Saya pernah lama tinggal di Tebet (Jakarta Selatan). Dan akhir-akhir ini saya sering berbisik-bisik mendesis sambil berucap: ”Tebet! Tibet! Tebet! Tibet! Tebet! Tibet! Tebet!”
Kata ”Tibet” memang tak begitu asing bagi saya, apalagi saya pernah kuliah selama 6,5 tahun di jurusan Hubungan Internasional. Waktu kuliah, dulu saya tak begitu tertarik pada kajian Asia Tengah atau Asia Selatan—seingat saya, saya tak menempuhnya. Entah dari mana kata ”Tibet” saya dengar, mungkin saat saya menempuh mata kuliah Politik Pemerintahan Cina.
Atau entahlah.
Dan saat kita menyebut Tibet, yang kita ingat adalah Dalai Lama. Kini, ketika kita membaca koran tiap pagi, yang ada adalah pergolakan: Ancaman para biksu, juga pihak Amerika Serikat (AS) yang mengancam memboikot Olimpiade Beijing pada bulan Agustus depan.
Pada saat ditanya tentang Tibet, mungkin saya hanya bisa membayangkan Gunung Himalaya karena tepat di punggungnya negeri Tibet itu berada. Saya membayangkan salju, sebagaimana pernah saya tonton dalam film ”Vertical Limit” yang mengisahkan suka duka para climber, mengisahkan cinta di masa lalu yang ternyata kenangannya tertinggal di bawah gundukan salju yang memendam mayat seorang perempuan yang dicintai oleh climber ternama. Benar-benar meyakinkan pada saya bahwa hasrat akan Cinta sama besarnya dengan hasrat akan keindahan alam yang membuat kita ingin menikmatinya.
Dan ketika saya dikejar deadline oleh penerbit buku untuk menyelesaikan sebuah naskah buku yang akan segera diterbitkan dalam waktu seminggu, maka yang saya lakukan adalah bukan pergi ke Himalaya (terlalu jauh tempat itu dan alangkah mustahilnya bagi saya untuk dapat menjangkau kesana, alasan biaya dan tenaga, waktu juga). Maka saya tinggalkan aktivitas pokok saya belakangan ini yang berbasis di Kota Pahlawan (Surabaya). Dan sore itu, saya segera mengkontak seorang kawan mahasiswa di Jember agar saya besok paginya (setelah sampai di kota tempat saya kuliah itu) saya bisa memanfaatkan kartu perpustakaannya untuk meminjam beberapa buku yang akan membimbing saya mempelajari Tibet dalam waktu tepat.
Ternyata saya malah tak mendapatkan buku itu sama sekali. Pada hal kawan saya itu juga sudah capek-capek mengantarkan saya dan menemani saya di perpustakaan.
Yang dapat saya peroleh hanyalah Encyclopedia Britanica yang mengulas secara panjang sejarah Tibet. Dan beberapa berita atau ulasan di Koran TEMPO. Hanya itu saja. Lumayan sih! Cuman saya tetap belum puas. Bagaimanapun, kalau kita berniat mempelajari segala sesuatu (apalagi yang baru), sebanyak mungkin data dan informasi yang kita peroleh akan semakin baik.
Ada kawan saya yang mengatakan bahwa ada film yang mengisahkan Tibet dan Dalai Lama, yang bahkan dibintangi oleh Brad Pitt, tapi ia lupa judulnya. Tapi sampai sekarang saya belum mencoba memburu film itu, kayaknya juga film yang tak lama-lama amat.
Ya, akhirnya saya lebih banyak mengeksplorasi data-data Tibet dari internet.
Esai di bawah kolum ini adalah catatan kecil saya soal Tibet dan pergolakan politik yang akhir-akhir ini muncul di pentas dunia. Saya pajang di blog ini, mudah-mudahan berguna untuk sekedar berbagi informasi soal Tibet. Maksud saya agar informasi ini mampu mengimbangi berita-berita koran tentang Tibet dan Dalai Lama yang sepotong-sepotong dan bahkan menutup-nutupi apa yang sebenarnya terjadi, atau apa di balik isu Tibet itu. Catatan-catatan tersebut penting untuk saya ungkapkan biar ada sisi lain dari apa yang sedang terjadi.
Versi lengkap dari catatan ini tentunya adalah naskah buku yang, insyaallah, akan segera terbit! Terimakasih....
2 komentar:
Selamat Bung, atas diterbitkannya buku2nya. Btw nomermu berapa sekarang?
salam. Insaf Albert Tarigan
Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Servidor, I hope you enjoy. The address is http://servidor-brasil.blogspot.com. A hug.
Posting Komentar