Selasa, 04 Desember 2007

ALIRAN SESAT ATAU GLOBALISASI SESAT?


Aliran Sesat di Era Globalisasi Sesat

Oleh: Nurani Soyomukti

Aliran sesat bukan hanya fenomena di negeri ini, tetapi merupakan gejala yang terjadi di mana-mana. Kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan globalisasi kapitalis (neoliberal) yang memiskinkan dan mengakibatkan ketimpangan dalam berpikir dan menafsirkan realitas.
Di negeri ini, tidak dapat kita bayangkan jika melihat perkembangan dan dinamika pemikiran masyarakat dipisahkan dari perkembangan material sejarah itu sendiri. Sejarah berjalan sesuai dialektika material yang konkrit, tidak abstrak. Pemikiran, baik yang objektif maupun yang sesat (tidak objektif), lahir dari tingkat kemampuan manusia dalam melihat dan merespon perkembangan sejarah yang konkrit tersebut.
Dalam menilai munculnya aliran sesat yang terjadi akhir-akhir ini, nampaknya debat yang ada masih melibatkan dua kutub pemikiran yang berbeda dalam kasanah pemikiran keagamaan di Indonesia. Yang pertama adalah aliran fundamental yang memaknai gejala “aliran sesat” secara absolut sebagai bentuk penyimpangan ajaran Islam. Dengan pendekatan kaku dalam melihat hubungan realitas dengan teks, mereka menganggap bahwa aliran sesat harus dimusnahkan dan dihancurkan karena bertentangan dengan ajaran Islam yang sejati.
Yang kedua adalah pandangan yang keluar dari pihak Islam liberal yang selalu bernada relativistik dengan jargon demokrasi liberal yang meniscayakan hadirnya ruang kontestasi bagi segala aliran keagamaan karena masing-masing kepercayaan adalah hasil dari pergumulan spiritual juga. Kelompok ini menolak cara-cara kekerasan dan penggunaan wewenang agama dan Negara dalam mengatasi masalah pemahaman keagamaan karena intervensi Negara dalam hal kepercayaan dan keyakinan keagamaan akan menyebabkan terciptanya benih-benih fasisme yang berkedok keagamaan.
Aliran sesat harus dipandang sebagai penyimpangan bukan hanya dari sudut pandang keagamaan, tetapi juga dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Hal ini untuk mengevaluasi peradaban kita dalam kaitannya dengan pertanyaan apakah kemajuan produksi masyarakat dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi telah dapat mengiringi kedewasaan berpikirnya?

Fenomena Globalisasi
Seharusnya memang tidak perlu ada perdebatan tanpa ujung sebagaimana memperdebatkan tafsir agama selama ini hanya menimbulkan pertentangan yang tiada gunanya. Yang mengherankan selalu tidak dilihat dari mana dan bagaimana suatu pemikiran manusia berkaitan dengan reaksi dan responnya terhadap realitas masyarakat yang belakangan ini secara material mengalami kontradiksi tajam. Agama adalah bagian dari realitas dan perdebatan pemikiran keagamaan tidak pernah menyentuh realitas. Agama selalu memperdebatkan hal yang bersifat abstrak, tidak mampu mengarahkan penganut dan pemikirnya untuk melihat sumber dari kontradiksi itu sendiri. Kontradiksi material yang melahirkan kontradiksi pemikiran dengan perdebatan tanpa ujung-pangkal itu adalah ketimpangan ekonomi dan sistem penindasan yang eksploitatif di negeri ini.
Kesesatan berpikir adalah bagian dari mekanisme kekuasaan yang menginginkan manusia-manusia tidak lagi memahami persoalan dengan landasan akal. Masalahnya, selalu akallah yang menjadi alat bagi manusia untuk menyadari terjadinya manipulasi pengetahuan di bawah tatanan penindasan yang terjadi. Entah disengaja atau tidak, aliran-aliran sesat di era globalisasi harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari fakta bahwa kemajuan teknologi yang ada belum dapat mencerahkan umat manusia karena teknologi hanya digunakan oleh sebagian kecil pemilik modal untuk mencari keuntungan. Ada reaksi atas hak-hak monopolistik itu, tetapi sebagian besar ketidakpuasan tersalurkan dalam bentuk eskapisme, yang terwujud dalam bentuk munculnya aliran-aliran kepercayaan dan gerakan-gerakan yang menyimpangkan antara realitas objektif dengan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mendukung keseimbangan capaian teknologis yang ada.
Tak heran jika gerakan-gerakan yang beraliran sesat muncul dalam berbagai macam bentuk. Dua tahun setelah William Rees-Moff (mantan editor dari harian Times di London dan seorang Konservatif tulen) mengatakan dalam bukunya The Great Reckoning, How the World Will Change in the Depression of the 1990s, bahwa Jepang merupakan Negara yang aman dari aliran sesat karena masyarakatnya yang maju dan tidak retak, serangan gas yang mengerikan di jalur kereta bawah tanah Tokyo menarik perhatian dunia. Kegiatan teroristik itu dilakukan oleh sebuah kelompok keagamaan fanatik yang cukup besar. Serangan itu menyadarkan bahwa di Jepang krisis ekonomi telah menamatkan masa-masa keemasan tanpa pengangguran dan ketidakstabilan sosial.
Di abad 21 ini, globalisasi kapitalisme menyeruak dengan daya dukung hubungan social di mana kelas kapitalis memihak pada cara pandang yang rasional atas dunia tinggallah kenangan. Industrialisasi kapitalis berjalan—tentu saja dengan menekan upah buruh dan mengabaikan kesejahteraan rakyat di era kapitalisme neoliberal—dengan mengabaikan hak-hak masyarakat luas akan ilmu pengetahuan. Sekolah-sekolah dikomersialisasi sehingga banyak anak-anak dan kaum muda yang tidak mampu mengakses informasi, pengetahuan, dan ketrampilan. Film-film dan propaganda takhayul ditebarkan melalui medianya. Tujuannya adalah menciptakan keuntungan di kalangan pemilik perusahaan-perusahaan transnasional. Mereka tidak peduli bagaimana kemajuan masyarakat banyak. Bahkan sebagaimana terjadi di Negara-negara Barat, mereka mulai mengadopsi pemikiran konservatif dalam melihat perkembangan masyarakat.
Seakan terjadi pembalikan cara pandang, karena kemunculan industrialisasi kapitalis di Barat dulu dilakukan dengan mengalahkan pandangan konservatif Abad Kegelapan yang didasarkan pada takhayul. Kaum kapitalis begitu menjunjung tinggi renaisans (pencerahan) dan mendorong penyelidikan ilmiah dengan demokrasi dan kesetaraan sebagai prinsip perjuangannya. Di Perancis, negeri yang menjadi klasik dalam kancah ekspresi politik dari revolusi borjuis, kaum borjuasi di tahun 1789-93 melancarkan revolusinya di bawah bendera Akal. Jauh sebelum mereka meruntuhkan tembok penjara Bastille, diruntuhkannya tembok-tembok kokoh takhayul dan mistik di dalam benak kaum laki-laki dan perempuan. Di masa mudanya yang revolusioner ini, kaum borjuasi Perancis berwatak rasional.

Pentingnya Kesejahteraan
Sekarang ternyata lain. Dalam epos pembusukan kapitalisme sekarang ini, proses yang semula dijalani kini dijalankan ke arah kebalikannya. Mengutip Hegel, istilahnya "Akal menjadi Anti-Akal". Benar bahwa di negeri-negeri industri maju, agama "resmi" telah membeku. Gereja-gereja tidak lagi didatangi orang yang bersembahyang, dan semakin jatuh ke dalam krisis. Sebagai gantinya, kita melihat satu "wabah Mesir", bertumbuhnya sekte-sekte keagamaan yang aneh-aneh, yang diiringi dengan berkembangnya berbagai jenis ajaran mistis dan segala macam takhayul. Wabah fundamentalisme agama yang mengerikan, baik Kristen, Yahudi, Islam, Hindu.
Fakta itu adalah satu perwujudan dari kemandegan yang dialami masyarakat. Sejalan dengan semakin mendekatnya abad baru, kita dapat mengamati kemunduran yang dahsyat dari masyarakat, kembali ke Abad Kegelapan. Rasa kehilangan arah dan pesimisme menemukan cerminannya dalam segala macam cara, tidak harus selalu dalam bidang politik. Irasionalitas yang mendominasi ini bukanlah satu kebetulan belaka. Semua itu adalah cerminan psikologis atas satu dunia di mana nasib umat manusia dikendalikan oleh satu kekuatan yang mengerikan dan nampaknya tak dapat terpecahkan.
Jadi nampak jelas bahwa aliran sesat hanya akan dapat diberantas jika kita memiliki tanggungjawab untuk bertindak dalam mengatasi kontradiksi pokoknya yang ada dalam hubungan ekonomi-politik kita. Aliran sesat bukan hanya urusan agama, tetapi lebih dari itu ia adalah masalah ekonomi. Krisis kesejahteraan di negeri ini harus diatasi dulu agar ketimpangan masyarakat yang ada tidak menimbulkan ketimpangan daalam menafsirkan suatu realitas dan ajaran yang juga tak bisa dipisahkan dari realitas.***

Nurani Soyomukti, aktif di JAMAN (Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional) Jawa Timur; pernah menjadi peneliti tamu di International Center for Islam and Pluralism (ICIP) Jakarta; penulis buku “Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Politik Radikal” (RESIST BOOK, Yogyakarta); memperoleh penghargaan Juara I Lomba Esai Pemuda Tingkat Nasional MENPORA 2007.

Tidak ada komentar: