Rabu, 05 Desember 2007

AYO MENONTON FILM MULTIKULTURALIS-KRITIS!




“The Kingdom”,
Satu Lagi Film Multikultural
setelah “Babel”

Oleh:
Nurani Soyomukti,
penikmat dan pemerhati film

Menghabiskan malam minggu dengan nonton di bioskop yang cukup elit di Jakarta sungguh menyenangkan. Maka pilihlah film-film yang terbaik, bukan film Indonesia yang biasa tetapi film Hollywood yang alur dan ucapan-ucapan pemainnya berbobot.

Sabtu, 1 Desember 2007, pukul 20.22.
Setelah meluncur naik taksi dari TIM (Taman Ismail Marzuki), kami berdua memang agak terburu-buru karena ingin mengejar jadwal film. Pada malam minggu sebelum-sebelumnyanya, kami datang cukup awal. Niatnya agar dapat memilih secara khidmat film mana yang hendak kami tonton. Waktu itu kami menonton “The Residence Evil II”, yang dibintangi oleh Mila Jovovich—seri kedua ini lebih bagus dari pada “Resident Evil yang pertama”.
Nonton film di bioskop harus khidmat, karena rugi kalau tidak fokus, biayanya mahal. HP bahkan harus kumatikan—tidak peduli apakah kekasihku yang di kejauhan, waktu itu, kirim sms atau menelfon. Duduk berdua nonton bersama di sebuah bioskop terkenal Jakarta, ‘Jakarta Teathre’, membuat kami lupa akan segala-galanya.
Kali ini film-nya bukan hanya bagus, tetapi juga berkaitan dengan suatu hal yang selama ini kujalani. Film yang dilatarbelakangi oleh masalah politik memang lebih menarik. Selain itu film ini sangat—aku bilang—“MULTIKULTURAL”. Judulnya adalah “THE KINGDOM”. Tak heran jika seat di bioskop penuh, hanya tersisa 5 kursi—tidak seperti biasanya.
Film Kingdom ini mengingatkan aku pada film yang, menurutku, sangat bagus, yaitu “BABEL”, karena sama-sama multilkulturalnya.

The Kingdom adalah film tahun 2007 yang disutradarai oleh Peter Berg dan dibintangi oleh Jamie Foxx, Chris Cooper, Jennifer Garner, Jason Bateman, Ashraf Barhom, dengan Kyle Chandler, dan Ali Suliman. Dan film ini disutradarai oleh Michael Mann, seorang yang dinominasikan dalam Academy Award.
Film ini memang bersifat fiktif, tetapi diilhami oleh peristiwa politik. Peristiwa tersebut adalah pengeboman di Riyadh yang terjadi pada 12 May 2003 dan di kompleks perumahan Khobar pada Juni 1996, di wilayah kerajaan Saudi Arabia. Kamp dan kompleks perumahan itu ditempati orang-orang Amerika (AS) yang dilindungi oleh kerajaan, dibentengi dan dijaga untuk keamanan, dan di dalamnya orang-orang AS (keluarga-keluarga yang bekerja di Arab Saudi) bisa hidup dengan budayanya sendiri (tidak berjilbab, misalnya, tidak mengikuti hukum Arab yang Islamik).
Serangan teroris di kompleks perumahan pekerja luar negeri (kebanyakan warga AS) di Riyadh, membunuh lebih dari ratusan orang, kebanyakan Ibu dan anak-anak, termasuk juga seorang agen khusus Francis Manner (Kyle Chandler)—dia adalah agen FBI yang ditugaskan di Arab Saudi. Atas kasus itu, pihak diplomatik nampak enggan untuk mengirimkan timnya ke negara yang menganut tatanan Monarki Absolut (kerajaan itu). Karena memiliki kepekaan yang kuat dan pengalaman pribadi terhadap kompleks perumahan tersebut, seorang agen khusus Fleury (diperankan Jamie Foxx) membentuk timnya sendiri dan memimpin sebuah investigasi. Bersama agen Janet Mayes (Jennifer Garner), Adam Leavitt (Jason Bateman), dan Grant Sykes (Chris Cooper) yang berada di pihaknya, ia berharap dapat menemukan siapa yang bertanggungjawab atas pengeboman tersebut.
Dalam kasus investigasi inilah film ini sungguh memberikan gambaran yang menarik mengenai ketegangan multikultural, dan film ini pulalah yang—menurut aku—juga memberi gambaran bagaimana ketegangan itu dapat diatasi dengan bekerja keras dan kerendahatian dalam menghadapi budaya komunitas masyarakat lainnya.
Diperlihatkan dalam film ini bahwa awalnya tim tersebut menghadapi birokrasi yang feudal dan memandang kehadiran orang Amerika secara hati-hati, bahkan ada yang penuh curiga. Dari berbagai macam percakapan, pertukaran pengalaman, penjelasan yang sabar dan menguatkan, tim ini melalui sang ketuanya akhirnya berhasil merebut hati dan memberi kepercayaan pada pejabat kepolisian Arab Saudi, Kolonel Faris Al Ghazi (Ashraf Barhom) dan koleganya Sgt Haytham (Ali Suliman). Dua tim dari “peradaban yang berbeda” akhirnya dapat menemukan pelaku kejahatan.
Yang dapat dipetik dari plot film ini, kemudian, adalah suatu hal yang sangar realistis: bahwa dua peradaban yang berbeda akan dapat menyatu jika memiliki musuh bersama yang harus diselesaikan dengan kerjasama, yaitu tindakan anti demokrasi dan kemanusiaan yang bernama Terorisme. Film ini juga menunjukkan kerendahatian peradaban Barat, yaitu bisa dilihat saat Janet Mayes (Jennifer Garner) sebagai satu-satunya perempuan dalam tim itu juga mau kompromis mengenakan kerudung saat pangeran Arab berkunjung ke pada tim FBI itu. Bahkan dia juga mau menerima ketika ia tidak boleh ikut saat sang Pangeran mengundang tim untuk datang ke kerajaannya karena acaranya adalah acara laki-laki.
Artinya, film ini nampaknya memang tidak begitu didasari oleh upaya menonjolkan kelebihan kebudayaan Barat. Kalau toh ada kontradiksi (baca: kelucuan) pada gambaran budaya Arab, cara penyajiannya benar-benar “intelek”, mulai menggambarkan kesalahpahaman dalam hal mengucapkan nama, nama makanan, hingga pemikiran yang berbeda. Toh kedua peradaban ternyata juga dipertemukan dengan pengalaman dan kepentingan universal. Fariz, misalnya, sebagai pimpinan kepolisian juga tidak membenci produk-produk Amerika. Ketika Fleury bertanya” “Mengapa kamu ingin menjadi polisi, Fariz?” Iapun menjawab bahwa semasa kecilnya ia sering menonton film-film Amerika, khususnya Hulk (The Incredible). Keduanya bahkan juga bercerita banyak hal yang akhirnya mengikat emosi antara keduanya, kedua peradaban.
Ikatan emosional yang kuat itulah yang menyebabkan Fleury bersedih saat Fariz Al Ghazi terbunuh, tertembak oleh teroris. Tetapi peristiwa terakhir yang menyebabkan Fariz terbunuh itulah yang menandai terbongkarnya jaringan teroris yang bertanggung jawab, kelompok Abu Hamzah.

Multikulturalisme “Babel” yang Kritis
Kalau untuk fim ini aku nonton di CD room labtop. Film yang mendapatkan banyak penghargaan memang film yang baik, tak seperti Indonesia yang memenangkan film yang buruk, tak berkualitas, dan merusak kesehatan mental masyarakat khususnya kaum muda. Lihatlah, film “Babel” ini memenangkan Golden Globe dan masuk nominasi Academy Award pada tahun 2006 (masuk 7 kategori, sebagai Best Picture, Best Director, dan dua nominasi untuk kategori Best Supporting Actress dan memenangkan Best Original Score).
Film ini memfokuskan empat bingkai situasi dan para pelakunya yang saling berkaitan, dan banyak kejadian ditampilkan dengan mengabaikan urutan. Tetapi jika diurutkan, setelah kita menonton penuh film ini, mungkin ceritanya akan seperti ini:
Di sebuah gurub pasir terpencil di wilayah selatan Maroko, Abdullah, seorang penggembala membeli senjata dan sekotak peluru dari Hassan Ibrahim yang hidup di desa tetangganya. Senjata itu akan digunakan untuk membunuh serigala yang seringkali menganggu kambing yang digembalakannya. Abdullah memberikan senjata itu pada dua anak laki-lakinya, Yussef dan Ahmed. Lalu dia menyuruh keduanya untuk mengawasi serigala dan menembaknya jika binatang pemangsa itu muncul. Karena keduanya masih belajar soal senjata, kedua anak ini ingin mengetes apakah senjata itu benar-benar bisa ditembakkan dengan jarak tembak yang jauh. Mereka ingin mengetesnya dengan menembak batu dan kemudian sebuah bus yang membawa penumpang para turis dari Barat yang sedang melintas di jalan di bawah bukit di mana kedua anak tersebut sedang menguji senjatanya. Yussef benar-benar menembak bus itu untuk menguji apakah senjata itu benar-benar bisa menembak jarak jauh sebagaimana dikatakan ayahnya. Peluru itu benar-benar mengenai salah satu penumpang bus itu, Susan Jones (diperankan Cate Blanchett), seorang warga AS dari San Diego yang sedang bepergian bersama suaminya Richard Jones (diperankan Brad Pitt).
Kedua anak itu tahu dan menyadari apa yang terjadi dan melarikan diri dari tempat itu, dan langsung menyembunyikan senjata itu di puncak bukit pada malamnya.
Ternyata kejadian itu dipersepsikan secara lain di negara AS. Yang mewarnai berita-berita koran dan TV adalah bahwa penembakan itu dilakukan oleh pihak teroris dan berita tersebut nampaknya sesuai dengan tujuan pemerintah AS untuk menekan pemerintahan Maroko agar menangkap pelaku kejahatan tersebut.
Setelah menelusuri kejadian tersebut dan mengetahui bahwa senjata itu milik Hasan, polisi Maroko langsung bergegas mendatangi rumahnya, menanyai secara kasar Hasan dan istrinya hingga mereka mengaku bahwa senjata itu awalnya adalah milik orang Jepang yang memberikan senjata itu padanya, lalu kemudian dijual ke Abdullah. Kejadian di rumah Hasan itu diketahui oleh Yussef dan Ahmed, mereka langsung lari ke rumah dan mengaku pada ayahnya tentang kejadian yang sebenarnya—termasuk mengaku yakin bahwa senjata itu telah menembak dan melukai perempuan Amerika itu.
Mereka bertiga melarikan diri dari rumah, dan mengambil kembali senjata itu kemudian berencana pergi agar lolos dari kejaran polisi. Akan tetapi polisi berhasil mengepung mereka di lereng bukit yang berbatu. Tembak-tembakan terbuka pun terjadi. Setelah kaki saudaranya tertembak, Yussef giliran menembaki polisi, tembakannya mengenai lengan salah seorang polisi. Polisipun semakin membabi buta, tembakannya mengenai saudara Yussef di bagian pinggangnya. Melihat ayahnya merasa marah bercampur sedih, Yussef akhirnya menyerah dan mengakui semua yang dilakukannya, sambil meminta ampunan bagi keluarganya dan bantuan perawatan bagi saudaranya Ahmed. Polisi menahan Yussef.
Plot film ini dimulai dengan memotret kehidupan Richard dan Susan. Mereka akan berwisata ke Maroko untuk melupakan kesedihan pernikahannya setelah anak ketiganya meninggal, yang menyebabkan hubungan keduanya kurang sehat dan seringkali saling menyalahkan. Ketika Susan tertembak di dalam bus itu, Richard memaksa sopir bus untuk mampir ke sebuah perkampungan untuk mencari dokter—nama desa yang digambarkan film ini adalah Tazarine. Susan mendapatkan perawatan seadanya, yang hanya cukup untuk menstabilkan keadaannya. Para turis lainnya marah-marah karena perjalanannya terganggu dan terhambat gara-gara mengurusi satu orang yang sakit. Mereka memaksa sopir untuk meninggalkan tempat itu segera juga karena takut kalau suatu waktu diserang oleh gerombolan teroris yang ada di daerah itu.
Karena Susan tidak mungkin meneruskan perjalanan naik bus, Richard meminta rombongan untuk menunggu sampai mendapatkan ambulans, yang ternyata tak pernah datang, dan akhirnya rombongan bus meninggalkannya pada saat Richard sedang menelfon minta bantuan. Anwar, seorang penduduk asli Maroko yang menjadi pemandu tour itu, menemani Richard dan Susan ditinggal oleh rombongan. Mereka berhasil mengontak Kedutaan Besar AS di Maroko, melalui telfon umum satu-satunya yang ada di desa itu. Isu politik antara AS dan Maroko menyulitkan mereka mendapatkan bantuan secara cepat, tetapi pada akhirnya sebuah helikopter datang. Dilaporkan bahwa, setelah 5 hari di rumah sakit, Susan sembuh dan dikirimkan ke rumahnya.
Pada seting lainnya dikisahkan tentang Chieko Wataya (diperankan Rinko Kikuchi), gadis remaja yang bisu-tulis tetapi punya jiwa pemberontak. Ia mengalami trauma akibat kematian ibunya yang bunuh diri. Ia sangat benci dengan ayahnya, Yasujiro Wataya (diperankan Kōji Yakusho).
Chieko akhirnya bertemu dengan dua detektif yang menanyakan mengenai ayahnya. Ia tertarik pada salah satu detektif, Kenji Mamiya (diperankan Satoshi Nikaido). Ia mengundang kembali Mamiya ke apartemennya dan ia bercerita banyak tentang ayahnya. Secara salah menganggap bahwa detektif tersebut sedang menyelidiki keterlibatan ayahnya dalah kasus bunuh diri ibunya, ia malah menutup-nutupi dengan menjelaskan bahwa ayahnya sedang tidur ketika ibunya menjatuhkan dirinya dari balkoni, dan dia menyaksikannya sendiri. Pada hal sebenarnya, sang detektif ingin menyelidiki keterlibatan ayahnya di Moroko. Yasujiro sebenarnya adalah orang yang sangat keranjingan berburu, dan itulah yang dilakukan saat berada di Maroko saat berlibur ke negara itu. Setelah selesai berburu ia menghadiahkan senjatanya pada Hasan yang berperan sebagai pemandunya—Hasan yang di awal film ini menual senjatanya kepada Abdullah.
Subplot lainnya terjadi di Amerika di mana pembantu Richard dan Susan yang berasal dari Meksiko, Amelia (diperankan Adriana Barraza) yang merawat kedua anaknya di rumahnya di California. Sebagaimana dikisahkan, ia terpaksa harus menjaga anak-anak tersebut lebih lama dari yang diharapkan karena orangtuanya yang sedang melakukan perjalanan tidak terlacak keberadaannya. Sementara dia harus pulang ke kampungnya di Meksiko karena harus menghadiri perayaan pernikahan anak laki-lakinya. Tanpa harus menunggu kedua orangtua dua anak pulang, karena tak mau melewatkan perayaan anaknya, ia membawa kedua anak majikannya ke kampungnya. Keponakannya, Santiago (diperankan Gael garcia Bernal), bahkan menjemputnya untuk memastikan agar Amelia datang. Mereka melewati perbatasan negara AS-Meksiko yang keras dan ‘jahat’.
Akhirnya mereka sampai. Kegembira-riaan pesta pernikahan anaknya yang gaduh berlangsung sampai malam, tetapi Amelia memutuskan untuk pulang malam itu juga membawa anak-anak ke Amerika bersama Santiago. Karena pada saat pesta Santiago mabuk berat, hal itulah yang membawa masalah saat petugas penjaga perbatasan mencurigai tingkahlakunya.
Apalagi ada masalah lain yang membuat petugas itu curiga. Amelia memang memiliki pasport untuk keempat orang di dalam mobil itu, tetapi tidak memiliki surat ijin dari orangtua dua anak yang dibawanya keluar dari wilayah AS. Karena mabuk, Santiago memaksa menerobos perbatasan dengan kecepatan mobil yang tinggi. Lalu ia menurunkan dan meninggalkan Amelia dan dua anak itu, mencoba untuk mengecoh polisi yang mengejarnya.
Terdampar di gurun daerah perbatasan tanpa makanan dan air, Amelia dan dua orang bocah itu terpaksa menghabiskan malam di daerah itu. Menyadari bahwa mereka bisa mati jika tidak mendapatlkan bantuan, Amelia meninggalkan kedua anak itu di sebuah tempat. Amelia menyuruh mereka untuk meninggalkan tempat itu dan ia mencari orang untuk minta bantuan. Akhirnya ia menemui petugas patroli perbatasan Amerika. Petugas itu menangkapnya dan ia akan menemukan anak-anak tetapi ternyata tidak dilakukan. Amelia menangis tersedu-sedu dan akhirnya petugas itu mengikutinya berjalan kembali ke tempat di mana ia meninggalkan kedua anak itu, tetapi ternyata tidak ditemukan. Amelia semakin sedih dan ia dibawa kembali ke pos penjagaan, di mana akhirnya dia mendapatkan informasi bahwa kedua anak tersebut telah ditemukan dan bahwa ayahnya, Richard. Bagaimanapun, Amelia akan dideportasi dari AS di mana ia bekerja secara ilegal.

“Babel” sebagai Kritik Sosial
Sisi kritis film “Babel” adalah gambaranya tentang rumitnya kehidupan gara-gara isu teroris yang dihembuskan oleh AS. Berawal dari senjata yang dibeli Abdullah dari Hasan yang tujuannya untuk kebutuhan ekonomi, mempertahankan hidup dengan cara melindungi kambingnya dari serigala gurun, agar ia bisa menghidupi anak-anak dan keluarganya dari hasil beternak domba/kambing.
Demikian juga Hasan yang mencari uang dengan cara menjadi pemandu seorang kaya dari Jepang. Bahkan untuk mendapatkan uang tambahan, senapan yang merupakan hadiah dari orang yang dipandunya juga dijual karena ia butuh uang, bukan senapan.
Isu teroris yang dihembuskan pemerintahan Amerika, terutama sejak peristiwa 9/11, ternyata telah menimbulkan kehidupan yang berjalan seperti biasa begitu merepotkan orang yang ingin mengembangkan hidupnya. Bahkan juga menambah masalah orang yang ingin berwisata.
Isu teroris juga membuat orang saling mencurigai dan AS harus memperketat penjagaan daerah perbatasan. Amelialah yang menderita kerugian, kedua orang anak itu juga menderita.
Film ini tentunya juga mengingatkan pada kita bahwa “war on teror” yang dilakukan AS membawa kecerobohan atau mirip tindakan yang membabi buta—yang menunjukkan arogansinya sebagai negara ‘people power’. Itulah yang ingin disampaikan. Film yang bagus adalah film yang mengritik kebohongan dan kepunahan, mengangkat kisah orang-orang yang dilemahkan dan membimbing penonton agar melek tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Luar biasa film ini, aku sampai menontonnya berkali-kali, dan selalu kusarankan kawan dan siapapun untuk menonton film ini!***

Depok, 2 Desember 2007

1 komentar:

Hendra Try Ardianto mengatakan...

Bos, keren ceritanya, aku jadi tertarik menontonnya. Tapi ada yang hilang di-aku-nya, dari awal bicara "kami", kami tuh ente ama siapa seh. Hahaha (malah yang diperhatiin itu).