Minggu, 23 November 2008

Parenting:

Sesat Pikir Merawat Anak ala Kapitalisme

Nurani Soyomuti, penulis buku “INTIMACY—Menjadikan Kebersamaan dalam Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak sebagai Surga Keintiman”

Orangtua yang gagal mendidik anak biasanya tak memiliki pemahaman terhadap perkembangan masyarakat. Pada hal pemahaman tentang situasi lingkungan dan kehidupan yang sedang kita hidupi sangatlah penting, karena dari sanalah semua ide(ologi) d
ominan menyebar ke masyarakat, terutama anak-anak dan generasi muda yang baru tumbuh. Orangtua yang tak memiliki pemahaman terhadap situasi sosial dan lingkungan biasanya akan mendidik anak berdasarkan petunjuk dan pengetahuan dari kekuatan yang dominan dan yang ingin berkuasa.

Mereka tidak tahu bahwa mereka adalah perantara antara materi baru (anak) yang lahir dalam kehidupan yang akan menjadikan anak untuk menghadapi kehidupan dan mentransformasikannya dalam mentalitas dan melalui gerakan. Anak- anak adalah barisan dari mereka yang bergerak mengatasi kehidupan yang timpang, dan bukannya semata harus tumbuh sebagaimana kehidupan itu membentuknya. Kehidupan tidak netral, tetapi penuh kekuatan-kekuatan material produktif yang bertarung, dan kekuatan yang mendominasi akan membentuk generasi yang baru tumbuh agar nantinya akan sesuai dengan kekuatan yang dominan itu. Intinya, kekuatan dominan telah berusaha membentuk anak-anak kita secara mental, kognitif, afektif, dan psikomotorik (psikologis) terhadap anak-anak kita.

Kalau kita ingin
menanamkan perasaan peduli pada anak, ternyata landasan mental bagi tumbuhnya kepedulian berusaha dihancurkan oleh kekuatan luar itu (kapitalisme, yang dikendalikan pemilik modal). Karenanya jalan menuju pembangunan karakter anak yang penuh kepedulian juga harus keluar dari rel di mana kapitalisme berusaha mengarahkan orangtua membentuk anak sesuai cara mereka.

Berikut ini adalah jalan yang ditonjolkan ideologi kapitalis bagi orangtua dalam mendidik anak:


Ø Kebahagiaan yang dipeoleh dengan pemenuhan material (konsumerisme)
Orangtua seringkali beranggapan bahwa pemenuhan materi bagi anak-anak hanyalah salah satu yang paling menjelaskan kebutuhannya. Anak-anak diajari untuk memakai barang-barang mewah, dibelikan semua mainan yang diinginkan, yang kadang juga tak lepas dari gengsi yang muncul: pada saat anak tetangga atau orang lain memiliki, maka anaknya juga harus memiliki, kalau bisa yang lebih bagus. Merasa tak memenuhi kebutuhan dan atribut bagi anak akan merasa malu.


Orangtua semacam itu tak sedikit yang saya jumpai. Anak seakan diperalat untuk meningkatkan narsisme dan kebanggaan diri. Ketika anak-anaknya memiliki berbagai macam mainan mewah, pakaian bagus, dan lain-lain orangtua merasa puas. Kadang setiap rengekan dan keinginan anak juga akan dipenuhi. Orangtua yang suka pamer semacam ini sebeanrnya adalah korban narsisme diri yang telah dibentuk oleh sistem kapitalis.

Ø Kesuksesan pribadi
Kesuksesan pribadi adalah ajaran individualisme ala kapitalis yang membuat orang harus mati-matian mengejar kesuksesannya (dengan berbagai ukurannya sendiri) yang akhirnya membentuk watak egois dan filsafati yang buta pada realitas kebersamaan dan hubungan sesama manusia. Bahwa ukuran segala sesuatu adalah pribadi, tujuan hidup manusia dianggap hanya bisa diperoleh dengan memaksimalkan potensi pribadi untuk kepentingan pribadi.
Cara pandang individualis-kapitalis itu sangat menyesatkan. Menyesatkan karena ia memang cara pandang yang bias kepentingan kelas, yaitu segelintir kelas kapitalis (pemilik modal) yang tujuannya mencari keuntungan pribadi dan perusahannya. Cara pandang semacam itu hendak dipaksakan pada orangtua yang diharapkan akan mendidik anak-anaknya dengan prinsip itu. Pada hal kapitalis menggapai keuntungan pribadi itu dengan mengingkari hak-hak orang lain: kita melihat bagaimana untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka menindas buruh (memberikan upah yang tak layak, memenjarakannya dalam kondisi kerja yang buruk, dan tak jarang juga memperlakukan buruh anak-anak pada saat anak-anak harus belajar dan bermain demi mem
bentuk karakter kemanusiaannya). Lihat pula ulah kapitalis besar yang tak malu membunuh dan membombardir bom ibu-ibu dan anak-anak hanya demi keuntungan dan modal. Modal, kesuksesan pribadi, adalah nabi-nabinya.

Kita butuh pemikiran kritis dan tak hanya menekankan ukuran kesuksesan individu anak hanya sebagai keberhasilan mereka agar mendapatkan kerja yang bagus dan menang dalam bersaing dengan orang lain. Paham kompetisi yang duagung-agungkan oleh kapitalisme menganggap bahwa satu-satunya merubah nasib dan kemajuan masyarakat akan terjadi dengan persaingan antar individu, tanpa memedulikan bagaimana kondisi tiap-tiap individu itu. Inilah yang menyebabkan terjadinya kondisi “manusia memakan manusia” (homo homini lupus). Karena Anda memikirkan bagaimana Anda sukses demi dan dengan cara menggunakan apapun yang anda bisa, karena orang lain juga demikian, maka Anda akan menggunakan cara-cara apapun (tanpa menggunakan ukuran atau nilai kolektif) agar tak kalah bersaing—agar kalau perlu menang.
Jadi ajaran individualisme dan kompetisi membuat pribadi-pribadi yang kalah bersaing dengan cara normal atau bermoral akan meninggalkan cara-cara itu.

Anda punya anak perempuan yang mulai menginjak dewasa, ia harus bersaing agar sukses dalam hidupnya. Sayangnya Anda tak mampu membekali dengan pengetahuan dan ketrampilan kerja, bahkan negara juga tak mau memberikan pendidikan dan pelatihan (subsidi pendidikan dicabut dan sekolah semakin mahal). Apa yang terjadi pada anak perempuan Anda? Dia kalah bersaing dengan modal dan potensi individu yang tumpul. Maka apa yang bisa ia lakukan dan apa yang dapat Anda lakukan sebagai orangtua agar ia mampu bertahan hidup atau tentunya diharapkan bisa hidup layak?

Anda akan menikahkannya dengan laki-laki kaya agar anak Anda bisa berlindung dengan kekayaan dan mendapatkan kenyamanan finansial karena menjadi bagian dari laki-laki kaya? Iya kalau laki-laki itu baik hati dan mencintainya dengan tulus. Bagaimana kalau laki-laki itu hanya menginginkan kecantikan fisik anak Anda atau hanya ingin agar anak perempuan Anda menjadi pelayannya yang memenuhi kebutuhan seks laki-laki itu, memasakkan, mencucikan pakaiannya, hingga merawat anak-anaknya?

Ideologi kesuksesan pribadi dalam masyarakat di mana semua modal dan sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir orang (kapitalis) tampaknya adalah ajaran palsu yang membodohi. Ajaran itulah yang membuat anak-anak kita tak mampu melihat hubungan universal dalam kehidupan dan hubungan antar manusia.

Ajaran kesuksesan pribadi dan individualisme yang membabi-buta semacam itu biasanya akan membuat orangtua mendidik dan mengatur anak secara ketat dan mengontrol cara-cara agar tujuan itu terpenuhi. Anak harus begini-begitu karena ia harus jadi seperti ini atau itu. Potensi anak termatikan karena orangtua begitu mengatur anak agar anak menjadi A atau B, sesuai keinginannya. Pada hal mau jadi apa anak tidak harus ditetapkan oleh orangtua, tetapi lahir dari bakat yang ditentukan oleh perkembangan potensi-potensi yang lahir dari pengetahuan dan keinginan di masa pencarian anak-anak kita.

Apalagi ukuran kesuksesan bukan hanya materi dan kekayaan. Kekayaan material bahkan dalam banyak hal membuat potensi mental dan pengetahuan menjadi rusak, sebagaimana kemiskinan juga merusak potensi yang sama. Mengejar kekayaan material dengan cara yang obsesif, atau k
ondisi kekayaan yang berlebihan, sebagai mana kondisi kemiskinan yang berlebihan, menyebabkan jiwa manusia rusak.

Ketika orang berada dalam kondisi kekayaan yang berlebihan dan segala kebutuhannya terpenuhi, hidupnya tak akan diliputi dengan pencarian-pencarian akan hakekat kehidupan. Orang yang berada dalam keadaan senang secara terus-terusan, tanpa mendapati kondisi kontradiksi dalam diri, pikirannya tak akan terlatih untuk memikirkan realitas—karena ia terbiasa untuk tidak berpikir, tak terbiasa menggunakan otaknya, terbiasa bodoh.

Karenanya anak-anak yang hanya dicekoki dengan materi, yang terbiasa kita penuhi segala kebutuhannya, akan menjadi anak-anak yang otaknya tumpul. Kecerdasan universal dan sosialnya tak terbangun. Anak-anak itu tak dididik bahwa untuk memperoleh segala sesuatu butuh proses atau kerja, karenanya ia akan tumbuh sebagai orang yang pragmatis, oportunis, dan korup—itulah anak-anak Indonesia selama ini. Korupsi adalah budaya yang awalnya lahir dari ketidakmauan/ketidakmampuan individu-individu (anak-anak keturunan priyayi) untuk berproduksi dan berpikir, mereka tak menghasilkan kecuali menghisap rakyat dari upeti dan pajak, pada saat godaan dunia dan kekuasaan semakin besar. Korupsi dalam Indonesia modern lahir dari birokrasi yang juga tak produktif, tetapi godaan konsumtif akibat globalisasi kapitalis membuat para pejabat untuk membeli lebih dan lebih (bermewah-mewahan), sehingga mereka mencuri uang negara untuk tujuan itu.

Ø Mengejar popularitas dan mengidolakan penghibur (artis-selebritis)
Orangtua yang tak punya prinsip tentang bagaimana membentuk anak—bahkan mungkin tak paham memb
entuk dirinya sendiri di masa mudanya—tampaknya juga akan mudah tergoda untuk membentuk anak-anaknya sesuai dengan kesemarakan kebudayaan pasar. Mereka menempuh jalur pragmatis agar anaknya sukses sesuai dengan cara berpikirnya yang hendak dipaksakan pada anaknya.

Ambisi orang tua (terutama ibu-ibu) untuk menjadikan anaknya sebagai ikon TV kini semakin meluas sejak dunia enterteinmen juga membuka partisipasi yang lebih longgar dengan munculnya acara-acara seperti AFI versi anak, pemilihan mubaligh anak, pemilihan presenter anak, dll. Di tengah-tengah godaan globalisasi pasar yang membutuhkan biaya besar untuk melakukan ritualitas konsumsi material dan komsumsi budaya, menjejalkan anak ke dalam dunia TV menjadi cara mudah untuk menegaskan status, kekayaan, popularitas, kekuasaan dalam masyarakat pasar. Sebagian orangtua bahkan juga memanajeri anaknya sendiri untuk mempertahankan dan meningkatkan popularitasnya. Seperti terjadi pada artis remaja Marshanda yang dimanajeri sendiri oleh ibunya.

Dunia selebritis memang menjadi corong corong dari kebudayaan dan gaya hidup. Kiblat bertata bahasa, mendefinisikan diri (tubuh, perasaan, pikiran), dan cara memaknai relasi sosial memang selalu bersumber dari bagaimana artis-selebritis melakukannya. TV adalah media paling dekat dalam komunitas keluarga di mana anak-anak tumbuh. Sedangkan ucapan dan ide-ide artis-selebritis muncul paling banyak.

Konon setelah kesuksesan Joshua, banyak ibu-ibu yang memasukkan anaknya ke lembaga-lembaga pelatihan model dan akting. Mereka juga begitu getolnya berusaha agar anaknya dapat menjadi bintang terkenal. Karena memulai karier sebagai artis mulai anak-anak berarti merebut popularitas sejak dini.

Dalam pengertian tersebut, Agnes Monica juga tidak bisa dilupakan sebagai icon sejarah artis-selebritis yang secara tak terhindarkan selalu dijadikan contoh bagi ibu-ibu yang menginginkan anaknya sering muncul di TV ini. Bagaimana tidak, Agnes Monica, yang sekarang menjadi artis yang berpenghasilan paling mahal dan sekaligus terkenal sangat produktif dan kreatif (serba bisa) memainkan perannya sebagai artis (penyanyi, pemain sinetron, presenter, bintang iklan, koregrafer, dll), telah memulai kariernya sejak dia menjadi “bintang cilik” ketika bergabung di “Trio Kwek-Kwek”. Selain berbakat, konon profesionalitasnya memang didukung oleh kedesiplinan dalam mengikuti kursus-kursus kepribadian dan pelatihan-pelatihan serta dilakukan dengan manajemen yang baik.

Pada hal artis-selebritis sendiri bukanlah manusia yang dianggap sebagai acuan. Bahkan tak jarang para pengamat budaya mengatakan bahwa kalangan tersebut memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan generasi.
[1] Salah satu pengamat budaya itu, Michael ReGault, bahkan mengatakan bahwa para artis selebritis tak lebih dari ”orang barbar”: ”Orang-orang barbar tak lagi mengempur gerbang kota kita, mereka sedang makan malam bersama kita. Nama mereka adalah J. Lo, Ja Rule, dan Paris Hilton”.[2]

Pendapat ReGault patut kita pertimbangkan pada saat serangan budaya selebritis Barat memang t
elah berhasil membuat anak-anak kita ingin menirunya. Lihatlah penampilan Agnes Monica atau (belakangan) Cinta Laura yang lagu, video klip, dan tampilan panggungnya menjiplak hampir seratus persen gaya Britney Spears, yang sensua dan menggoda—dengan suara atau kemampuan vokal yang tidak istimewa sama sekali. Jadinya, anak-anak kita kita masukkan pada ruangan budaya di mana mereka hanya bisa meniru para artis. Mental meniru ini telah menghancurkan mental kreatifitas dan mental yang menuntut anak-anak menciptakan sesuatu untuk diri mereka sendiri.

Anak-anak perempuan harus dibiasakan untuk mengumbar tubuh demi popularitas, harus menghafal lagu-lagu agar dianggap tidak gaul sehingga mereka lupa belajar untuk mencari ilmu pengetahuan. Mereka harus hidup untuk merayakan narsisme diri, dan bukan untuk peduli sesama.

Catatan Kaki:
[1] Lihat Nurani Soyomukti. Selebritis Gitu Lho(h): Menguak Realitas di Balik Dunia Gemerlap Selebritis. Surabaya: Prestasi Pustakaraya, 2008
[2] Michael R. LeGault, Sekarang Bukan Saatnya untuk “Blink” Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata. Jakarta: PT. Transmedia, 2006
-----------------------------------------------------------

Tidak ada komentar: