Oleh: Nurani Soyomukti*)
Dede Yusuf menjadi wakil Gubernur setelah ia terpilih bersama Ahmad Heryawan. Demikian juga Rano Karno, ia menjadi wakil Bupati Tangerang setelah terpilih bersama pasangannya. Sebelumnya, Mariza Haq juga telah memberanikan diri untuk maju sebagai calon wakil gubernur Banten, meskipun pada akhirnya ia kalah—salah satunya karena tak didukung sepenuhnya oleh partainya (PDIP) karena dianggap orang baru di partai. Konon, Rieke Dyah Pitaloka juga akan maju dalam pemilihan Bupati Garut (Jawa Barat).
Sejumlah artis lain juga siap bertarung untuk memperebutkan posisi pimpinan kepala daerah. Saipul Jamil, penyanyi dangdut yang sama sekali tak memiliki pengalaman di dunia politik, adalah salah satu dari bintang panggung hiburan yang bersiap-siap naik ke panggung politik pemilihan kepala daerah. Mantan suami Dewi Persik itu pada 24 April resmi menerima lamaran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPC Serang, Banten, untuk dijadikan bakal calon walikota Serang dipasangkan dengan Ruhyadi Kirtam Sanjaya. Artis lain yang juga sedang bersiap-siap adalah Wanda Hamidah yang mengaku serius masuk bursa bakal calon wali kota (Wawali) Tangerang, Propinsi Banten. Keseriusan tersebut telah ditunjukkan dengan melakukan sosialisasi ke berbagai jaringan partai dan simpul-simpul masyarakat.1
Ternyata fenomena semacam itu juga nampaknya juga bukanlah hal yang baru. Di negara-negara Barat, tak sedikit para artis-selebritis yang juga menduduki jabatan politik di wilayahnya. Clint Eastwood menjadi wali kota sebuah kota kecil, Camel, dan Arnold Schwarzenegger juga menjabat sebagai Gubernur California. Artis perempuan seperti Barbara Streissand memimpin satu kota kecil di Amerika, bukan lewat pemilu, karena ia "membeli" kota mini tadi dengan kekayaan dan pesonanya yang didapatkan dari show-biz perfilman.2
Tak mengherankan trend Barat juga menular pada artis-selebritis tanah air. Sederet nama beken seperti Nurul Arifin, Ray Sahetapy, Rieke Diah Pitaloka, Qomar, Angelina Sondakh, hingga Adjie Massaid adalah sebagian di antaranya. Artis 1980-an Marissa Haque pun tak puas hanya menjadi anggota legislatif. Ia pun mencalonkan diri sebagai calon Wakil Gubernur Banten. Sayangnya gagal. Artis gaek yang masih sering main sinetron dengan peran sebagai bapak rumah tangga semacam Anwar Fuady juga pernah mendaftarkan diri sebagai capres dalam konvensi Golkar.
Apakah mereka memang punya kapabilitas memimpin atau mengelola kekuasaan yang tentu saja harus diabdikan pada rakyat? Seingat saya, Dede Yusuf adalah artis-selebritis pertama di Indonesia yang menjadi pemimpin propinsi (sebagai wakil gubernur). Rano Karno juga yang pertama sebagai wakil gubernur? Apa yang akan mereka lakukan dan bagaimanakag gaya kepemimpinan mereka? Banyak yang menunggu hasilnya!
Artis-selebritis di Barat seperti Ronald Reagan juga bisa menjadi presiden AS. Ke depan, tidak menutup kemungkinan artis Indonesian juga bisa meraih posisi RI-1 semacam itu.
Tetapi pertanyaannya adalah: Apakah masuknya para artis-selebritis dalam ranah politik akan mampu memberikan pengaruh pada perubahan menuju tatanan politik yang berpihak pada rakyat miskin? Atau, jangan-jangan, hanya sekedar menyemarakkan dunia politik dan hanya sebatas dimanfaatkan oleh partai-partai politik untuk menarik simpati massa dan memperoleh dukungan—atau ujung-ujungnya menjaring suara?
Sekarang memang bukan lagi jaman Orde Baru di mana para artis hanya berperan saat kampanye Golkar, tampil di panggung agar massa berkumpul. Hingga sekarang peran semacam itu juga masih ada, tetapi nampaknya telah ada peran yang lebih serius. Para artis sudah ada yang duduk di kursi DPR. Mereka antara lain Marissa Haque (PDIP), Angelina Sondakh, Adjie Massaid dan pelawak Qomar (ketiganya dari Partai Demokrat), dan Dede Yusuf (PAN), juga artis kawakan Dedi Soetomo wakil dari PDIP. Bersama 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD periode 2004-2009 lainnya mereka telah membawa tanggungjawab rakyat yang di wakilinya dari gedung gedung MPR/DPR Senayan Jakarta.
Selain itu mereka menjadi kepala daerah, dan serius dalam aktivitasnya dalam politik. Artinya, mereka punya alasan yang maju. Rieke Dyah Pitaloka, misalnya, mengaku bahwa keterlibatan politiknya didasari oleh kemauannya untuk menrubah keadaan yang ada: “Awalnya, saya gregetan dengan hukum Indonesia yang berjalan tidak sesuai koridor. Saya juga sedih karena ada stigma bahwa di dunia politik artis cuma digunakan sebagai pajangan, hanya disuruh nyanyi, menghibur, jadi MC-nya saja. Tanpa ditanya apa punya gagasan atau diajak rapat. Saya miris melihatnya... Saya nggak buta-buta banget soal politik... Saya bukan boneka politik. Saya nggak mau kalau nanti duduk di parlemen, bukan kegiatan politik saya yang diliput, tapi hanya putus sambung dan kisah asmara saja yang dibesar-besarkan," tegasnya.3
Rieke memang telah dikenal sebagai artis yang paling punya komitmen dalam memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sata sering bertemu artis asal Garut ini dalam setiap diskusi soal nasib rakyat, dan dia juga dihormati oleh kalangan gerakan karena keterlibatannya pada perjuangan demokrasi, terutama isu-isu HAM dan perempuan. Pada tahun 2004, bersama dengan para selebritis lainnya seperti Nurul Arifin, Kiki Widyasari, Rieke Dyah Pitaloka, dan Wanda Hamidah, bersama presenter televisi Rosiana Silalahi membentuk Komunitas Artis Peduli Sosial dan Politik pada 2 September 2004. Hadir pula aktivis AIDS, Baby Jim Aditya, Angelina Sondakh, Yessy Gusman, Ria Irawan, dan artis yang mengaku korban KDRT, Novia Ardhana.
Bersatunya para selebritis perempuan itu terkait dengan Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang alot di tingkat panitia kerja di DPR pada waktu itu. Menurut mereka, perkembangan pembahasan substansi RUU tersebut telah melenceng dari naskah awal yang diusulkan DPR sendiri. Salah satu yang menjadi perhatian utama para artis adalah penghapusan poin mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga berupa pemaksaan hubungan seksual.
Rieke Dyah Pitaloka menyayangkan pemahaman dari para anggota dewan di panitia khusus yang masih saja menganggap KDRT hanyalah sekadar perselisihan biasa. "Kekerasan di mana pun tetaplah kekerasan, kejahatan yang sudah masuk ke wilayah pidana," katanya. Ia juga menyesalkan argumentasi dalam agama digunakan sepihak untuk menjustifikasi superioritas laki-laki atas perempuan. "Bukankah agama mana pun mengajarkan laki-laki untuk bersikap baik kepada perempuan. Bagaimana jika KDRT menimpa ibu, anak perempuan, atau adik perempuan mereka, misalnya," ujar Rieke.4
Rieke Diah Pitaloka juga mempelopori sejumlah artis seperti Wanda Hamidah, Franky Sahilatua, dan Gugun Gondrong untuk turun ke jalan dan ikut menyatakan sikap penolakan terhadap kenaikan BBM. "Kami ingin turut serta bersimpati dengan penderitaan masyarakat sebagai bentuk terima kasih kami... Target kami mungkin tidak langsung bisa menurunkan BBM tapi dengan himbauan ini kemudian masyarakat terbuka melakukan penolakan, saya rasa itu sudah sebuah keberhasilan”, kata Rieke.5
Rieke telah mewakili ikon baru sekebritis yang terlibat dalam politik yang berbasis pada gerakan demokrasi dan pejuang kerakyatan. Sementara artis lain masih merayakan indivudualitasnya dengan acuh pada realitas sosial-politik yang memiskinkan rakyat, Rieke mendobrak keumuman artis Indonesia yang selalu menempatkan diri sebagai kalangan yang bangga akan kemewahan. Dengan demikian, ada titik terang bagi masa depan selebritis kita.
(Haus) Kekuasaan atau Humanisasi?
Menurut saya pertanyaan tentang keterlibatan artis-selebritis ke dunia politik sudah selesai ketika kita memahami bahwa dunia selebritis selama ini adalah wilayah kekuasaan. Kekuasaan mereka selama ini memang bukan pada wilayah politik per definisi. Karena relasi kekuasaan dalam masyarakat kapitalis lanjut sekarang ini memang tak lagi berada pada wilayah politik itu, tetapi pada kemampuan semua sumber daya untuk mengakumulasi citra agar kekuasaan dapat direngkuh.
Dalam masyarakat kapitalis, politik tetap jadi wilayah penyangga berlangsungnya hubungan ekonomi kapitalisme. Tetapi jantung utama kapitalisme tetap berada pada hubungan kelas antara pemilik modal dan buruh yang terlibat dalam pembuatan produksi barang-barang dan reproduksi makna agar barang-barang itu laris dan pemilik modal mencapai keuntungan. Dalam hal ini kaum selebritis diorganisir sistem kapitalis untuk memandu budaya masyarakat agar konsumtif dan, di sisi lain, juga menghibur masyarakat agar lupa pada penderitaan akibat eksploitasi yang ada dalam hubungan ekonomi kapitalis. Selebritis sendiri identik dengan kelas kapitalis, kelas kaya dan berkemewahan.
Memang tidak semua kalangan artis-selebritis berasal dari kelas kapitalis, yaitu anak-anak pengusaha besar atau pemilik modal. Tetapi, meskipun mereka berasal dari kalangan kelas menengah ke atas atau bahkan ada—meskipun sedikit—yang berasal dari kalangan bawah (yang beruntung seperti Inul Daratista, dll), tetap saja ekspresi budaya dan cara berpikir mereka sangat lekat dengan kaum kapitalis. Bahkan kalau kelas kapitalis hampir tak teridentifikasi cara pandang dan ekspresi budayanya, kaum seniman selebritis begitu jelas kata-kata (ucapan), tindakan, dan cara berpikirnya karena dilihat dan dibaca tiap waktu di media. Ekspresi budaya yang jelas-jelas mencerminkan sifat dasar ideologi kaum kapitalis: individualisme dan liberalisme.
Sebagai mana kaum intelektual yang harus dilihat sebagai fraksi kelas dominan yang mendominasi, kalangan artis-selebritis juga menggunakan logika sistem simbolik untuk menghasilkan pembedaan yang memberikan kontribusi pada reproduksi antara fraksi kelas dan kelas-kelas yang ada. Dalam hal ini mereka sama saja dengan kaum borjuis (fraksi yang mendominasi dari kelas yang dominan) yang untuk mempertahankan kondisi material hubungan kelas yang ada di dalam hubungan kelas itu kapital ekonomi mengalami prestise dan nilai tukar yang tinggi jika dirubah menjadi kapital budaya. Oleh karena itu, menurut Featherstone (1989), “mereka akan selalu berupaya untuk meningkatkan otonomi bidang budaya serta menambah langkanya kapital budaya dengan cara menolak demokratisasi budaya.” Dari sinilah, banyaknya kekecewaan yang muncul dari para kritikus terhadap budaya posmodern adalah karena terjadinya homogenisasi budaya dan menciutnya kreatifitas masyarakat. Budaya instan, imitatif, permisif, dan karikatif adalah hasil dekaden dari masyarakat industri pasar bebas (posmodern).
Semakin hari, seiring dominanya politik-ekonomi pasar bebas, anggota kelas menengah baru yang berfungsi sebagai perantara budaya (cultural transmitter) meningkat jumlahnya dengan pandangannya yang baru tentang dunia. Tak heran bila wilayah kelas ini di Indonesia diisi dengan berbagai macam rekrutmen menuju kelas menengah yang terwujud dalam acara-acara seperti AFI, Indonesian Idol, Indonesian Model, KDI, API, dan lain-lain yang bermakna untuk memberi kesempatan bagi kelas lebih bawah menjadi kelas menengah baru yang nantinya lebih punya kesempatan (dari karier-nya) untuk mengekspresikan gaya hidup. Secara khas mereka menanamkan kapital budaya dan pendidikan. Anggota kelas menengah baru terpisah dari anggota kelas menengah lama serta kelas-kelas pekerja dalam ketertarikannya terhadap sikap aristokratik yang paling naif (gaya, kehormatan, budi pekerti yang halus) untuk mengejar gaya hidup ekspresif dan bebas.
Terakhir, bahasa dan gaya hidup dalam masyarakat kapitalis yang berpilar pada paham individualisme dan liberalisme melahirkan narsisisme baru. Narsisisme baru di mana individu-individu mencoba untuk memaksimalkan dan mengalami berbagai sensasi yang ada, pencarian akan ekspresi dan ekspresi-diri, kekaguman dengan identitas, penampilan dan penampakan menjadikan anggota kelas menengah baru sebagai konsumen ‘alami’.
Karena kuatnya karakter individualis dan liberalistik kalangan artis-selebritis itulah, masuknya mereka dalam dunia politik dikawatirkan akan justru melahirkan kebijakan dan tindakan politik yang narsistik. Dikawatirkan mereka akan membawa watak narsistik dan senang dikagumi itu dalam wilayah politik di mana masyarakat banyak harus dijadikan pijakan dalam membuat kebijakan.
Tetapi sebenarnya itu tergantung pada masing-masing individu, tidak bisa kita menyamakan antara satu artis dengan yang lain. Masalahnya tak sedikit artis yang melibatkan diri dalam gerakan masyarakat (massa) yang menuntut keadilan dan tak hanya menghabiskan waktu hari-harinya untuk bersenang-senang (seks bebas, clubbing, pesta narkoba, dll). Dewasa ini banyak artis-selebritis yang mulai peduli terhadap isu-isu kemanusiaan dan memang merekalah yang nampaknya memiliki interest terhadap jabatan politik dengan tujuan untuk membuat kebijakan yang berbeda dengan yang selama ini dijalankan. Misalnya, kita harus mengapresiasi kedatangan Rieke Dyah Pitaloka yang telah dikenal sebagai sosok artis yang kekuatan humanisnya luar biasa: memiliki kapasitas intelektual yang hebat, mau terjun langsung dalam aksi massa menuntut ketidakadilan pemerintah, mau membantu korban Lumpur Lapindo dengan mendirikan perpustakaan untuk anak-anak, penulis puisi realis dan pemain teater, dan memiliki sentimentalitas yang kuat terhadap ketidakadilan. Artis-selebritis seperti Rieke inilah yang diharapkan akan memberikan nuansa baru pada wajah kekuasaan pada saat mereka terjun ke dunia politik.***
1 ”Saipul Incar Wawali Serang, Wanda Ingin Tangeran”, Jawa Pos Jumat 25 April 2008
2 Radhar Panca Dahana, “Jangan Salahkan Artis”, dalam GATRA No. 45, Kamis 21 September 2006.
3”Rieke Dyah Pitaloka: Saya Bukan Boneka Politik”, dalam http://www.okezone. com/index.php?option=com_content&task=view&id=29423&Itemid=50
4 ”Dukungan Artis dan LSM untuk Hapuskan KDRT”, dalam Kompas Jumat 03 September 2004
5 ”Selebritis dan Artis Tolak Kenaikan BBM”, Tempo, Selasa 21 Desember 2004
1 komentar:
Artikel di Blog ini bagus dan berguna bagi para pembaca.Anda bisa lebih mempromosikan artikel anda di Infogue.com dan jadikan artikel anda topik yang terbaik bagi para pembaca di seluruh Indonesia.Telah tersedia plugin/widget.Kirim artikel dan vote yang terintegrasi dengan instalasi mudah dan singkat.Salam Blogger!!!
http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/selebritis_haus_kekuasaan_politik_
Posting Komentar