Sabtu, 05 April 2008

Resensi Buku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS":

Psikoanalisa Jiwa Mahasiswa

Judul: Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas:
Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi House of Book, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2008
Tebal: 184
Peresensi: Slamet Riyanto*)


Masih terpatri di ingatan kita pada kasus “ITENAS 15”, video cabul dua mahasiswa bandung, juga kasus-kasus yang lainnya yang tak jarang tersiar di berbagai media massa. Menjadi mahasiswa pada jaman yang serba pragmatis seperti sekarang memang serba paradoks. Di satu sisi, idealisme yang hakiki mahasiswa harus ditegakkan, yakni bagaimana mendewasakan pikiran agar bisa berperan untuk mengatasi persoalan hidup dengan pola pikir sistematik, kritis, analitis, dan berpihak. Namun di sisi lain, mahasiswa juga harus menghadapi banyak godaan pragmatis yang menggiurkan yang membuatnya hanya menjadi individu yang hanya hirau pada kepentingannya sendiri, salah satu contohnya hanya banyak menghabiskan waktu untuk merayakan liberalisme seks.


Selama ini terlampau sedikit penulis yang mencoba menguak sisi lain dari mahasiswa, misalnya gaya hidup dan kebiasaan sehari-harinya. Dapat dikatakan terlalu sedikit studi yang mencoba melihat keterkaitan gaya hidup mahasiswa, terutama budaya dan pemikiran yang berkembang di kalangan mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian masyarakat yang mengembangkan diri dan juga dipengaruhi oleh kekuatan budaya dari luar mendapatkan kajian yang relatif kecil. Atas dasar itulah, penulis buku ini mencoba memberanikan diri untuk melihat aspek kultural, baik dari segi pemikiran, watak, dan gaya hidup mahasiswa di era sekarang ini dengan maksud menawarkan gambaran lain dari kehidupan mahasiswa.

Buku yang berjudul “Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas (Mahasiswa di Era kapitalisme dan Hedonisme)” buah karya Nurani Soyomukti ini dapat dikatakan sebagai eksperimen yang cukup berhasil menelisik pengaruh kapitalisme terhadap menurunnya peran mahasiswa: dari yang dulu dikenal sebagai kalangan yang hirau terhadap nasib rakyat dan rajin turun ke jalanan dalam meneriakkan tuntutan-tuntutan perjuangan, kini menjadi kalangan yang hanya sibuk mengurusi pemenuhan kebutuhan individualnya masing-masing—mulai seks bebas hingga ‘gila belanja’ (shoppaholic).

Mahasiswa sebagai lapisan kaum muda dikepung dari berbagai penjuru, mulai dari privatisasi pendidikan yang melanda kampus-kampus mereka, materi kurikulum dan pengetahuan yang bekerja semata-mata untuk melayani kepentingan produksi dan pasar, kampus yang berdiri ditengah kepungan mall-mall mewah yang menebar aroma hasrat konsumtivisme, sampai dengan jalur jasa infotainment dan kapitalisme media yang memanifes dalam bentuk MTV, sinetron, kontestasi Idol, serta acara-acara gosip.

Keresahan yang diuraikan oleh penulis tentang ruang-ruang kelas yang sepi dengan dinamika gagasan-gagasan kritis dan menyegarkan, dinamika gerakan sosial rakyat menentang rezime korporatokratis yang sepi dari partisipasi mahasiswa, ditengah ruangan kantin yang penuh hiruk pikuk pembicaraan tentang tangga lagu MTV, trend fashion dan rumpian artis-artis Hollywood adalah gejala yang dominan di kalangan mahasiswa.

Kegetiran tersebut bukan hanya karena mengindikasikan kehidupan mahasiswa yang semakin berjarak dengan realitas ketidakadilan dan pemiskinan masyarakat; namun lebih dari itu realitas ini memperlihatkan bahwa mahasiswa juga kaum muda tidak menyadari bahwa semakin mereka masuk dalam pusaran kultur yang dibangun oleh kapitalisme, maka gaya hidup, fikiran, hasrat dan eksistensi mereka tengah diteror oleh sebuah kultur yang diproduksi oleh formasi kapitalisme neo-liberal.

Hal yang menarik dari buku ini adalah gaya penulisan yang santai dan renyah tetapi penuh sentimentalitas yang sensitif tapi kaya akan pemahaman teoritik. Berbagai pendekatan kritis digunakan baik untuk menyerang mereka yang selama ini mendekati gaya hidup mahasiswa hanya dari segi moralis, seperti dilakukan oleh Iip Wijayanto dalam bukunya ‘Seks in The Kost’—yang menurut Nurani Soyomukti adalah cara pandang terhadap gaya hidup mahasiswa yang terjebak pada pencandraan moral yang sempit dan tidak dialektis dalam melihat persoalan (hlm. 24-25).

Penulis justru membangun pendekatan yang mendalam melalui metode psikoanalisis untuk “menerapi jiwa mahasiswa” (hlm. 69). Dengan cara ini digambarkan bagaimana kapitalisme membentuk secara psikologis kejiwaan mahasiswa dalam realitas sejarah yang kini telah berubah: dari dulu yang kritis dan menjadi kekuatan (aksi massa), hingga kini hanya menjadi bagian yang hanyut dalam kepuasan psikologis individu-individu yang juga dijadikan sasaran kapitalisme untuk menumpulkan pikiran kritis.

Dan bagian akhir dari buku ini juga menawarkan solusi untuk mengatasi bagaimana agar mahasiswa kembali menjadi kekuatan aktif yang kritis dan tak sekedar menuruti doktrin iklan. Dimulai dengan “menerapi diri sendiri”—sebagai bagian dari metode psikoanalisis—sampai dengan menjalankan praktek-praktek yang berguna untuk melatih pikiran kritis, misalnya dengan memulai budaya baca, berdiskusi, dan sesekali terjun ke masyarakat untuk melihat realitas yang paling sejati dari kehidupan masyarakat kita. Penulis yakin bahwa dengan menjumpai kontradiksi yang ada, pikiran dan perasaan akan terasah karena—dengan mengutip Kahlil Gibran ia mengatakan—“Dunia adalah surga dengan hati dan pikiran kita sebagai pintu gerbangnya” (hlm. 176).

Buku yang kritis, sebagaimana metode psikoanalis yang pernah dilontarkan oleh Sigmund Freud yang kemudian direvisi oleh Erich Fromm. Dengan pendekatan multidimensi (psikologis, sosiologis, filsafat), membaca buku ini Anda akan menjumpai pendekatan Marxian, Freudian, Gibranian, Frommian, dan tokoh-tokoh kritis yang banyak disebut untuk melegitimasi pandangan penulis dalam melihat kasus-kasus dan gaya hidup mahasiswa.
Cara ini, unfortunately, juga beresiko pada pemaparan gagasan yang cenderung meloncat-loncat dan kadang juga ada bagian yang diulang-ulang. Mungkin juga karena fakta bahwa karya ini, sebagaimana dikatakan penulis dalam kata pengantarnya, adalah kumpulan renungannya selama menjadi mahasiswa dan aktifis—bisa jadi karena ada keperluan untuk menegaskan hal-hal yang dianggap penting, yang kian menunjukkan bahwa penulis buku ini adalah kaum muda yang sangat sentimental. Meskipun demikian, buku ini adalah karya segar yang mencoba melihat ‘kisah cinta mahasiswa’ dari sisi yang jauh dari moralis dan jarang dikuak oleh para peneliti. [*]

*) Slamet Riyanto, pustakawan Komunitas LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur Yogyakarta.


1 komentar:

Sugeng Rawuh dateng Website LAKON UTAMAKNO mengatakan...

Dengan ditancapkannya Syariah dan khilafah di Negeri ini, Insyaallah bisa menjawab segala keruwetan di Negeri ini. Ada satu hukum yg pasti yaitu hukum Allah SWT. Ampuni hamba dan kawan2 yg selama ini menjadikan Islam hanya sekedar dan pelengkap di KTP. dari orang berideologi Nasionalis Sosialis sejati bermanuver ke Syariah. Tks