Senin, 17 November 2008

ANAK KORBAN IKLAN

Allisa Quart melaporkan bahwa “selama tahun 2000, “pengeluaran sekunder” 21% remaja Amerika sebesar 155 milyar dolar AS untuk membeli baju, CD, dan kosmetik. Pada tahun 2002, korporasi bisnis tidak saja berusaha merayu remaja dan ABG untuk membelanjakan uangnya. Mereka juga berusaha menjerat remaja dengan lingkaran setan kerja dan belanja selama masih muda”. Tak heran jika kemudian banyak remaja yang “berusaha melekatkan diri dengan merk dan pecaya bahwa ituaalah satu-satunya cara agar apa menjadi bagian dari dunia ini. Para remaja yang seharusnya belajar untuk menjadi manusia yang produktif dan kreatif, serta penuh wawasan, pada akhirnya dididik untuk menjadi mata-mata korporasi bisnis untuk mempromosikan produk kepada anak-anak lainnya’”.[1]

Jadi benar bahwa karakter anak-anak dibentuk, sebuah proses pendidikan konsumeristik yang massif dan efektif melalui media-media kapitalisme. Pada akhirnya, anak-anak dan remaja justru menjadi para calon pembela setia sistem penindasan kapitalisme. Mereka dilahirkan dengan pikiran indivdualis, hidup hanya untuk mengurusi keuntungan da kesenangan diri sendiri. Naluri solidaritas dan kritisisme mereka ditumpulkan. Pendidikan kapitalisme di luat sekolah inilah yang mempersulit para guru yang masih punya hati nurani kesulitan membangun karakter anak-anak didiknya menjadi generasi yang bermartabat. Jadi, dapat dikatakan bahwa kapitalisme menghalangi para guru-guru untuk menjalankan perannya dengan baik di kelas.

Guru-guru memang tak mungkin memberikan pertanyaan yang remeh pada anak-anak, seperti: “apa judul
album terbaru Britney Spears dan Agnes Monica?”—yang akan segera dijawab dengan mudah oleh anak-anak. Tapi pikiran anak-anak bukan lagi terfokus pada bagaimana mereka bisa tahu gejala-gejala alam, gejala-gejala sosial. Para anak didik lebih menyukai membaca buku-buku lirik lagu daripada buku-buku pelajaran atau wawasan. Perpustakaan sepi, sementara play station, mall, dan tempat-tempat belanja serta hiburan lain kian ramai.

Globalisasi pasar-bebas saat ini menyemburkan kebiasaan/budaya oral melalui semaraknya budaya menonton setelah TV mendominasi ruang-waktu masyarakat. Di negeri ini, budaya oral juga dimassifkan lagi dengan dominannya tayangan infoteinmen yang berpilar pada budaya gosip. Gosip berpilar pada tular menular wacana/informasi antar individu tentang suatu peristiwa. Sayangnya, gosip tentang artis-selebritis tidak akan pernah berisi tentang wacana pencerahan, kecuali hanya merangsang gaya hidup dan mengumbar kemewahan orang-orang kaya yang bekerja di dunia hiburan (entertainment) tersebut. Wicara dan argumen—yang dangkal, tidak ilmiah, sekenanya, kacau, kadang emosional—berusaha menjejali pikiran dan perasaan penonton. Tentunya ini bukan pendidikan atau penyadaran, tetapi doktrin dan pembodohan. Budaya curhat dan bergosip ini menjauhkan masyarakat dari kebiasaan baca dan tulis.

Perkembangan mental anak banyak dirusak oleh TV, terutama potensi kreatif dan imajinatifnya. Memang kebanyakan orangtua bangga jika anaknya bisa menirukan para artis. Kadang ketika anak-anak kecil kita pandai menyanyikan lagu yang sering dilihat dan didengarnya melalui TV atau media lainnya, perasaan bangga muncul. Anak-anak dianggap pintar pada saat hafal nama-nama bintang sinetron, groups band dan artis-selebritis laiinya. Pada hal dibalik ketrampilan menghafal dan meniru itu ada suatu bahaya besar, yaitu bahwa kita telah menyerahkan potensi anak-anak kita dibentuk oleh iklan dan para perayu ulung agar anak-anak kita hanya bisa membeli dan meniru—dan bukannya berkreasi dan berimajinasi dengan bantuan pengetahuan dan nalar kritis.

Di negara kapitalis induk seperti Amerika Serikat (AS), hubungan antara TV, prestasi belajar, kecerdasan, dan kemampuan baca tulis telah dipelajari sejak tahun 1960-an. Menurut Kolumnis Washington Post ternama, Michael R. LeGault: “Televisi telah menjadi biang kerok resmi dan tumpuan kesal
ahan dari beberapa generasi pendidik dan orangtua yang mengkhawatirkan pengaruh buruk dari si “kotak bodoh” pada anak-anak muda yang mudah terpengaruh. Reputasi TV tenggelam, sepantasnya begitu, semakin rendah dalam tahun-tahun terakhir, sampai-sampai TV dianggap buruk untuk otak… sebuah studi yang dilakukan oleh The National Opinion Research Center dari tahun 1974 sampai 1990 menemukan bahwa “menonton televisi memperburuk kosakata” sedangkan membaca koran memperbaikinya.[2]

Tumpulnya nalar produktif semacam itu di kalangan anak-anak negeri ini sungguh menjelaskan kenapa bangsa ini semakin terbelakang dan tertinffal jauh. Bayangkan, dibanding negara-negara tetangga, kita semakin juah di belakang. Negara lain di kawasan yang sama dengan negeri kita (Asia) bahkan telah meluncur dengan tingkat kemajuannya yang cepat. India dan Cina, misalnya, telah mengalami suatu pertumbuhan yang mencengangkan dan akan menjadi penantang bangsa-bangsa di luar Asia.

Pertumbuhan suatu masyarakat itu juga berkaitan dengan anak-anak dan remajanya. Konon, ketika seorang anak di Cina ditanya “ingin jadi apa kamu, nak?”, mereka menjawab: “Aku ingin menguasai so
ftware [baca ’sofwee’]”. Ketika anak-anak di India ditanya dengan pertanyaan yang sama, mereka menjawab: “Aku ingin menguasai hardware [baca: ‘hadwee’]”. Akan tetapi, ketika kita bertanya pada anak di Indonesia tentang ingin jadi apa mereka kelak. Kebanyakan anak-anak akan menjawab: “Nowhere” [baca: ‘nowee’]—Mereka tak akan tahu kemana. Sebagian besar juga membayangkan bahwa dirinya akan jadi artis yang bisa tampil di TV, bergaya dan berpenampilan menarik. Tak heran jika ketika dibuka acara audisi “Idola Cilik”, ribuan anak-anak berdesak-desakan untuk mengikutinya. (Hal yang sama juga bisa kita gunakan untuk melihat audiusi-audisi remaja dan pemuda yang akan direkrut jadi penyanyi, model, artis, hingga pelawak—hal ini mencerminkan hilangnya gairah anak-anak dan remaja kita pada ilmu pengetahuan dan wawasan kritis untuk mengatasi dunianya).

End-note:
[1] Allisa Quart. Belanja Sampai Mati. Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. xxii
[2] Michael R. LeGault. Sekarang Bukan Saatnya untuk ‘Blink’ Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata. Jakarta: TransMedia, 2006, hal. 42-43

(Nurani Soyomukti)
--------------------------------------------------


Tidak ada komentar: