Sabtu, 05 April 2008

Media dan Politik:

Pilkada, Televisi, dan Demokrasi

Oleh: Nurani Soyomukti*)


Ketika TV men
ayangkan iklan Rano Karno dan merayu penonton agar memilih pasangannya sebagai bupati dan wakil bupati Tangerang, sesungguhnya itu bukan pertama kalinya seorang mantan selebritis tenar seperti Rano Karno muncul di TV. Jauh-jauh hari Rano Karno sudah dikenal oleh masyarakat Tangerang melalui media, termasuk TV. Meskipun awalnya dikenal sebagai artis (bintang film), terutama dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, serta berbagai tayangan TV lainnya (termasuk iklan), jelas nama Rano Karno sudah lekat dengan masyarakat. Nama-nama kandidat lainnya kemungkinan lebih tidak dikenal.

Dan karena itulah, Rano Karno berhasil menghantarkan pasangannya menjadi orang nomor satu di Tangerang dalam pemilihan kepala daerah. Kasus ini sekaligus menunjukkan bahwa popularitas seseorang yang dibangun melalui media seperti TV cukup efektif dalam membangun citra calon yang akan dapat menghantarnya menjadi orang yang terpilih.
Persoalannya, jika dikaitkan dengan demokrasi, sejauh mana televisi sebagai media iklan bagi calon kepala daerah akan mampu menghasilkan kualitas proses demokrasi. Dari fakta bahwa hanya calon yang memiliki uang saja yang mampu memasang iklan dan memb
angun citra diri (termasuk merayu agar memilih dirinya), dalam hal ini demokrasi sendiri telah didistorsikan oleh kepemilikan uang. Yang berkuasa atas uang dan media adalah mereka yang nantinya akan mendapatkan banyak suara. Artinya, proses demokrasi masih tetap dikangkangi oleh hubungan kekuasaan dan kepemilikan di ranah kekuatan produksi yang berupa modal dan media.

Kondisi itu sebenarnya akan berpengaruh pada hasil dari proses demokrasi. Setelah pemilihan berakhir, biasanya yang tersisa adalah kekalahan bagi rakyat karena biasanya tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi dan politik yang dilakukan oleh pasangan yang menang. Karena sejak awal yang disampaikan ketika mereka tampil dalam iklan TV juga bukanlah visi-misi yang menunjukkan niat dari pelaksanaan kebijakan yang jitu dalam menjawab kebutuhan riil di masyarakat, terutama kebutuhan akan kesejahteraan.

Kekuatan Televisi
TV bukanlah media yang netral atau tanpa kepentingan ekonomi-politik. Sebagaimana pengamat komunikasi mazhab k
ritis (critical communication) di Barat menganggap bahwa TV adalah sebuah kekuatan yang berpihak dan berusaha mengarahkan masyarakat ke dalam gaya hidup tertentu, tentunya tayangan-tayangannya akan mengonstruksi suatu cara berpikir masyarakat. Setelah masyarakat telah terbiasa dengan cara berpikir dan bertindak sebagaimana yang dimaksud oleh kepentingan di balik tayangan TV, maka tujuannya telah tercapai. TV adalah aparat utama untuk mencetak generasi yang kondusif bagi pelanggengan tatanan kapitalis, yang menginginkan keuntungan dengan cara merubah corak budaya masyarakat.

Berkaitan dengan itu, sesungguhnya media seperti TV juga hanya menjadikan masyarakat sebagai pemuja para elit, terutama selebritis, dan bukan memiliki sebuah pemikiran kritis dan tindakan partisipatif agar posisi elit terkontrol sehingga benar-benar mematuhi amanat demokrasi untuk membantu rakyat lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan. Masalahnya industrialisasi media kapitalis menciptakan—apa yang disebut Alex Comfort sebagai—“masyarakat penonton” yang “berjejal-jejal tetapi kesepian, dipandang dari segi teknik sama sekali tidak merasa aman, dikndalikan oleh suatu mekanisme tata tertib yang rumit tetapi tidak bertanggungjawab terhadap individu”.

Tak heran jika sejak awal sosiolog ternama seperti C. Wright Mills mengajukan pandangan yang pesimistik terhadap fungsi media. Dalam bukunya “The Power Elite” (1956), Mills mengutuk fungsi media yang lebih berfungsi sebagai instrument yang memfasilitasi—apa yang ia sebut sebagai—“kebutahurufan psikologis”. Mills juga memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu” (pseudo-world), yang menyajikan realitas ksternal dan pengalaman internal serta penghancuran privasi dengan cara menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang masuk akal dan tidak terburu-buru serta manusiawi”.

Ketika tampil di TV dalam bentuk iklan untuk mencoblos, calon kepala daerah memang telah berhasil memasuki dunia pencitraan. Yang namanya pencitraan tentu saja adalah dunia yang tidak sesuai dengan realitas sejatinya, tetapi hanya representasi dan citra (image). Dan ketika dunia imagologis dominant, maka masyarakat akan lupa pada aspek yang paling riil dari hidupnya, misalnya bagaimana mereka dapat mencukupi kebutuhan akan makan, sekolah anak, harga-harga yang terjangkau, dan masa depan yang aman dari pemenuhan kebutuhan ekonomis mereka.

Ketika saat ini pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) akan dilakukan di beberapa daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di masyarakat juga terjadi keresahan yang luar biasa akibat naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan berbagai macam kejadian yang menjelaskan bahwa krisis kesejahteraan itu masih sedang dan akan terjadi hingga waktu yang belum jelas.

Tetapi dunia TV telah menciptakan masyarakat imagologis yang akut akibat serangan dari waktu ke waktu media ini pada kesadaran masyarakat. Sehingga apa yang muncul di TV, dunia imagologis itu, seakan adalah yang legitimate dan justru dirasa paling ‘nyambung’ dengan kebutuhan (psikologis) mereka. Karenanya, kehadiran calon kepala daerah melalui (iklan yang dibuat di) TV punya peran dalam memperkuat legitimasi mereka. Tampil di TV akan menambah kekuatan seperti kewibawaan, kecerdasan, modern, dan menjelaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Masalahnya dalam kehidupan yang penuh eksploitasi di era posmodernis yang bertumpu pada perkembangan media informasi dan komunikasi sekarang ini, dunia manusia dan kebutuhannya didefinisikan dan didesain kembali menjadi dunia semu (hyperreality) di mana sandaran eksistensial manusia tak lagi ditemukan pada realitas sejati yang kuantitatif, tetapi pada dunia citra yang dibentuk oleh media (t
erutama TV).

Kondisi itu merupakan semacam manipulasi ideologis, terbalik dan goncangnya dunia kenyataan menjadi kepalsuan, sebagaimana masyarakat feudal menyebarkan dongeng-dongeng agar massa rakyat percaya pada kaum elit bangsawan dan raja-raja, lalu rakyat mau membayar upeti dan mempersembahkan semua hasil kerjanya pada kalangan raja. Dan raja di era (pos)industrialisasi adalah media. Maka kalau ingin menguasai medan pertempuran politik harus menguasai atau memanfaatkan media. Artinya, proses terjadinya manipulasi ideologis dan kesadaran itu masih terjadi ketika dunia citra (dunia kepalsuan pengetahuan objektif) mengalahkan dunia nyata. Hal inilah yang membuat para pengamat semakin menyadari bahwa tingkat kemajuan media informasi dan komunikasi dengan tingkat demokrasi ternyata tidak berbanding lurus.

Demokrasi berjalan dan mencapai arah kematangan jika kesadaran masyarakat tercipta. Tetapi, semakin berperannya media dalam kehidupan, seharusnya hubungan masyarakat juga maju, adil, makmur, dan dapat meninggalkan pola-pola penindasan, eksploitasi, dan penipuan serta kepalsuan kebenaran yang telah mengungkung masyarakat lama dengan kebodohan.***

Surabaya, 03'08

1 komentar:

infogue mengatakan...

artikel anda sangat bagus dan menarik, artikel anda:

http://www.infogue.com/
http://www.infogue.com/tv/pilkada_televisi_dan_demokrasi/

anda bisa promosikan artikel anda di infoGue.com yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!