Selasa, 22 April 2008

Dimuat di Jawa Pos, Selasa 15 April 2008:

Menghindari Partisipasi Politik Semu di Pilgub Jatim

Oleh: Nurani Soyomukti*)

http://jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=336239

Kata kunci demokrasi adalah keterlibatan dan kesadaran. Jika rakyat banyak yang terlibat dalam proses politik, semakin semaraklah dunia politik. Tetapi banyaknya orang yang terlibat dalam momentum politik belum mampu menjelaskan kualitas demokrasi bila kesadarannya tidak dinilai. Demokrasi yang maju terjadi jika dalam keterlibatannya rakyat memiliki kesadaran untuk mengubah kondisi yang medatangkan masalah bagi mereka. Rakyat terlibat dengan cita-cita dan pikiran untuk menciptakan capaian politik yang baik dan bukan semata-mata terlibat tetapi tidak memiliki penjelasan kenapa mereka terlibat.

Dalam kasus pemilihan gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) sebagai mementum politik, kita dapat mengukur sejauh mana tingkat partisipasi politik terjadi. Pertama-tama maksimalisasi partisipasi politik terhalang oleh apatisme masyarakat terhadap proses politik itu sendiri. Apatisme bukan muncul begitu saja, tetapi disebabkan oleh berbagai kejadian konkrit yang dialami oleh masyarakat dalam hari-harinya pada saat berbagai macam proses politik yang telah ada sebelumnya tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi nasib rakyat.

Apatisme tersebut pada akhirnya membuat para aktor yang berkepentingan dalam kompetisi merebut kursi kekuasaan harus mengupayakan agar rakyat banyak yang terlibat dalam proses politik akan menghasilkan pemimpin. Para elit dan tokoh yang ingin berkuasa mereka akan butuh rakyat untuk mendukung ‘proyek politik’-nya, atau lebih tepatnya untuk mencoblos.
Tapi ketidakpercayaan rakyat yang menderita dan tanpa pertanggungjawaban para elit nampaknya akan menjadi kalangan yang paling apatis terhadap proses politik. Kalangan masyarakat seperti korban Lumpur Lapindo adalah mereka yang paling merasakan pengkhianatan dari elit politik. Mereka yang hidup terlunta-lunta dan sengsara akibat kebijakan dan tindakan politik penguasa adalah mereka yang nampaknya sudah tak lagi percaya pada proses politik. Bahkan keacuhan terhadap politik seperti proses pemilihan nampaknya begitu menggejala di semua kalangan masyarakat bawah.

Pada akhirnya, elit juga menyadari bahwa rakyat juga kian malas untuk berpolitik karena politik dianggap tak ada kaitan dengan nasibnya. Apatisme dan keacuhan rakyat terhadap moment-moment politik tersebut tentunya akan merepotkan para elit yang menginginkan basa-basi ritualitas politik tiap lima tahun sekali—entah pemilihan umum tingkat nasional (pemilu) ataupun tingkat daerah (pilkadal). Kalau banyak rakyat tak memilih, tak akan ada legitimasi bagi proses pemilihan, artinya tak ada legitimasi bagi proses berebut kekuasaan.

Ibaratnya rakyat sudah bosan dengan politik, mereka akan terus dilibatkan dengan berbagai cara dan upaya, agar rakyat berpartisipasi. Dan makna partisipasi, sayangnya, hanya berupa nyoblos ataupun berkerumun ketika ada kampanye dengan suguhan hiburan musik pop dan dangdut. Partisipasi politik di masa kampanye yang terjadi hanya karena ingin mendapatkan hiburan di depan panggung di mana artis terkenal didatangkan. Partisipasi hanya dengan mencoblos gambar partai atau calon presiden atau kepala daerah.

Kondisi itulah yang menyebabkan terjadinya politik biaya tinggi (high-cost politics): yaitu, ketika massa rakyat semakin apatis dan malas berpolitik, maka pada saat itulah para elit yang sedang berebut jabatan/kekuasaan harus mengeluarkan banyak biaya agar mereka mau ikut dalam proyek politik orang-orang elit. Jadi, biaya banyak dikeluarkan untuk membiayai mobilisasi dan partisipasi.

Partisipasi politik dirangsang dengan berbagai cara, yang paling efektif adalah dengan memberi imbalan agar mereka terlibat. Hal ini berlaku bukan hanya dalam kasus membayar massa Rp 10 ribu atau 20 ribu agar mau menghadiri calon A atau B, tetapi juga terjadi dalam menyiapkan struktur organisasi atau penggalangan massa dalam upaya meraih suara.

Semakin mendekati waktu pencoblosan, nampaknya budaya politik pragmatis semakin menggejala. Pembuatan baliho, stiker, dan kaos bergambar calon semakin diperbanyak. Itu adalah contoh kecil dari aktivitas yang banyak mengeluarkan uang. Semakin banyak biaya yang dikeluarkan, semakin banyak pula atribut dan alat peraga yang disebarkan. Belum lagi biaya untuk membuat kegiatan untuk mengumpulkan massa, bahkan biaya yang diberikan untuk memberikan kompensasi bagi simpul-simpul massa yang dapat menjadi mesin pendulang suara. Semakin uang yang dikeluarkan untuk membeli kaos, bendera, banner dan atribut-atribut, maka wajah calonnya akan terpampang di banyak tempat. Dalam situasi kesadaran politik Indonesia yang kosong, yang nampak banyaklah yang biasanya akan diikuti karena politik rakyat miskin yang (di)bodoh(i) adalah politik ”manut grubyuk”.

Dalam situasi semacam itu tentunya kita dapat menilai bagaimana proses demokrasi yang sedang berjalan. Demokrasi yang ada masih belum mampu menunjukkan kualitasnya yang maju karena partisipasi rakyat masih minimal dan kalau adapun masih bersifat semu. Kesadaran politik berada dalam tingkat yang rendah. Pada saat yang sama, uang masih menjadi alat politik yang nampaknya masih dijadikan andalan bagi tiap-tiap calon. Visi, misi, dan program maupun kredibilitas tidak menjadi ukuran yang penting. Ini masih akan membahayakan wajah demokrasi kita ke depan!***

Tidak ada komentar: