Minggu, 09 Desember 2007
Renungan Tahun Baru: "TITI KALA MANGSA"
W a k t u—
“T i t i K a l a M a n g sa!”
Oleh: Nurani Soyomukti*)
Wong takon wosing dur angkoro
Antarane riko aku iki
Sumebar ron ronaning koro
Janji sabar, sabar sak wetoro wektu
Kolo mangsane, ni mas
Titi kolo mongso
Pamujiku dibiso
Sinudo kurban jiwanggo
Pamungkase kang dur angkoro
Titi kolo mongso
(Orang orang bertanya kapan angkara murka berakhir
Diantara kau dan aku
Tersebar daun daun kara
Bersabarlah untuk sementara waktu
Suatu ketika, dinda
Pada suatu ketika
Doaku semoga
Semakin berkurang korban jiwa raga
Pengakhir angkara murka
Waktu)
(Sujiwo Tedjo)
Sebentar lagi kita akan meninggalkan tahun 2007, dan kita akan menuju tahun baru, tahun 2008. Dan sayangnya kebanyakan manusia masih banyak berdebat soal waktu, dan bukannya mengukur dan membentuk ruang yang memungkinkan terciptanya kehidupan yang lebih baik. Merayakan—dan sekaligus meresahkan—waktu, dengan melupakan ruang, akan membahayakan bagi peradaban manusia.
Waktu, harus kita akui, begitu meresahkan bagi banyak—mungkin semua—orang, lebih tepatnya bagi orang yang hidup di jaman modern yang penuh kontradiksi dan ukuran-ukuran kuantitatif.
Bagi orang Jawa yang memegang kearifan budaya, seperti lagu Sujiwo Tedjo di atas, waktu benar-benar hanyalah berupa hitungan pada saat nasib kemanusiaan berharap kapan akan datang suatu perbaikan. Dan memang, ketika orang berharap atau menunggu (suatu karakter mental masyarakat modern), ia akan berurusan dengan waktu. Masalahnya ia menghitung dan mempertimbangkan. Dan pada saat ada ukuran berupa waktu, kecemasan adalah ciri dari masyarakat modern.
Mendefinisikan Waktu
Di abad ke-5, Santo Agustinus mengatakan: "Lalu, apakah waktu itu? Jika tidak ada yang bertanya, saya tahu apa waktu itu. Jika saya ingin menjelaskannya pada seseorang yang bertanya kepada saya, saya tidak tahu."
Dari ungkapan itu, mendefinisikan waktu sangatlah sulit. Apa lagi kalau dikaitkan dengan perasaan (baik cemas maupun optimis), waktu hanya dipahami secara serampangan. Bahkan biasanya orang lupa pada waktu, sebagaimana mereka lupa pada kebaikan dan kemanusiaan. Membuka kamus untuk mencari tahu makna dari waktu ternyata juga tidak banyak memberikan penjelasan. Di dalamnya “Waktu” didefinisikan sebagai "satu periode", dan satu periode didefinisikan sebagai "waktu". Artinya, membuka kamus untuk mengetahui apa makna waktu tak akan membuat kita pintar. Pada kenyataannya, hakikat waktu dan ruang adalah sebuah masalah filsafat yang cukup kompleks.
Waktu adalah cara untuk menyatakan perubahan dalam keadaan dan pergerakan yang merupakan ciri tak terpisahkan dari materi dalam segala bentuknya. Dalam tata bahasa Inggris, kita memiliki tenses: past tense, future tense dan present tense. Penaklukan kolosal yang dilakukan akal manusia memungkinkannya untuk membebaskan dirinya sendiri dari perbudakan waktu, untuk mengatasi situasi kongkrit dan menjadi "hadir" ('present'), bukan hanya di sini dan sekarang, tapi juga di masa lalu dan di masa datang, setidaknya di dalam pikiran.
Menurut Allan Wood dalam bukunya “Reason and Revolt” (1999), waktu dan gerak adalah dua konsep yang tidak terpisahkan. Keduanya hakiki bagi semua kehidupan dan semua pengetahuan di dunia, termasuk tiap perwujudan yang diambil oleh pikiran dan khayalan. Pengukuran, batu penjuru dari semua ilmu pengetahuan, akan mustahil tanpa ruang dan waktu. Musik dan tari didasarkan atas waktu. Seni sendiri mencoba mencapai satu rasa tentang waktu dan gerak, yang hadir bukan hanya diwakilkan oleh enerji fisik tapi juga oleh disainnya. Warna, bentuk dan garis dari sebuah lukisan membimbing mata melintasi permukaan dalam irama dan tempo tertentu. Inilah yang menumbuhkan rasa, ide dan emosi tertentu pada kita setelah kita menikmati karya seni tersebut. Keabadian adalah kata yang sering digunakan untuk menggambarkan berbagai karya seni, tapi justru sebenarnya menyatakan persis kebalikan dari apa yang dimaksudkan. Kita tidak akan dapat merasakan ketiadaan waktu, karena waktu hadir dalam segala sesuatunya.
Ada satu perbedaan antara ruang dan waktu. Ruang dapat juga menyatakan perubahan, sebagaimana perubahan dalam posisi. Materi hadir dan bergerak melalui ruang. Tapi jumlah cara yang dapat dilalui oleh perubahan ini besar tak berhingga: maju, mundur, naik atau turun, dengan derajat apapun. Pergerakan dalam ruang juga dapat berlaku kebalikannya. Pergerakan dalam waktu tidak dapat diputar balik. Keduanya adalah dua cara yang berbeda (bahkan bertentangan) dalam menyatakan satu ciri yang hakiki dari materi—perubahan. Inilah satu-satunya Kemutlakan yang ada.
Ruang adalah "kembaran" materi, kalau kita pakai istilah Hegel, sementara ruang adalah proses di mana materi (dan energi, yang merupakan pernyataan lain materi) terus-menerus berubah menjadi hal yang lain daripada dirinya sendiri. Waktu – "api yang menelan kita semua"—biasanya dilihat sebagai suatu hal yang destruktif. Tapi sebenarnya waktu juga merupakan pernyataan dari proses permanen penciptaan diri sendiri (self-creation), di mana materi terus-menerus berubah menjadi bentuk-bentuk lain yang jenisnya tak berhingga. Proses ini dapat dilihat dengan cukup jelas dalam materi-materi yang anorganik, terutama di tingkat sub-atomik.
Tahun Lama, Tahun Baru
Ya, tahun baru akan segera tiba. Bisakah kondisi buruk masa lalu kita hindari bersamaan dengan pergantian tahun? Bisakah pergantian waktu mengantar kita pada kehidupan yang lebih baik? Ataukah—sebagaimana dikatakan Martin Heidegger—akan terjadi lagi “rahasia waktu”, yakni risalah yang menuju kematian (Zeit zum Tode)?
Pandangan tentang perubahan, seperti yang dinyatakan dalam berlalunya waktu, dengan dalam merasuki kesadaran manusia. Inilah basis dari semua unsur tragis dalam kesusastraan, perasaan sedih karena berlalunya kehidupan, yang mencapai bentuknya yang paling indah dalam soneta-soneta Shakespeare, seperti yang satu ini, yang dengan gemilang menggambarkan satu rasa akan pergerakan waktu yang penuh keresahan:
"Like as the waves make toward the pebbled shore,
So do our minute hasten to their end;
Each changing place with that which goes before,
In sequent toil all forward to contend."
("Laksana ombak yang melaju ke pantai berpasir,
demikianlah menit demi menit berpacu menuju kehancuran;
semuanya bertukar tempat dengan para pendahulu,
berturutan mereka menyeret diri ke dalam pertempuran")
Kemustahilan kita untuk membalik waktu tidak hanya berlaku untuk mahluk-mahluk hidup. Bukan hanya manusia, tapi bintang-bintang dan galaksi juga dilahirkan dan mengalami kematian. Perubahan berlaku untuk segala hal, tapi bukan hanya dalam makna yang negatif. Berdampingan dengan kematian, hadirlah kehidupan, dan keteraturan lahir secara spontan dari kekacauan. Tanpa kematian, kehidupan itu sendiri tidaklah akan dimungkinkan. Tiap orang bukan hanya sadar akan dirinya sendiri, tapi juga akan negasi dari diri mereka, dari batasan terhadap diri mereka sendiri. Kita berasal dari alam dan akan kembali ke alam. Kenapa takut dengan waktu? Seharusnya kita merencanakan ruang agar waktu tidak hanya meromantisir kejadian-kejadian, yang melupakan kita pada kenyataan yang sebenarnya. Wallahu’alam!***
_________
*)Nurani Soyomukti, aktif di JAMAN (Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional) Jawa Timur; penulis buku “Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Politik Radikal” (RESIST BOOK, Yogyakarta); memperoleh penghargaan Juara I Lomba Esai Pemuda Tingkat Nasional MENPORA 2007; pendiri yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jember Jawa Timur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar