekarang ini. Perjuangan memperjuangkan hak-hak perempuan dan menuntut partisipasi aktif dan produktif bagi kaum perempuan adalah kebutuhan yang tak dapat ditawar. Para penulis dan pengarang (sastrawan) harus mengagendakan aktualisasi komitmen sosial kepengarangannya, terutama dari kaum perempuan sendiri yang seharusnya berada di garis depan dalam dunia kesusastraan untuk menuliskan posisi dan peran yang maju dan mendobrak budaya patriarki.

Akhir-akhir ini memang banyak karya sastra yang menjadi tempat bagi kaum perempuan untuk mendobrak kebudayaan lama Indonesia yang membelenggunya. Bukan lagi lelaki seperti Pram yang hadir,tetapi justru kaum perempuan sendiri yang telah menghasilkan karya sastra untuk melontarkan pemikirannya menamai relasi kesetaraan. Sebut saja Ayu Utami yang dengan Novel “Saman” dan “Larung”-nya berhasil merebut diskursus baru tentang perempuan yang memiliki hak atas tubuh dan pilihan ideologis atau keberpihakan. Nama lain seperti Jenar Mahesa Ayu, Dewi “Dee” Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, dll turut membuka kembali kebekuan paham lama. Mereka melanjutkan upaya perlawanan yang dirintis oleh Kartini. Melalui sastra pencerahan dimulai dan paham lama ditinggalkan.

Karya-karya tersebut turut mengiringi gerakan sosial untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Capaian legal dan formal saja tidak cukup. Memang, dibutuhkan sebuah penempatan perempuan dalam perjuangan untuk menghadapi dan menghancurkan tatanan penindasan yang kini didominasi neoliberalisme dan sisa-sisa feodalisme. Perjuangan perempuan tidak boleh eksklusif, tetapi harus terlibat dalam perjuangan massa rakyat, mengarahkan serangan ideologis dan programatiknya untuk menyerang akar permasalahan. Sebagaimana kita rasakan, karya-karya sastra tersebut turut mewarnai dan memberikan nuansa estetis pada gerakan sosial dan (bahkan) politik untuk menghancurkan sumber-sumber sosial yang menyebabkan ketertindasan perempuan.***



Jember, 22 Desember 2007




Tidak ada komentar: