Rabu, 12 November 2008
Kenaikan Gaji Guru:
Setelah Guru Sejahtera,
Anak Bodoh, dan Rakyat Miskin
Oleh: Nurani Soyomukti,
penulis buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Arruzzmedia, Yogyakarta—2008); pengelola Yayasan TABUR (Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur.
ADA asumsi yang hingga saat ini masih dipercaya oleh kebanyakan orang bahwa jika pendidikan maju maka rakyat suatu negara juga akan maju. Kata ‘maju’ di sini barangkali dapat diuraikan menjadi lebih jelas, misalnya mengacu pada kondisi rakyat yang sejahtera (serba berkecukupan), pengetahuan dan teknologi berkembang cepat, budaya dan kepribadiannya bermartabat.
Dilihat dari kondisi ‘kemajuan’ itu tentu saja negara kita menunjukkan yang sebaliknya. Dilihat dari kesejahteraan, angka kemiskinan kian naik dan tingkat ketertekanan akibat kemiskinan juga menunjukkan bahwa angka kriminalitas, kekerasan, dan amoralitas semakin merajala. Kemiskinan adalah sebab dari kerusakan moral dan mental. Bukan moral yang menyebabkan mereka miskin, tapi kemiskinanlah yang menyebabkan mereka tertekan dan tak lagi bersikap manusiawi. Bukan karena kurangnya moral atau agama yang menyebabkan kejahatan, tetapi karena mereka miskin dan tidak diberi pendidikan.
Ditinjau dari pengetahuan, rakyat kita juga tak lagi mempercayai kebenaran yang didapat dari pengetahuan atau aktifitas berpikir ilmiah. Sekarang ini, dalam konteks itu, kebanyakan sekolah bahkan telah gagal membentuk cara berpikir ilmiah. Anak-anak (mulai dari SD hingga perguruan tinggi), misalnya, ketika di kelas diajarkan tentang peristiwa alam yang dialektis dengan hokum sebab-akibatnya, misalnya kenapa terjadi gempa bumi, tsunami, gerhana, dan lain-lain. Di kelas mereka sangat menerima logika ilmu pengetahuan alam tentang kejadian-kejadian semacam itu.
Tetapi ketika mereka keluar dari kelas atau sekolah, pola pikir semacam itu kembali menghilang. Buktinya, ketika terjadi peristiwa alam seperti tsunami, gempa, dan gerhana, mereka masih banyak yang kembali pada penjelasan-penjelasan tak ilmiah (mistis, gaib, dll). Celakanya, sekolah justru semakin kalah dengan propaganda mistik yang datang dari berbagai penjuru, mulai dari pola pikir guru di kelas yang feodal, juga dari media (terutama televisi).
Penjelasan anti-ilmiah dan irasional kembali menggerogoti ilmu pengetahuan yang telah tertanam di benak pelajar pada saat mereka menghadapi ketegangan dan kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam kasus Unas yang dianggap berat karena kurangnya kesiapan dalam menjawab soal-soal yang harus dijawab dan nilai rata-rata yang ditetapkan pemerintah untuk dicapai para peserta Unas meningkat, maka tidak sedikit yang menempuh jalan pintas.
Berita menggembirakan tentang kesejahteraan guru sudah diumumkan pemerintah. Para guru dijanjikan gaji minimal Rp 2 juta mulai tahun 2009 nanti. Sebuah janji kesejahteraan bagi guru yang pertama kali diutarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pidato kenegaraan sebelum peringatan 63 tahun usia kemerdekaan Indonesia itu tentunya membuat wajah para guru sumringah. Mendiknas Bambang Sudibyo menyampaikan bahwa gaji Rp 2 juta itu merupakan uang pangkal bagi guru dengan pangkat terendah meski yang bersangkutan belum mempunyai sertifikat ataupun belum memiliki ijazah S-1.
Para guru tak sabar menunggu datangnya tahun baru 2009 karena mulai waktu itulah gaji minimal guru khusus PNS dengan jumlah gaji minimal Rp 2 juta mulai berlaku. Pertanyaan yang kemudian muncul cukuplah klasik: benarkah kesejahteraan guru akan meningkatkan kualitas para pendidik sekaligus kualitas pendidikan kita?
Hak Universal Guru
Yang perlu diingat bahwa kesejahteraan gaji guru—sebagai mana gaji-gaji pekerja lainnya—adalah hak-hak universal yang memang harus dilakukan. Jadi, jangan dilihat bahwa kenaikan guru adalah hasil dari ‘kebaikhatian’ dari pemerintah Yudoyono. Memang sudah sepatutnya hak-hak guru untuk hidup layak dan sejahtera harus diberikan. Seharusnya hak itu tidak diberikan sekarang atau nanti, apalagi diberikan menjelang pemilihan umum 2009 di mana terkesan bahwa presiden Yudoyono ingin menarik simpati dari para guru dan PNS agar ia terpilih lagi.
Penjaminan hak-hak guru akan kesejahteraan telah jauh-jauh hari menjadi tuntutan universal masyarakat di seluruh dunia. Bahkan untuk menghormati hak-hak guru, PBB telah merekomendan pemberian kesejahteraan itu dalam Recommendation concerning the Status of Teachers oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco), dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam sebuah konferensi khusus antarpemerintah, tepatnya pada tahun 1966.
Di dalamnya, pasal 60 memaksimalkan jaminan kesejahteraan bagi guru. Guru tetap/penuh waktu dengan guru tidak tetap/paruh waktu/honorer mempunyai hak memperoleh pengupahan yang sama secara proporsional, hak yang sama untuk menikmati kondisi-kondisi dasar kerja, hak liburan, libur sakit, libur melahirkan, termasuk jaminan sosial dan pensiun.
Kesehatan guru juga mendapat perhatian. Pasal 53 rekomendasinya menyebutkan, guru-guru hendaklah disyaratkan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala yang harus disediakan secara cuma- cuma. Bahkan, ketika sakit guru berhak mendapatkan izin dengan tetap memperoleh bayaran penuh (Pasal 101 ayat 1). Tidak hanya izin sakit, guru pun berhak izin untuk alasan-alasan pribadi yang memadai dengan tetap memperoleh bayaran penuh (Pasal 100).
Pasal 126 Ayat 1 menyebutkan, Para guru hendaklah dilindungi oleh aturan-aturan jaminan sosial mengenai semua kemungkinan yang termasuk di dalam Konvensi Jaminan Sosial (standar-standar minimum) ILO tahun 1952, yaitu perawatan medis, tunjangan kesehatan, tunjangan manula (manusia usia lanjut), jaminan kecelakaan pekerjaan, tunjangan keluarga, tunjangan kehamilan, tunjangan kecelakaan, tunjangan kecacatan, dan tunjangan bagi mereka yang tidak terkena bencana.
Lalu apakah janji Yudoyono untuk memberi gaji guru PNS minimal 2 juta mulai tahun depan akan menjamin kualitas guru kita?
Adalah terlalu naif jika satu-satunya cara yang dianggap meningkatkan kualitas guru tak lain hanyalah dengan meningkatkan bayaran atau gaji guru. Anggapan seperti itu tidak melihat guru tidak bisa kreatif dan berkembang karena diawasi oleh petugas yang menyebut dirinya pengawas guru dan penddikan. Yang dirisaukan bukan guru itu mengajarkan pengetahuan yang tidak diperkenankan tetapi lembaga pengawasan telah mematikan fungsi pendidikan yakni mendidik siswa tentang makna kemerdekaan dan bagaimana mewujudkannya.
Anggapan bahwa cara meningkatkan kualitas guru dengan cara ditingkatkannya jenjang pendidikan calon guru dan intensifikasi program pelatihan. Kemudian solusi yang didasarkan pada keyakinan bahwa proses pendidikan adalah aktivitas yang sifatnya teknis, bukan penanaman ideologi juga ditolak dalam buku ini. Dari pemahaman ini, guru bukan hanya ujung dalam soal pendidikan, melainkan juga akar dari masalah-masalah pendidikan dasar.
Las but not least, sudah terlalu lama guru berdiam diri terhadap apa yang dialaminya. Walau UU Guru telah hadir sejak tahun 2005 lalu, itu bukan jaminan kebebasan dan kesejahteraan bagi pahlawan tanpa tanda jasa ini. Profesi guru bukan hanya kurang dihargai tetapi juga kerapkali dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi-politik kekuatan tertentu. Buktinya kini semakin banyak perkumpulan guru di luar PGRI warisan Orde Baru. Selain itu, metode aksi massa yang dipilih untuk memperjuangkan hak-haknya bukan lagi cara yang asing. Ada potensi bagi para pendidik ini untuk mengajarkan semangat juang bagi anak didiknya ketika mereka kembali ke kelas dan mengajak serta mmandu murid-murid untuk melihat apa yang sebenarnya di lingkungan alam dan lingkungan sosial. Sehingga, ada tujuan dalam dunia pendidikan untuk membebaskan diri dari kungkungan penindasan.
Diharapkan nantinya mengajar tidak sekedar menyuruh murid menghafal, juga bukan hanya memindahkan ‘pengetahuan’, tetapi juga mengenalkan realitas sejati, bukan sekedar melatih menipu.***
------------------------------------------------------------
Anak Bodoh, dan Rakyat Miskin
Oleh: Nurani Soyomukti,
penulis buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Arruzzmedia, Yogyakarta—2008); pengelola Yayasan TABUR (Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur.
ADA asumsi yang hingga saat ini masih dipercaya oleh kebanyakan orang bahwa jika pendidikan maju maka rakyat suatu negara juga akan maju. Kata ‘maju’ di sini barangkali dapat diuraikan menjadi lebih jelas, misalnya mengacu pada kondisi rakyat yang sejahtera (serba berkecukupan), pengetahuan dan teknologi berkembang cepat, budaya dan kepribadiannya bermartabat.
Dilihat dari kondisi ‘kemajuan’ itu tentu saja negara kita menunjukkan yang sebaliknya. Dilihat dari kesejahteraan, angka kemiskinan kian naik dan tingkat ketertekanan akibat kemiskinan juga menunjukkan bahwa angka kriminalitas, kekerasan, dan amoralitas semakin merajala. Kemiskinan adalah sebab dari kerusakan moral dan mental. Bukan moral yang menyebabkan mereka miskin, tapi kemiskinanlah yang menyebabkan mereka tertekan dan tak lagi bersikap manusiawi. Bukan karena kurangnya moral atau agama yang menyebabkan kejahatan, tetapi karena mereka miskin dan tidak diberi pendidikan.
Ditinjau dari pengetahuan, rakyat kita juga tak lagi mempercayai kebenaran yang didapat dari pengetahuan atau aktifitas berpikir ilmiah. Sekarang ini, dalam konteks itu, kebanyakan sekolah bahkan telah gagal membentuk cara berpikir ilmiah. Anak-anak (mulai dari SD hingga perguruan tinggi), misalnya, ketika di kelas diajarkan tentang peristiwa alam yang dialektis dengan hokum sebab-akibatnya, misalnya kenapa terjadi gempa bumi, tsunami, gerhana, dan lain-lain. Di kelas mereka sangat menerima logika ilmu pengetahuan alam tentang kejadian-kejadian semacam itu.
Tetapi ketika mereka keluar dari kelas atau sekolah, pola pikir semacam itu kembali menghilang. Buktinya, ketika terjadi peristiwa alam seperti tsunami, gempa, dan gerhana, mereka masih banyak yang kembali pada penjelasan-penjelasan tak ilmiah (mistis, gaib, dll). Celakanya, sekolah justru semakin kalah dengan propaganda mistik yang datang dari berbagai penjuru, mulai dari pola pikir guru di kelas yang feodal, juga dari media (terutama televisi).
Penjelasan anti-ilmiah dan irasional kembali menggerogoti ilmu pengetahuan yang telah tertanam di benak pelajar pada saat mereka menghadapi ketegangan dan kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam kasus Unas yang dianggap berat karena kurangnya kesiapan dalam menjawab soal-soal yang harus dijawab dan nilai rata-rata yang ditetapkan pemerintah untuk dicapai para peserta Unas meningkat, maka tidak sedikit yang menempuh jalan pintas.
Berita menggembirakan tentang kesejahteraan guru sudah diumumkan pemerintah. Para guru dijanjikan gaji minimal Rp 2 juta mulai tahun 2009 nanti. Sebuah janji kesejahteraan bagi guru yang pertama kali diutarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pidato kenegaraan sebelum peringatan 63 tahun usia kemerdekaan Indonesia itu tentunya membuat wajah para guru sumringah. Mendiknas Bambang Sudibyo menyampaikan bahwa gaji Rp 2 juta itu merupakan uang pangkal bagi guru dengan pangkat terendah meski yang bersangkutan belum mempunyai sertifikat ataupun belum memiliki ijazah S-1.
Para guru tak sabar menunggu datangnya tahun baru 2009 karena mulai waktu itulah gaji minimal guru khusus PNS dengan jumlah gaji minimal Rp 2 juta mulai berlaku. Pertanyaan yang kemudian muncul cukuplah klasik: benarkah kesejahteraan guru akan meningkatkan kualitas para pendidik sekaligus kualitas pendidikan kita?
Hak Universal Guru
Yang perlu diingat bahwa kesejahteraan gaji guru—sebagai mana gaji-gaji pekerja lainnya—adalah hak-hak universal yang memang harus dilakukan. Jadi, jangan dilihat bahwa kenaikan guru adalah hasil dari ‘kebaikhatian’ dari pemerintah Yudoyono. Memang sudah sepatutnya hak-hak guru untuk hidup layak dan sejahtera harus diberikan. Seharusnya hak itu tidak diberikan sekarang atau nanti, apalagi diberikan menjelang pemilihan umum 2009 di mana terkesan bahwa presiden Yudoyono ingin menarik simpati dari para guru dan PNS agar ia terpilih lagi.
Penjaminan hak-hak guru akan kesejahteraan telah jauh-jauh hari menjadi tuntutan universal masyarakat di seluruh dunia. Bahkan untuk menghormati hak-hak guru, PBB telah merekomendan pemberian kesejahteraan itu dalam Recommendation concerning the Status of Teachers oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco), dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam sebuah konferensi khusus antarpemerintah, tepatnya pada tahun 1966.
Di dalamnya, pasal 60 memaksimalkan jaminan kesejahteraan bagi guru. Guru tetap/penuh waktu dengan guru tidak tetap/paruh waktu/honorer mempunyai hak memperoleh pengupahan yang sama secara proporsional, hak yang sama untuk menikmati kondisi-kondisi dasar kerja, hak liburan, libur sakit, libur melahirkan, termasuk jaminan sosial dan pensiun.
Kesehatan guru juga mendapat perhatian. Pasal 53 rekomendasinya menyebutkan, guru-guru hendaklah disyaratkan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala yang harus disediakan secara cuma- cuma. Bahkan, ketika sakit guru berhak mendapatkan izin dengan tetap memperoleh bayaran penuh (Pasal 101 ayat 1). Tidak hanya izin sakit, guru pun berhak izin untuk alasan-alasan pribadi yang memadai dengan tetap memperoleh bayaran penuh (Pasal 100).
Pasal 126 Ayat 1 menyebutkan, Para guru hendaklah dilindungi oleh aturan-aturan jaminan sosial mengenai semua kemungkinan yang termasuk di dalam Konvensi Jaminan Sosial (standar-standar minimum) ILO tahun 1952, yaitu perawatan medis, tunjangan kesehatan, tunjangan manula (manusia usia lanjut), jaminan kecelakaan pekerjaan, tunjangan keluarga, tunjangan kehamilan, tunjangan kecelakaan, tunjangan kecacatan, dan tunjangan bagi mereka yang tidak terkena bencana.
Lalu apakah janji Yudoyono untuk memberi gaji guru PNS minimal 2 juta mulai tahun depan akan menjamin kualitas guru kita?
Adalah terlalu naif jika satu-satunya cara yang dianggap meningkatkan kualitas guru tak lain hanyalah dengan meningkatkan bayaran atau gaji guru. Anggapan seperti itu tidak melihat guru tidak bisa kreatif dan berkembang karena diawasi oleh petugas yang menyebut dirinya pengawas guru dan penddikan. Yang dirisaukan bukan guru itu mengajarkan pengetahuan yang tidak diperkenankan tetapi lembaga pengawasan telah mematikan fungsi pendidikan yakni mendidik siswa tentang makna kemerdekaan dan bagaimana mewujudkannya.
Anggapan bahwa cara meningkatkan kualitas guru dengan cara ditingkatkannya jenjang pendidikan calon guru dan intensifikasi program pelatihan. Kemudian solusi yang didasarkan pada keyakinan bahwa proses pendidikan adalah aktivitas yang sifatnya teknis, bukan penanaman ideologi juga ditolak dalam buku ini. Dari pemahaman ini, guru bukan hanya ujung dalam soal pendidikan, melainkan juga akar dari masalah-masalah pendidikan dasar.
Las but not least, sudah terlalu lama guru berdiam diri terhadap apa yang dialaminya. Walau UU Guru telah hadir sejak tahun 2005 lalu, itu bukan jaminan kebebasan dan kesejahteraan bagi pahlawan tanpa tanda jasa ini. Profesi guru bukan hanya kurang dihargai tetapi juga kerapkali dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi-politik kekuatan tertentu. Buktinya kini semakin banyak perkumpulan guru di luar PGRI warisan Orde Baru. Selain itu, metode aksi massa yang dipilih untuk memperjuangkan hak-haknya bukan lagi cara yang asing. Ada potensi bagi para pendidik ini untuk mengajarkan semangat juang bagi anak didiknya ketika mereka kembali ke kelas dan mengajak serta mmandu murid-murid untuk melihat apa yang sebenarnya di lingkungan alam dan lingkungan sosial. Sehingga, ada tujuan dalam dunia pendidikan untuk membebaskan diri dari kungkungan penindasan.
Diharapkan nantinya mengajar tidak sekedar menyuruh murid menghafal, juga bukan hanya memindahkan ‘pengetahuan’, tetapi juga mengenalkan realitas sejati, bukan sekedar melatih menipu.***
------------------------------------------------------------
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar