
Jadi benar bahwa karakter anak-anak dibentuk, sebuah proses pendidikan konsumeristik yang massif dan efektif melalui media-media kapitalisme. Pada akhirnya, anak-anak dan remaja justru menjadi para calon pembela setia sistem penindasan kapitalisme. Mereka dilahirkan dengan pikiran indivdualis, hidup hanya untuk mengurusi keuntungan da kesenangan diri sendiri. Naluri solidaritas dan kritisisme mereka ditumpulkan. Pendidikan kapitalisme di luat sekolah inilah yang mempersulit para guru yang masih punya hati nurani kesulitan membangun karakter anak-anak didiknya menjadi generasi yang bermartabat. Jadi, dapat dikatakan bahwa kapitalisme menghalangi para guru-guru untuk menjalankan perannya dengan baik di kelas.
Guru-guru memang tak mungkin memberikan pertanyaan yang remeh pada anak-anak, seperti: “apa judul

Globalisasi pasar-bebas saat ini menyemburkan kebiasaan/budaya oral melalui semaraknya budaya menonton setelah TV mendominasi ruang-waktu masyarakat. Di negeri ini, budaya oral juga dimassifkan lagi dengan dominannya tayangan infoteinmen yang berpilar pada budaya gosip. Gosip berpilar pada tular menular wacana/informasi antar individu tentang suatu peristiwa. Sayangnya, gosip tentang artis-selebritis tidak akan pernah berisi tentang wacana pencerahan, kecuali hanya merangsang gaya hidup dan mengumbar kemewahan orang-orang kaya yang bekerja di dunia hiburan (entertainment) tersebut. Wicara dan argumen—yang dangkal, tidak ilmiah, sekenanya, kacau, kadang emosional—berusaha menjejali pikiran dan perasaan penonton. Tentunya ini bukan pendidikan atau penyadaran, tetapi doktrin dan pembodohan. Budaya curhat dan bergosip ini menjauhkan masyarakat dari kebiasaan baca dan tulis.
Perkembangan mental anak banyak dirusak oleh TV, terutama potensi kreatif dan imajinatifnya. Memang kebanyakan orangtua bangga jika anaknya bisa menirukan para artis. Kadang ketika anak-anak kecil kita pandai menyanyikan lagu yang sering dilihat dan didengarnya melalui TV atau media lainnya, perasaan bangga muncul. Anak-anak dianggap pintar pada saat hafal nama-nama bintang sinetron, groups band dan artis-selebritis laiinya. Pada hal dibalik ketrampilan menghafal dan meniru itu ada suatu bahaya besar, yaitu bahwa kita telah menyerahkan potensi anak-anak kita dibentuk oleh iklan dan para perayu ulung agar anak-anak kita hanya bisa membeli dan meniru—dan bukannya berkreasi dan berimajinasi dengan bantuan pengetahuan dan nalar kritis.
Di negara kapitalis induk seperti Amerika Serikat (AS), hubungan antara TV, prestasi belajar, kecerdasan, dan kemampuan baca tulis telah dipelajari sejak tahun 1960-an. Menurut Kolumnis Washington Post ternama, Michael R. LeGault: “Televisi telah menjadi biang kerok resmi dan tumpuan kesal

Tumpulnya nalar produktif semacam itu di kalangan anak-anak negeri ini sungguh menjelaskan kenapa bangsa ini semakin terbelakang dan tertinffal jauh. Bayangkan, dibanding negara-negara tetangga, kita semakin juah di belakang. Negara lain di kawasan yang sama dengan negeri kita (Asia) bahkan telah meluncur dengan tingkat kemajuannya yang cepat. India dan Cina, misalnya, telah mengalami suatu pertumbuhan yang mencengangkan dan akan menjadi penantang bangsa-bangsa di luar Asia.
Pertumbuhan suatu masyarakat itu juga berkaitan dengan anak-anak dan remajanya. Konon, ketika seorang anak di Cina ditanya “ingin jadi apa kamu, nak?”, mereka menjawab: “Aku ingin menguasai so

[1] Allisa Quart. Belanja Sampai Mati. Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. xxii
[2] Michael R. LeGault. Sekarang Bukan Saatnya untuk ‘Blink’ Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata. Jakarta: TransMedia, 2006, hal. 42-43
(Nurani Soyomukti)
--------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar