dan Krisis Tafsir Kebudayaan
Oleh: Nurani Soyomukti*)
“Dalam kekeliruan filsafat yang tinggal hanyalah usaha membela diri… mereka hanya tahu melakukan defensi, bertahan dan terus kalah, karena kekalahan filsafat. Semakin filsafatnya, semakin kalah ia di medan perang”.
(Pramoedya Ananta Toer, “Rumah Kaca” (tetralogi Bumi Manusia), hlm. 106-107)
Semburan rasialisme menghentak masyarakat dunia (termasuk Indonesia) saat film “Fitna” dibuat dan dipertontonkan oleh salah seorang anggota parlemen Belanda, Geerts Wilders. Politisi Belanda itu memberikan penafsiran yang sempit terhadap ajaran Islam dan yang berusaha digugah dari menonton film yang dibuatnya adalah perasaan kebencian terhadap Islam. Prasangka rasisme dibuat dan dipoles secara habis-habisan dalam film tersebut.
Bagi orang yang mempelajari secara betul tentang tendensi-tendensi politik di Barat, gema rasisme sebagaimana diwakili Wilder sebenarnya bukan yang pertama maupun satu-satunya. Rasisme atau politik kanan bahkan menjadi ideologi yang berjalan tanpa henti seiring dengan krisis ekonomi yang melanda di negara-negara Barat sejak dipangkasnya jalan Negara Kesejahteraan dan menangnya jalan ideologi neoliberalisme. Gerakan massa rakyat kian bergema di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Perancis. Sedangkan bagi yang ‘keblinger’ dalam memaknai gerak budaya melihat bahwa sumber dari kemiskinan Eropa yang kian meluas adalah para pekerja dari Timur-Tengah (Islam) yang mau dibayar murah.
Bahkan sentimen rasialisme Eropa kadang begitu kentara karena dapat terekspresikan dalam politik formal. Dalam pemilu 2002, misalnya, Jean-Marie Le Pen pemimpin partai konservatif radikal (French National Front) mengadopsi program-program rasial dan menggaungkan kebencian terhadap Islam. Pada waktu itu, popularitas Le Pen mencerminkan meningkatnya rasialisme karena dukungan terhadap Le Pen mengungguli kandidat dari Partai Sosialis, yaitu perdana menteri Lionel Jospin.
Sedangkan di Belanda sendiri, partai konservatif Kristen Demokrat bernuansa rasis pimpinan Pim Fortuyn juga memperoleh peringkat kedua dalam pemilu. Pim Fortuyn terkenal dengan ungkapan-ungkapannya yang fasis, mengatakan bahwa Islam adalah peradaban terbelakang dan ia bahkan meminta Belanda menutup pintu bagi imigran Islam.
Rasisme dalam Film Amatiran
Jika dilihat dari kenyataan di atas, maka telah jelas bahwa rasisme di Eropa—atau Barat secara umum—sebenarnya memang masih berkembang, dan cenderung meningkat setelah provokasi peristiwa peledakan gedung WTC pada 11 September 2001 yang disusul dengan slogan “war on teror” oleh presiden Amerika Serikat (AS) George Bush. Perasaan anti-Islam kian menyebar dan tumbuh menjadi prasangka peradaban yang membutuhkan waktu untuk menghilangkannya.
Prasangka rasial kian tumbuh subur pada saat rakyat AS dan Eropa mengalami krisis kapitalisme global yang hingga kini masih belum terselesaikan. Krisis kapitalisme diatasi dengan kebijakan neoliberal yang dijalankan dengan memotong subsidi dan privatisasi perusahaan negara, dan pada saat yang sama AS melakukan ekspansi melalui perang untuk merebut minyak: mulai serangan terhadap Afghanistan tahun 2001 hingga Perang Irak yang hingga saat ini masih belum selesai.
Kebudayaan Barat sekarang ini menyisakan ruang kosong penafsiran budaya yang diisi oleh tafsir rasis karena penjelasan objektif tentang krisis material kapitalisme global masih belum dapat dipahami, terutama di kalangan para budayawan, politisi, dan aktivis Eropa. Sehingga film “Fitna” buatan seorang politisi (bukan budayawan) sebenarnya adalah produk dari tafsir budaya rasistik yang sebenarnya tak layak dilihat sebagai wakil produk budaya Barat (apalagi Eropa, dan bukan AS).
Budayawan sejati di AS, tentunya di kalangan film Hollywood, tentu lebih bebas dari kebodohan rasisme ala Wilder karena mereka adalah pembuat film yang sejatinya. Bahkan film dokumenter “Fahrenheit 911” yang dibuat Michael Moore (budayawan film Hollywood) setelah terjadi peristiwa 11/99 (Black September) merupakan gambaran yang objektif, dan bukan rasialis, seputar peristiwa peledakan WTC, sebab dan akibatnya.
Belakangan, para sineas Hollywood justru menjadi pejuang avant garde dalam melakukan kritik terhadap efek dari imperialisme-kapitalisme AS di berbagai belahan dunia, terutama kritik terhadap dihalalkannya perang dalam memenuhi ambisi ekspansi AS yang merugikan lingkungan, kebudayaan, dan kemanusiaan.
Secara nyata, kontradiksi kapitalisme yang diselesaikan dengan jalan Perang (terutama serangan AS dan sekutunya ke Afghanistan dan Irak) telah membuka mata kalangan budayawan seperti insan perfilman Hollywood. Konon, Hollywood tahun ini kebanjiran film-film anti-Perang, film-film anti-kapitalisme global juga. Di komunitas film terbesar ini memang terjadi kemajuan yang cukup pesat. Bukan hanya kecanggihan teknologi perfilman, tetapi juga ada perubahan paradigma di kalangan insan perfilman di sana. Setelah berbagai macam peristiwa seperti 9/11 dan reaksi pemerintahan Bush yang berlebihan terhadap komunitas dunia (terutama Afghanistan dan Irak), Hollywood telah menjadi kekuatan kritis terhadap Bush dan, dengan demikian, film Hollywood semakin humanis dan tak semata-mata berpihak pada kebijakan luar negeri AS.
Pendapat ini didukung oleh tulisan yang mengejutkan dari Ed Rampell di majalah Socialist Review edisi November 2005 yang berjudul “Is Hollywood Turning to The Left?”. Dalam artikel tersebut Rampell mencatat beberapa film yang diantaranya dibuat sebagai protes terhadap pemanasan global (anti-global warming) seperti film “The Day After Tomorrow”, sebuah film yang mengeluarkan anggaran sangat besar. Juga dicatat film tentang kehidupan Che Guevara, “The Motorcycle Diaries”, sebuah film Indie yang diproduseri oleh Robert Redford. Juga film dokumenter besutan Michael Moore yang berjudul “Fahrenheit 9/11”. Film-film ini hanyalah contoh dari banyak film yang menggambarkan komitmen kemanusiaan insane perfilman Hollywood seperti “Good Night, and Good Luck”, “Lord of War”, “The Constant Gardener”, “My Cousin Vinny”, “North Country”, “Blood Diamond”, dll. Film “Blood Diamond” yang dibintangi Leonardo De Caprio dan “Constant Gardener”, misalnya, menguak kejahatan korporasi dan pejabat terhadap nasib rakyat di dunia Ketiga (dalam kedua film ini sama-sama di Afrika). Sedangkan film “North Country” dengan jelas bernuansa menguak ketertindasan buruh perempuan di pertambangan dan perjuangan yang diulakukan untuk membela nasibnya. Inilah yang disebut Rampell sebagai “radical film”.
Perkembangan kebudayaan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya prasangka rasisme di dunia film Barat relatif meghilang. Film “Fitna” garapan Wilder bukanlah film yang digarap secara serius, tetapi memang secara amatiran dibuat untuk memenuhi dan mengungkapkan nafsu rasis di Belanda (masyarakat Barat) yang memang mau tak mau harus diakui keberadaannya.
Karena tafsir kebudayaan (termasuk keberagamaan) sangat dipengaruhi oleh epos perkembangan ekonomi (kapitalis), tak heran jika rasisme anti-Islam adalah riak kecil yang tak mewakili keseluruhan cara pandang Barat. Tidak Barat tidak Timur, semuanya didera masalah krisis financial dan krisis kesejahteraan. Tetapi jika jawabannya adalah rasisme, maka dipastikan masa depan peradaban akan suram. Tetapi sulit sekali Perang Dunia berikutnya atas nama sentiment rasis pecah, mengingat globalisasi juga telah mampu memberikan kesadaran anti-kapitalisme (bukan anti-Islam, anti-Kristen, anti-Yahudi) yang juga meluas, serta meluasnya kesadaran akan pentingnya pluralitas dan demokrasi di tengah dunia yang semakin terbuka dan tanpa batas.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar