Senin, 17 November 2008

ANAK-ANAK KORBAN KAPITALISME

Anak-anak yang peduli seakan adalah milik sejarah dan mereka seakan hendak belajar untuk merubah sejarah hubungan kemanusiaan yang timpang. Hingga sekarang dunia masihlah diwarnai berbagai kontradiksi baik lingkungan alam maupun pada hubungan antara manusia (secara ekonomi, politik, hingga kebudayaan). Sebagai orangtua yang ingin bertanggungjawab, kita tentu ingin menumbuhkan anak yang bisa menjadi makhluk yang peduli. Mereka harus kita ajari berbagi dengan sesama, dan mereka kita cegah untuk tidak menjadi makhluk yang egois.

Menumbuhkembangkan rasa kepedulian, solidaritas, dan kebersamaan sejak kecil merupakan suatu keputusan yang tepat. Naluri kepedulian itu sendiri adalah basis dari mental positif yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik anak-anak yang sangat berbanding lurus dengan potensi pertumbuhan yang sehat dan cerdas. Kenapa rasa kepedulian dan kebersamaan adalah dasar psikologis yang penting? Tentu saja karena eksistensi psikologis manusia berakar pada dunianya yang diikat dengan hubungan-hubungan antara manusia dengan orang lain dan alam. (Pertumbuhan) manusia yang tercerabut dari alam dan sesamanya adalah (sumber dari) manusia yang sakit (egois, terbelakang secara sosial dan cacat secara pengetahuan).

ANAK KORBAN IMPERIALISME
Jika kita percaya—dan harus percaya—bahwa sejarah bergerak maju menuju muara harmonisasi alam dan kemanusiaan, maka kita yakin bahwa anak-anak kita adalah benih-benih bagi peradaban masa depan. Jika sekarang ini kita masih menghadapi berbagai macam kesulitan dan gejolak dalam kehidupan, yang mencerminkan bahwa peradaban (kehidupan) kita semakin mundur, maka tidak ada orang tua—kecuali orangtua egois—yang menginginkan kondisi buruk ini akan menimpa anak-cucu kita nantinya. Semua orangtua tak ada yang berharap agar kehidupan anak-anaknya lebih terbelakang darinya. Pasti semua orangtua menginginkan anaknya lebih beradab, dengan hidup di dunia yang lebih indah dan bermakna, dibanding hidup para orangtua itu.

Karenanya ha
rus dipahami bahwa anak bukan hanya akan membentuk dirinya dan membentuk dunianya, tetapi juga dibentuk oleh dunia kehidupannya. Karenanya sebagai orangtua kita harus mengenali dunia tempat kita tinggal. Memiliki anak maju adalah dambaan setiap orang. Tetapi tentu saja masih banyak hambatan dan tantangan yang akan kita hadapi. Hambatannya adalah dunia saat ini yang penuh kontradiksi. Karenanya ada baiknya saya di bagian ini akan membawa Anda pada dunia yang tengah mengancam anak-anak kita, yang juga mengancam kemanusiaan. Dengan memahami kontradiski dan perkembangan jaman sekarang ini kita akan memahami bagaimana dunia di mana anak-anak kita tinggal.

Jika kita ingin menyelamatkan anak-anak kita, kita harus mengenali segala lingkungan dimana anak kita berada. Keresahan akan perkembangan ekonomi dan kebudayaan saat ini terhadap nasib anak-anak kita dirasakan oleh mereka yang telah mengamati perkembangan dunia. Tak sedikit pengamat (budayawan, spikolog, pemerhati anak-anak, politisi, aktivis) yang melihat bahwa ancaman perkembangan kehidupan sekarang ini sungguh-sungguh nyata bagi anak-anak. Mereka melihat adanya kemunduruan perkembangan anak bukan hanya dari para orangtua yang konservatif di dalam rumah, tetapi yang lebih parah adalah ancaman kapitalisme global.

Indonesia, sebagai negara yang berada dalam mata rantai kapitalisme global yang lemah dan terbelakang, seringkali hanya menjadi sasaran modal asing (kapitalis) yang ingin mencari keuntungan di negeri kita yang kaya raya. Kapitalisme pasar bebas (neoliberalisme) global adalah penjajahan bentuk baru (neokolonialisme-neoimperialisme—Nekolim) yang telah terbukti melakukan eksploitasi hingga kita tetap miskin dan terbelakang. Pertama, perusahaan-perusahaan asing (kapitalis) mengeruk kekayaan alam kita dengan membabi-buta, mulai dari pertambangan dan mineral (emas, batu bara, tembaga, minyak, dll) hingga hutan-hutan kita. Hal itu terjadi sejak diberlakukannya UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) di awal pemerintahan Orde Baru dan diperkuat lagi dengan UUMA (Undang-undang Modal Asing) pada tahun 2007 oleh elit-elit anti-rakyat.

Dipastikan anak-cucu kita tak dapat lagi menikmati kekayaan alam karena para politisi anti-rakyat hingga sekarang menyerahkan modal asing mengeruk kekayaan dan merusak alam kita. Mereka tak memikirkan nasib anak-anak dan generasi masa depan. Mereka adalah politisi yang ingin bermewah-mewahan, yang hanya menginginkan memberikan kemewahan pada anak-anaknya dengan uang yang didapat dari korupsi, anak-anak yang dibentuk dengan kekayaan dan membuat mereka terlena dengan gelimangan harta-benda, pada saat anak-anak dari kalangan rakyat miskin bahkan tak mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang sangat mendasar dan sederhana.

Kedua, penjajahan asing (kapitalisme-neoliberalisme) dikendalikan oleh pemilik modal yang menginginkan negara-negara Ketiga seperti Indonesia sebagai pasar. Dalam hal ini, kita diharapkan menjadi sasaran produk dan diciptakan untuk menjadi para pembeli—diciptakanlah budaya konsumtif di kalangan remaja dan anak-anak kita. Tujuannya aga keuntungan dari penjualan produk didapatkan dengan jumlah besar oleh penumpuk modal yang tujuannya memang mencari keuntungan. Untuk menciptakan budaya konsumtif, mereka mencetak kebiasaan yang melemahkan karakter produktif dan independensinya. Iklan dan promosi produk perusahaan-perusahaan melalui media menjadi kekuatan brutal yang melihat anak hanya sebagai sasaran produk atau pembeli.

Kalau mau jujur, b
ukan hanya di dunia Ketiga saja para pengamat meresahkan efek budaya massa kapitalis dan media terhadap perkembangan mental anak. Anak-anak dimanapun akan dimanfaatkan untuk menumpuk keuntungan. Merekalah pasar yang paling potensial. Kalau sejak kecil anak-anak sudah dididik menjadi kapitalistik, maka hingga tua kebiasaan itu akan terjaga—dan kapitalisme bisa langgeng. Sehingga anak-anak dan para remaja tak lagi memikirkan bagaimana membangun karakter pribadi yang produktif seperti berkarya, mencipta, dan berperan untuk melawan kontradiksi yang ada di masyarat. Mereka malah sibuk untuk menguras uang orangtuanya agar dapat membeli. Dan sayangnya, budaya konsumtif juga telah menjangkiti para orangtua.
(Nurani Soyomukti)
--------------------------------------------------------

Tidak ada komentar: