Oleh: Nurani Soyomukti*)
Catatan I: Dalai Lama
“Dalai Lama is suffering to Tibet but blessing to the world. Ia penderitaan bagi negeri Tibet namun berkah besar bagi dunia”.
(Gede Prama)
Keterlibatan para biksu Tibet dalam melakukan tuntutan pada Cina memunculkan perdebatan tersendiri dalam kaitannya dengan hubungan agama dan politik. Keterlibatan para biksu dalam gerakan protes mengenai urusan politik nampaknya menjadi fenomena yang nyata akhir-akhir ini. Sebelumnya, beberapa bulan yang lalu (dan nampaknya masih berlangsung hingga kini), para biksu di Myanmar melakukan gerakan demonstrasi terhadap pemrerintahan junta militer yang berkuasa sejak berpuluh-puluh tahun.
Ini merupakan gejala baru dalam politik global di mana para biksu atau agamawan Buddha mau bersikap dalam masalah politik. Masalahnya Buddha banyak dianggap agama yang hanya fatalis (pasifis), kalau ada sikap politik biasanya akan dilakukan dengan cara “menasehati” dan bukan dalam gerakan radikal.
Tokoh utama dalam sejarah agama Buddha, Buddha Gautama, adalah biarawan Buddhis pertama yang dikenal dengan ajaran anti-gerakan massa dan sikap asketiknya. Pada mulanya Buddha Gautama adalah pewaris tahta kerajaan Kapilawastu. Guna menemukan kebenaran dan mencari kebebasan sejati, dia melepaskan keluarga dan kerajaannya guna menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa. Setelah melepaskan keduniawian, Gautama berkonsentrasi dalam pengejaran tujuan mulia-Nya. Walaupun Raja Bimbisara membujuk-Nya untuk kembali ke kehidupan berumah tangga dengan menawarkan separuh dari kerajaannya, Beliau dengan tegas menolaknya.
Setelah mencapai Kebuddhaan, ia menempuh perjalanan ke banyak tempat di India untuk membabarkan Dhamma. Selama proses pembabaran Dhamma, ia terlibat dalam berbagai peristiwa yang berkenaan dengan politik. Ia menyelesaikan perselisihan serta memberikan pendidikan nilai-nilai spiritual para raja dan para menteri. Ia tidak terlibat dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Beliau juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik.
Karena ketidakmauan Buddha terhadap politik, maka ia dianggap sebagai orang yang “suci”. Sang Buddha menganggap diri-Nya sendiri sebagai seorang “Tathagatha”, dan bukan seorang raja atau politisi. Saat kita membaca ‘paritta’ tentang kebajikan seorang Buddha, kita menyebut sebagai Bhagava (Yang Patut Dimuliakan), Arahat (Yang Maha Suci), Sammasambuddha (Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna), vijja-carana-sampano (Sempurna pengetahuan dan tindak tanduk-Nya), sugato (Sempurna menempuh Sang Jalan ke Nibbana), lokavidu (Pengenal Segenap Alam), anutara purisa dhamma sarathi (Manusia yang tiada taranya), satta deva manusanam (Guru para dewa dan manusia), buddho (Yang Sadar).
Ang Choo Hong, seorang wakil ketua Konferensi Buddhisme Dunia 2002 dan Presiden Perkumpulan Misionari Buddhist Malaysia yang telah terlibat dalam penyebarluasan Dhamma selama lebih dari 30 tahun, mengatakan:
“Jaman sekarang sesekali kita melihat para biarawan bergabung dengan partai-partai politik, ikut serta dalam pemilihan umum ataupun memegang jabatan-jabatan politik. Namun hal ini bukan berarti bahwa perbuatan mereka diperkuat oleh Kitab Suci….Hal itu disebabkan oleh sejarah politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet”…
… Mereka yang mengenakan jubah kuning tetapi mempunyai karakter yang egois. Mereka menginginkan perhatian dari orang lain… Apapun alasannya, seharusnya kita tidak menyalahgunakan nama Buddhisme ataupun memutarbalikkan Ajaran Sang Buddha untuk membenarkan keterlibatan mereka dalam politik”.1)
Catatan II: Keterlibatan CIA
Sejak awal, keberadaan Tibet di bawah kekuasaan Cina tidak lepas dari percaturan politik global. Dalam hal ini, Tibet adalah asset yang dapat dimainkan dalam konteks politik internasional: pergolakan yang ada di dalamnya pun tak lepas dari sebab dan akibat kepolitikan global.
Sejak berusaha dicaplok Cina, Tibet telah berusaha dicampuri oleh Amerika Serikat (AS). Hal itu adalah wajar karena AS sebagai bapak kapitalisme dunia yang mulai tumbuh waktu itu selalu harus mampu mengimbangi pengaruh Cina sebagai Negara komunis (RRC) yang akan menjadi pesaingnya dalam kepolitikan global. Maka gerakan perlawanan Tibet yang memuncak pada tanggal 10 Maret 1959, sejak komunis berkuasa di wilayah ini sejak tahun 1951, juga tak lepas dari peran AS melalui CIA-nya.
Dokumen CIA berjudul “FOREIGN RELATIONS OF THE UNITED STATES” 1964-1968, Volume XXX, China, DEPARTMENT OF STATE, Washington, DC yang dikeluarkan 9 Januari 1964 menunjukkan secara jelas adanya “The CIA Tibetan Activity consists of political action, propaganda, and paramilitary activity. The purpose of the program at this stage is to keep the political concept of an autonomous Tibet alive within Tibet and among foreign nations, principally India, and to build a capability for resistance against possible political developments inside Communist China.”
Dalam buku yang ditulis Joe Bageant, yang berjudul "The CIA's Secret War in Tibet"2 secara jelas digambarkan bagaimana gerakan perlawanan Tibet yang awalnya kecil disambut oleh AS dengan berbagai bantuan, hingga gerakan itu membesar. Perasaan antipati warga Tibet terhadap RRC mencapai puncaknya pada Februari 1956 ketika Angkatan Udara (AU) RRC membombardir kompleks biara di Chatreng dan Litang yang menewaskan ribuan pendeta dan pengungsi sipil. Sadar lawan lebih kuat, kelompok Chushi gandrig mencoba mencari bantuan. Gyalo Thondup, kakak kandung Dalai Lama, segera menjalin hubungan konsulat AS di India. Sebagaimana kebanyakan warga Tibet lainnya pada waktu itu, dia tidak mengetahui sedikitpun tentang AS. Gayung bersambut. Pihak AS yang sejak lama memang ingin melakukan intervensi terhadap Tibet segera memenuhi permintaan itu.
Saya yakin, pergolakan Tibet akhir-akhir ini tentu juga tak lepas dari kerja/operasi tersembunyi dan terencana AS. Tentu saja kita yang di Indonesia hanya mampu melihat peristiwa tersebut dari berbagai media, terutama media Barat yang kebanyakan menyuarakan perspektif Barat. Tak heran jika perspektif para demonstran mendapatkan perhatian dan porsi yang luar biasa dengan menempatkan mereka sebagai korban dan pemerintahan Cina sebagai pelaku represi—atau tepatnya untuk menunjukkan bahwa pihak Cina anti-demokrasi dan mengandalkan kekerasan (tindakan represif) dalam menyikapi demonstrasi yang bernuansa separatisme.
Pihak Cina sendiri juga menggunakan haknya untuk bersuara. Mereka juga bereaksi terhadap media Barat yang memang banyak memberitakan perlakuan Cina terhadap Tibet, khususnya para demonstran. Seorang pejabat penting pemerintah China dari Tibet mengecam liputan berita Barat tentang kerusuhan itu, menyebutnya tidak punya rasa tanggungjawab.
Kementerian luar negeri Cina mengkritik Kongres AS yang berat sebelah dan hanya mendasarkan pada informasi yang bias. Cina mempertanyakan mengapa Kongres AS tidak mengecam aksi kriminal demonstran Tibet yang diikuti dengan penjarahan dan berbagai pembakaran terhadap bangunan di Lhasa (ibukota Tibet). Dalai Lama dan para demonstran lah yang seharusnya menuai kecaman. Mengarahkan tudingan kepada pemerintah dan rakyat Cina sama halnya dengan keliru antara hitam dan putih. Cina juga membantah klaim pemerintah Tibet di pengasingan mengenai jumlah korban tewas dalam protes anti-Tibet.
Daftar korban yang ditunjukkan pemerintah Tibet benar-benar palsu dan dimaksudkan untuk menyembunyikan kekerasan yang justru didalangi lingkaran Dalai Lama. Otoritas Cina menyatakan sedikitnya satu orang dalam daftar itu ternyata masih hidup dan identitas 35 orang di daftar itu tidak jelas. Pemerintah Tibet di pengasingan yang berpusat di Dharmala, India, semula mengklaim korban tewas dalam berbagai protes anti-Cina meninggal 150 orang.
Pada Hari Kamis 3 April 2008, Kongres Amerika Serikat (AS) mengajukan resolusi yang menyerukan agar Beijing mengakhiri tindakan keras atas protes di Tibet dan memulai dialog dengan Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet. Resolusi itu juga mendesak agar presiden Bush agar tidak menghadiri upacara pembukaan Olympiade Beijing yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 mendatang.
Cina juga menanggapi reaksi kongres AS yang berlebihan soal tindakan polisi Cina dalam menangani demonstran Tibet. Pada Hari Senin 7 April 2008, Cina menentang resolusi itu. Cina juga mengecam demonstasi di London yang mengganggu pawai obor Olympiade. Pihak Cina mengatakan:
“Kami menyarankan Kongres AS menghormati fakta, menyingkirkan pandangan sepihak, dan melihat dengan jelas wajah asli kelompok Dalai Lama… Kongres AS harus berhenti mendesakkan resolusi mengenai Tibet yang melukai perasaan rakyat Cina dan mengganggu hubungan Cina-AS…”6)
Dari kondisi itu kita dapat memahami bahwa masalah Tibet telah melibatkan kepentingan internasional antara Cina dan Amerika Serikat (AS). Dalam hal ini berarti bahwa isu Tibet merupakan isu yang dapat dimainkan oleh AS untuk menyerang Cina. Lebih jauh, ada kemungkinan Tibet memang diperebutkan oleh kedua Negara ini sejak awal kelahiran perlawanan Tibet terhadap pendudukan (aneksasi) Cina sejak setengah abad yang lalu.
Dari sudut pandang pemerintah Cina, berdasarkan statistic ekonominya, ada perkembangan ekonomi yang luar biasa di Tibet sejak pendudukannya di tahun 1949. Statistic resmi menunjukkan bahwa gross domestic product (GDP) Tibet (Tibet Autonomous Region/TAR) tumbuh rata-rata 12,8% tiap tahun antara tahun 1994-1995. Bagi Beijing penguasaan atas Tibet merupakan upaya untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya yang sangat kaya. Dataran tinggi Tibet adalah sumber mineral yang kaya. Misalnya, di daerah Tibet tengah dan Barat saja, para ahli Cina memperkirakan bahwa di sana terdapat kandungan mineral senilai 81,3 juta U$ dollar; dan pemerintah Cina mengalokasikan investasi sebesar 1,2 milyar U$ dollar untuk mengembangkan sumber daya ala mini. Belakangan, pemerintah Cina meningkatkan eksplorasi minyak dan gas alam di Tibet, dan jalur kereta api dibangun untuk menghubungkan Beijing dan Lhasa.7)
Pipa untuk mengalirkan minyak dan gas alam juga sudah dibangun dengan bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan Barat. Hampir semua proyek ini dilakukan dalam kaitannya dengan upaya Cina untuk mencukupi kebutuhan akan sumber daya minyak dan energi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Cina telah menjadi Negara yang pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia. Industri-industrinya membutuhkan bahan bakar yang luar biasa banyak. Dan Tibet, yang menyediakan sumber daya alam itu, dapat dieksploitasi. Tujuannya agar Cina tak lagi menggantungkan kebutuhan minyaknya dengan mengekspornya dari luar negeri mengingat harga minyak dunia kian naik—sekarang lebih dari 110 U$ dollar per barrel.
Naiknya Cina sebagai raksasa baru ekonomi dari kawasan Asia merupakan ancaman terhadap hegemoni AS di wilayah ini. Karenanya masalah Tibet tak lepas dari pengaruh wilayah ini. AS sejak awal berusaha berada di pihak Tibet dan tak henti-hentinya membantu perjuangan rakyat Tibet melepaskan diri dari Cina, mungkin kalau Tibet merdeka AS akan dapat masuk ke wilayah itu untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya.
Analisa yang objektif mengenai Tibet tentunya harus melihat dari berbagai macam kepentingan yang bisa dianalisa dari pernyataan-pernyataan yang harus dikaitkan dengan bukti-bukti yang ada. Tiap-tiap negara, terutama antara Cina dan AS, yang telah melibatkan diri dalam pernyataan dan tindakan mengenai masalah Tibet tentunya memiliki kepentingan masing-masing. Karenanya, buku ini mencoba menggali kebenaran sejarah konflik Tibet dengan melihat berbagai macam kepentingan yang bermain di sana, agar cara pandang kita mengenai masalah Tibet tidak berat sebelah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar