Selasa, 11 November 2008

Dimuat di "SUARA KARYA" Edisi Selasa (11 Nopember 2008):



Konstruksi Baru Karakter Pahlawan
Oleh Nurani Soyomukti *)

Betapa sulitnya mencari pahlawan di tengah-tengah kebuntuan ekonomi-politik yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kita butuh pahlawan-pahlawan yang berani memperjuangkan nasib rakyat, berani mengambil risiko, dan berani mengatakan realita secara benar dan memperjuangkan kebenaran itu sendiri.

Ada hambatan sejarah yang menyebabkan masyarakat kita (terutama para elitenya) tidak berani mengatakan kebenaran secara tegas, peragu, plintat-plintut, dan pengecut. Hal ini lahir dari sisa-sisa feodalisme yang belum tuntas. Karena, ketika industrialisasi dan kapitalisme masuk melalui kolonialisme, sesungguhnya tatanan feodal kerajaan tidak pernah dihancurkan oleh penjajah, tetapi justru diperalat untuk memaksimalkan keuntungan. Industrialisasi dan modernisme diterima, tapi unsur enlightment-nya tidak dilakukan.

Memang ada pahlawan yang berani melawan penjajah sejak kedatangannya di Indonesia, tetapi sedikit. Hal ini juga merupakan kesalahan sejarah peradaban kita. Kapitalisme dan industrialisasi seharusnya dapat dilalui oleh masyarakat kita sendiri, bukan dicangkokkan oleh penjajah asing.

Politik-ekonomi Kerajaan Majapahit, misalnya, sebenarnya telah mengarah pada corak produksi merkantilistik yang merupakan awal-awal masyarakat industrialisasi. Hal itu ditandai dengan membesar dan meluasnya bandar-bandar yang merupakan tempat perdagangan dari berbagai belahan dunia.

Sayangnya, kehancuran Majapahit dan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak mendorong pusat-pusat ekonomi bergeser ke daerah pedalaman, kembali ke corak produksi tanah. Hal inilah yang menyebabkan feodalisme justru makin kental hingga akhirnya ketika penjajah asing masuk, ia tidak dihancurkan tapi dimanfaatkan.

Pada zaman penjajahan Belanda, para bangsawan dan priayi dididik pendidikan Barat, khususnya tentang industrialisasi dan modernisme dalam rangka mempercepat infrastruktur ekonomi-politik di Indonesia. Tetapi, kebangsawanan ini tetap dijaga untuk mempertahankan ketertundukan rakyat jelata. Para turunan priayi yang menjadi pegawai-pegawai Hindia Belanda adalah kelas sosial istimewa meski pada dasarnya mereka adalah kelas yang berfungsi sebagai alat.

Fenomena elite sebagai alat kaum modal ini pada dasarnya masih berlanjut hingga sekarang, ketika rezim yang berdiri di Indonesia (mulai Orde Baru hingga menjelang pilpres putaran kedua ini) akan menjadi tatanan politik-ekonomi yang tidak lepas dari cengkeraman ekonomi kapitalis yang sudah sampai tahap neoliberal. Jelas bahwa kapitalisme dan modernisasi (industrialisasi) Indonesia tidak menghancurkan tatanan feodal. Dengan demikian, kekuatan produktifnya tak berkembang, borjuisnya bangkrut, parasit, korup, para elitenya hanya jadi antek dan penjilat pada borjuasi (pemodal) Barat yang lebih serius iman borjuisnya.

Inilah penjelasan material-historis watak bangsa kita berkaitan dengan kegagalan national and character building-nya. Dan, pemimpinnya selalu tidak memiliki prinsip politik yang tegas. Tindakan politiknya tidak bisa dipegang.

Feodalisme adalah corak produksi dan tatanan masyarakat yang bertumpu pada tanah sebagai alat produksi utama, sehingga merupakan fase masyarakat di mana perdagangan dan pasar bukanlah aktivitas utama. Struktur sosial feodal membagi dua kelas utama yang berhadap-hadapan secara ekonomi. Yaitu, kelas tuan tanah (raja-raja, bangwasan) yang menguasai alat produksi (tanah) dengan petani hamba, dan rakyat jelata yang tidak bertanah dan harus membayar pajak (upeti) kepada raja atas apa yang telah dihasilkannya.

Dengan demikian, akumulasi hasil kerja (produksi) dimiliki oleh tuan-tuan tanah yang akhirnya bisa hidup mewah dengan membangun istana. Istananya dipagari dengan benteng dan di dalamnya ada taman bermain sendiri, tempat selir-selir sendiri, dan berbagai kesenangan yang lain. Sementara itu, tenaga produktif rakyat tidak bisa dinikmatinya sehingga mereka hidup menderita.

Feodalisme Indonesia berbeda dengan di Barat. Di Barat dan bahkan kawasan Amerika Latin, feodalisme melahirkan hubungan kepemilikan yang tegas, di mana tanah-tanah benar-benar dimiliki oleh tuan-tuan (baron-baron di Eropa, hacienda di Amerika Latin). Sedangkan rakyat jelata berfungsi sebagai petani hamba yang tidak memiliki tanah sama sekali.

Inilah yang menyebabkan pertentangan kelasnya sangat besar. Dan, ketika pada masa selanjutnya terjadi perubahan, tatanan feodal benar-benar dihancurkan, mulai dari corak produksinya hingga hasil-hasil budaya dan pemikirannya. Ketika liberalisme hadir, ia lahir secara tegas, tidak setengah-setengah dan tidak berpijak di dua kaki, konsisten dan tidak peragu, karena kondisi material ekonominya memang mendukung watak itu.

Kita bisa melihat karakter masyarakat kita saat ini. Corak produksi kapitalisme pasar bebas telah menyeruak dengan budaya dan gaya hidup yang ditawarkannya. Tetapi, karena elite borjuis Indonesia tidak kuat dan tidak kreatif, maka secara nyata selalu kalah dengan borjuis-kapitalis asing yang kuat dan konsisten ide-ide liberalnya.
Sementara itu, masyarakat semirenaisans Indonesia mendorong untuk berpikir setengah feodal dan setengah liberal. Atau, pada kenyataannya, Indonesia telah terjerat pada sistem ekonomi liberal, tetapi karakter, semangat, dan budayanya masih feodal.

Karakter tersebut tampaknya juga masih terwariskan di pemerintahan sekarang ini. Kita mungkin masih bisa berharap atas sikap moral pemimpin yang, misalnya, antikorupsi. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada langkah politik yang direncanakan dan dibuat untuk menghukum para koruptor dan pelanggar HAM. Kemungkinan besar juga masih memakai cara-cara kompromi dan mempertimbangkan watak-watak feodal yang berupa rasa kasihan, persekongkolan berdasarkan perasaan masa lalu, atau bahkan kompromi dalam makna pertukaran bargaining politik.

Menjelang Pemilu 2009 dapat kita bayangkan kadar pragmatisme elite kita yang makin parah. Demi mencapai kemenangan, mereka tak lagi akan berpikir tentang pengorbanan, tetapi hanya berpikir bagaimana caranya menang dengan jalan apa saja. Wallahu'alam!***
-----------------------------------------
*)Penulis adalah perawat pustaka di Yayasan Tabur(Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur

Tidak ada komentar: