Sabtu, 26 April 2008

Selebritis dan Politik Pilkada:



Selebritis Haus Kekuasaan Politik?

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Dede Yusuf menjadi wakil Gubernur setelah ia terpilih bersama Ahmad Heryawan. Demikian juga Rano Karno, ia menjadi wakil Bupati Tangerang setelah terpilih bersama pasangannya. Sebelumnya, Mariza Haq juga telah memberanikan diri untuk maju sebagai calon wakil gubernur Banten, meskipun pada akhirnya ia kalah—salah satunya karena tak didukung sepenuhnya oleh partainya (PDIP) karena dianggap orang baru di partai. Konon, Rieke Dyah Pitaloka juga akan maju dalam pemilihan Bupati Garut (Jawa Barat).

Sejumlah artis lain juga siap bertarung untuk memperebutkan posisi pimpinan kepala daerah. Saipul Jamil, penyanyi dangdut yang sama sekali tak memiliki pengalaman di dunia politik, adalah salah satu dari bintang panggung hiburan yang bersiap-siap naik ke panggung politik pemilihan kepala daerah. Mantan suami Dewi Persik itu pada 24 April resmi menerima lamaran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPC Serang, Banten, untuk dijadikan bakal calon walikota Serang dipasangkan dengan Ruhyadi Kirtam Sanjaya. Artis lain yang juga sedang bersiap-siap adalah Wanda Hamidah yang mengaku serius masuk bursa bakal calon wali kota (Wawali) Tangerang, Propinsi Banten. Keseriusan tersebut telah ditunjukkan dengan melakukan sosialisasi ke berbagai jaringan partai dan simpul-simpul masyarakat.1

Ternyata fenomena semacam itu juga nampaknya juga bukanlah hal yang baru. Di negara-negara Barat, tak sedikit para artis-selebritis yang juga menduduki jabatan politik di wilayahnya. Clint Eastwood menjadi wali kota sebuah kota kecil, Camel, dan Arnold Schwarzenegger juga menjabat sebagai Gubernur California. Artis perempuan seperti Barbara Streissand memimpin satu kota kecil di Amerika, bukan lewat pemilu, karena ia "membeli" kota mini tadi dengan kekayaan dan pesonanya yang didapatkan dari show-biz perfilman.2

Tak mengherankan trend Barat juga menular pada artis-selebritis tanah air. Sederet nama beken seperti Nurul Arifin, Ray Sahetapy, Rieke Diah Pitaloka, Qomar, Angelina Sondakh, hingga Adjie Massaid adalah sebagian di antaranya. Artis 1980-an Marissa Haque pun tak puas hanya menjadi anggota legislatif. Ia pun mencalonkan diri sebagai calon Wakil Gubernur Banten. Sayangnya gagal. Artis gaek yang masih sering main sinetron dengan peran sebagai bapak rumah tangga semacam Anwar Fuady juga pernah mendaftarkan diri sebagai capres dalam konvensi Golkar.

Apakah mereka memang punya kapabilitas memimpin atau mengelola kekuasaan yang tentu saja harus diabdikan pada rakyat? Seingat saya, Dede Yusuf adalah artis-selebritis pertama di Indonesia yang menjadi pemimpin propinsi (sebagai wakil gubernur). Rano Karno juga yang pertama sebagai wakil gubernur? Apa yang akan mereka lakukan dan bagaimanakag gaya kepemimpinan mereka? Banyak yang menunggu hasilnya!

Artis-selebritis di Barat seperti Ronald Reagan juga bisa menjadi presiden AS. Ke depan, tidak menutup kemungkinan artis Indonesian juga bisa meraih posisi RI-1 semacam itu.
Tetapi pertanyaannya adalah: Apakah masuknya para artis-selebritis dalam ranah politik akan mampu memberikan pengaruh pada perubahan menuju tatanan politik yang berpihak pada rakyat miskin? Atau, jangan-jangan, hanya sekedar menyemarakkan dunia politik dan hanya sebatas dimanfaatkan oleh partai-partai politik untuk menarik simpati massa dan memperoleh dukungan—atau ujung-ujungnya menjaring suara?

Sekarang memang bukan lagi jaman Orde Baru di mana para artis hanya berperan saat kampanye Golkar, tampil di panggung agar massa berkumpul. Hingga sekarang peran semacam itu juga masih ada, tetapi nampaknya telah ada peran yang lebih serius. Para artis sudah ada yang duduk di kursi DPR. Mereka antara lain Marissa Haque (PDIP), Angelina Sondakh, Adjie Massaid dan pelawak Qomar (ketiganya dari Partai Demokrat), dan Dede Yusuf (PAN), juga artis kawakan Dedi Soetomo wakil dari PDIP. Bersama 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD periode 2004-2009 lainnya mereka telah membawa tanggungjawab rakyat yang di wakilinya dari gedung gedung MPR/DPR Senayan Jakarta.

Selain itu mereka menjadi kepala daerah, dan serius dalam aktivitasnya dalam politik. Artinya, mereka punya alasan yang maju. Rieke Dyah Pitaloka, misalnya, mengaku bahwa keterlibatan politiknya didasari oleh kemauannya untuk menrubah keadaan yang ada: “Awalnya, saya gregetan dengan hukum Indonesia yang berjalan tidak sesuai koridor. Saya juga sedih karena ada stigma bahwa di dunia politik artis cuma digunakan sebagai pajangan, hanya disuruh nyanyi, menghibur, jadi MC-nya saja. Tanpa ditanya apa punya gagasan atau diajak rapat. Saya miris melihatnya... Saya nggak buta-buta banget soal politik... Saya bukan boneka politik. Saya nggak mau kalau nanti duduk di parlemen, bukan kegiatan politik saya yang diliput, tapi hanya putus sambung dan kisah asmara saja yang dibesar-besarkan," tegasnya.3

Rieke memang telah dikenal sebagai artis yang paling punya komitmen dalam memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sata sering bertemu artis asal Garut ini dalam setiap diskusi soal nasib rakyat, dan dia juga dihormati oleh kalangan gerakan karena keterlibatannya pada perjuangan demokrasi, terutama isu-isu HAM dan perempuan. Pada tahun 2004, bersama dengan para selebritis lainnya seperti Nurul Arifin, Kiki Widyasari, Rieke Dyah Pitaloka, dan Wanda Hamidah, bersama presenter televisi Rosiana Silalahi membentuk Komunitas Artis Peduli Sosial dan Politik pada 2 September 2004. Hadir pula aktivis AIDS, Baby Jim Aditya, Angelina Sondakh, Yessy Gusman, Ria Irawan, dan artis yang mengaku korban KDRT, Novia Ardhana.

Bersatunya para selebritis perempuan itu terkait dengan Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang alot di tingkat panitia kerja di DPR pada waktu itu. Menurut mereka, perkembangan pembahasan substansi RUU tersebut telah melenceng dari naskah awal yang diusulkan DPR sendiri. Salah satu yang menjadi perhatian utama para artis adalah penghapusan poin mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga berupa pemaksaan hubungan seksual.

Rieke Dyah Pitaloka menyayangkan pemahaman dari para anggota dewan di panitia khusus yang masih saja menganggap KDRT hanyalah sekadar perselisihan biasa. "Kekerasan di mana pun tetaplah kekerasan, kejahatan yang sudah masuk ke wilayah pidana," katanya. Ia juga menyesalkan argumentasi dalam agama digunakan sepihak untuk menjustifikasi superioritas laki-laki atas perempuan. "Bukankah agama mana pun mengajarkan laki-laki untuk bersikap baik kepada perempuan. Bagaimana jika KDRT menimpa ibu, anak perempuan, atau adik perempuan mereka, misalnya," ujar Rieke.4

Rieke Diah Pitaloka juga mempelopori sejumlah artis seperti Wanda Hamidah, Franky Sahilatua, dan Gugun Gondrong untuk turun ke jalan dan ikut menyatakan sikap penolakan terhadap kenaikan BBM. "Kami ingin turut serta bersimpati dengan penderitaan masyarakat sebagai bentuk terima kasih kami... Target kami mungkin tidak langsung bisa menurunkan BBM tapi dengan himbauan ini kemudian masyarakat terbuka melakukan penolakan, saya rasa itu sudah sebuah keberhasilan”, kata Rieke.5

Rieke telah mewakili ikon baru sekebritis yang terlibat dalam politik yang berbasis pada gerakan demokrasi dan pejuang kerakyatan. Sementara artis lain masih merayakan indivudualitasnya dengan acuh pada realitas sosial-politik yang memiskinkan rakyat, Rieke mendobrak keumuman artis Indonesia yang selalu menempatkan diri sebagai kalangan yang bangga akan kemewahan. Dengan demikian, ada titik terang bagi masa depan selebritis kita.

(Haus) Kekuasaan atau Humanisasi?
Menurut saya pertanyaan tentang keterlibatan artis-selebritis ke dunia politik sudah selesai ketika kita memahami bahwa dunia selebritis selama ini adalah wilayah kekuasaan. Kekuasaan
mereka selama ini memang bukan pada wilayah politik per definisi. Karena relasi kekuasaan dalam masyarakat kapitalis lanjut sekarang ini memang tak lagi berada pada wilayah politik itu, tetapi pada kemampuan semua sumber daya untuk mengakumulasi citra agar kekuasaan dapat direngkuh.

Dalam masyarakat kapitalis, politik tetap jadi wilayah penyangga berlangsungnya hubungan ekonomi kapitalisme. Tetapi jantung utama kapitalisme tetap berada pada hubungan kelas antara pemilik modal dan buruh yang terlibat dalam pembuatan produksi barang-barang dan reproduksi makna agar barang-barang itu laris dan pemilik modal mencapai keuntungan. Dalam hal ini kaum selebritis diorganisir sistem kapitalis untuk memandu budaya masyarakat agar konsumtif dan, di sisi lain, juga menghibur masyarakat agar lupa pada penderitaan akibat eksploitasi yang ada dalam hubungan ekonomi kapitalis. Selebritis sendiri identik dengan kelas kapitalis, kelas kaya dan berkemewahan.

Memang tidak semua kalangan artis-selebritis berasal dari kelas kapitalis, yaitu anak-anak pengusaha besar atau pemilik modal. Tetapi, meskipun mereka berasal dari kalangan kelas menengah ke atas atau bahkan ada—meskipun sedikit—yang berasal dari kalangan bawah (yang beruntung seperti Inul Daratista, dll), tetap saja ekspresi budaya dan cara berpikir mereka sangat lekat dengan kaum kapitalis. Bahkan kalau kelas kapitalis hampir tak teridentifikasi cara pandang dan ekspresi budayanya, kaum seniman selebritis begitu jelas kata-kata (ucapan), tindakan, dan cara berpikirnya karena dilihat dan dibaca tiap waktu di media. Ekspresi budaya yang jelas-jelas mencerminkan sifat dasar ideologi kaum kapitalis: individualisme dan liberalisme.

Sebagai mana kaum intelektual yang harus dilihat sebagai fraksi kelas dominan yang mendominasi, kalangan artis-selebritis juga menggunakan logika sistem simbolik untuk menghasilkan pembedaan yang memberikan kontribusi pada reproduksi antara fraksi kelas dan kelas-kelas yang ada. Dalam hal ini mereka sama saja dengan kaum borjuis (fraksi yang mendominasi dari kelas yang dominan) yang untuk mempertahankan kondisi material hubungan kelas yang ada di dalam hubungan kelas itu kapital ekonomi mengalami prestise dan nilai tukar yang tinggi jika dirubah menjadi kapital budaya. Oleh karena itu, menurut Featherstone (1989), “mereka akan selalu berupaya untuk meningkatkan otonomi bidang budaya serta menambah langkanya kapital budaya dengan cara menolak demokratisasi budaya.” Dari sinilah, banyaknya kekecewaan yang muncul dari para kritikus terhadap budaya posmodern adalah karena terjadinya homogenisasi budaya dan menciutnya kreatifitas masyarakat. Budaya instan, imitatif, permisif, dan karikatif adalah hasil dekaden dari masyarakat industri pasar bebas (posmodern).

Semakin hari, seiring dominanya politik-ekonomi pasar bebas, anggota kelas menengah baru yang berfungsi sebagai perantara budaya (cultural transmitter) meningkat jumlahnya dengan pandangannya yang baru tentang dunia. Tak heran bila wilayah kelas ini di Indonesia diisi dengan berbagai macam rekrutmen menuju kelas menengah yang terwujud dalam acara-acara seperti AFI, Indonesian Idol, Indonesian Model, KDI, API, dan lain-lain yang bermakna untuk memberi kesempatan bagi kelas lebih bawah menjadi kelas menengah baru yang nantinya lebih punya kesempatan (dari karier-nya) untuk mengekspresikan gaya hidup. Secara khas mereka menanamkan kapital budaya dan pendidikan. Anggota kelas menengah baru terpisah dari anggota kelas menengah lama serta kelas-kelas pekerja dalam ketertarikannya terhadap sikap aristokratik yang paling naif (gaya, kehormatan, budi pekerti yang halus) untuk mengejar gaya hidup ekspresif dan bebas.

Terakhir, bahasa dan gaya hidup dalam masyarakat kapitalis yang berpilar pada paham individualisme dan liberalisme melahirkan narsisisme baru. Narsisisme baru di mana individu-individu mencoba untuk memaksimalkan dan mengalami berbagai sensasi yang ada, pencarian akan ekspresi dan ekspresi-diri, kekaguman dengan identitas, penampilan dan penampakan menjadikan anggota kelas menengah baru sebagai konsumen ‘alami’.

Karena kuatnya karakter individualis dan liberalistik kalangan artis-selebritis itulah, masuknya mereka dalam dunia politik dikawatirkan akan justru melahirkan kebijakan dan tindakan politik yang narsistik. Dikawatirkan mereka akan membawa watak narsistik dan senang dikagumi itu dalam wilayah politik di mana masyarakat banyak harus dijadikan pijakan dalam membuat kebijakan.

Tetapi sebenarnya itu tergantung pada masing-masing individu, tidak bisa kita menyamakan antara satu artis dengan yang lain. Masalahnya tak sedikit artis yang melibatkan diri dalam gerakan masyarakat (massa) yang menuntut keadilan dan tak hanya menghabiskan waktu hari-harinya untuk bersenang-senang (seks bebas, clubbing, pesta narkoba, dll). Dewasa ini banyak artis-selebritis yang mulai peduli terhadap isu-isu kemanusiaan dan memang merekalah yang nampaknya memiliki interest terhadap jabatan politik dengan tujuan untuk membuat kebijakan yang berbeda dengan yang selama ini dijalankan. Misalnya, kita harus mengapresiasi kedatangan Rieke Dyah Pitaloka yang telah dikenal sebagai sosok artis yang kekuatan humanisnya luar biasa: memiliki kapasitas intelektual yang hebat, mau terjun langsung dalam aksi massa menuntut ketidakadilan pemerintah, mau membantu korban Lumpur Lapindo dengan mendirikan perpustakaan untuk anak-anak, penulis puisi realis dan pemain teater, dan memiliki sentimentalitas yang kuat terhadap ketidakadilan. Artis-selebritis seperti Rieke inilah yang diharapkan akan memberikan nuansa baru pada wajah kekuasaan pada saat mereka terjun ke dunia politik.***
Catatan Kaki:
1 ”Saipul Incar Wawali Serang, Wanda Ingin Tangeran”, Jawa Pos Jumat 25 April 2008
2 Radhar Panca Dahana, “Jangan Salahkan Artis”, dalam GATRA No. 45, Kamis 21 September 2006.
3”Rieke Dyah Pitaloka: Saya Bukan Boneka Politik”, dalam http://www.okezone. com/index.php?option=com_content&task=view&id=29423&Itemid=50
4 ”Dukungan Artis dan LSM untuk Hapuskan KDRT”, dalam Kompas Jumat 03 September 2004
5 ”Selebritis dan Artis Tolak Kenaikan BBM”, Tempo, Selasa 21 Desember 2004

Selasa, 22 April 2008

Dimuat di Jawa Pos, Selasa 15 April 2008:

Menghindari Partisipasi Politik Semu di Pilgub Jatim

Oleh: Nurani Soyomukti*)

http://jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=336239

Kata kunci demokrasi adalah keterlibatan dan kesadaran. Jika rakyat banyak yang terlibat dalam proses politik, semakin semaraklah dunia politik. Tetapi banyaknya orang yang terlibat dalam momentum politik belum mampu menjelaskan kualitas demokrasi bila kesadarannya tidak dinilai. Demokrasi yang maju terjadi jika dalam keterlibatannya rakyat memiliki kesadaran untuk mengubah kondisi yang medatangkan masalah bagi mereka. Rakyat terlibat dengan cita-cita dan pikiran untuk menciptakan capaian politik yang baik dan bukan semata-mata terlibat tetapi tidak memiliki penjelasan kenapa mereka terlibat.

Dalam kasus pemilihan gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) sebagai mementum politik, kita dapat mengukur sejauh mana tingkat partisipasi politik terjadi. Pertama-tama maksimalisasi partisipasi politik terhalang oleh apatisme masyarakat terhadap proses politik itu sendiri. Apatisme bukan muncul begitu saja, tetapi disebabkan oleh berbagai kejadian konkrit yang dialami oleh masyarakat dalam hari-harinya pada saat berbagai macam proses politik yang telah ada sebelumnya tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi nasib rakyat.

Apatisme tersebut pada akhirnya membuat para aktor yang berkepentingan dalam kompetisi merebut kursi kekuasaan harus mengupayakan agar rakyat banyak yang terlibat dalam proses politik akan menghasilkan pemimpin. Para elit dan tokoh yang ingin berkuasa mereka akan butuh rakyat untuk mendukung ‘proyek politik’-nya, atau lebih tepatnya untuk mencoblos.
Tapi ketidakpercayaan rakyat yang menderita dan tanpa pertanggungjawaban para elit nampaknya akan menjadi kalangan yang paling apatis terhadap proses politik. Kalangan masyarakat seperti korban Lumpur Lapindo adalah mereka yang paling merasakan pengkhianatan dari elit politik. Mereka yang hidup terlunta-lunta dan sengsara akibat kebijakan dan tindakan politik penguasa adalah mereka yang nampaknya sudah tak lagi percaya pada proses politik. Bahkan keacuhan terhadap politik seperti proses pemilihan nampaknya begitu menggejala di semua kalangan masyarakat bawah.

Pada akhirnya, elit juga menyadari bahwa rakyat juga kian malas untuk berpolitik karena politik dianggap tak ada kaitan dengan nasibnya. Apatisme dan keacuhan rakyat terhadap moment-moment politik tersebut tentunya akan merepotkan para elit yang menginginkan basa-basi ritualitas politik tiap lima tahun sekali—entah pemilihan umum tingkat nasional (pemilu) ataupun tingkat daerah (pilkadal). Kalau banyak rakyat tak memilih, tak akan ada legitimasi bagi proses pemilihan, artinya tak ada legitimasi bagi proses berebut kekuasaan.

Ibaratnya rakyat sudah bosan dengan politik, mereka akan terus dilibatkan dengan berbagai cara dan upaya, agar rakyat berpartisipasi. Dan makna partisipasi, sayangnya, hanya berupa nyoblos ataupun berkerumun ketika ada kampanye dengan suguhan hiburan musik pop dan dangdut. Partisipasi politik di masa kampanye yang terjadi hanya karena ingin mendapatkan hiburan di depan panggung di mana artis terkenal didatangkan. Partisipasi hanya dengan mencoblos gambar partai atau calon presiden atau kepala daerah.

Kondisi itulah yang menyebabkan terjadinya politik biaya tinggi (high-cost politics): yaitu, ketika massa rakyat semakin apatis dan malas berpolitik, maka pada saat itulah para elit yang sedang berebut jabatan/kekuasaan harus mengeluarkan banyak biaya agar mereka mau ikut dalam proyek politik orang-orang elit. Jadi, biaya banyak dikeluarkan untuk membiayai mobilisasi dan partisipasi.

Partisipasi politik dirangsang dengan berbagai cara, yang paling efektif adalah dengan memberi imbalan agar mereka terlibat. Hal ini berlaku bukan hanya dalam kasus membayar massa Rp 10 ribu atau 20 ribu agar mau menghadiri calon A atau B, tetapi juga terjadi dalam menyiapkan struktur organisasi atau penggalangan massa dalam upaya meraih suara.

Semakin mendekati waktu pencoblosan, nampaknya budaya politik pragmatis semakin menggejala. Pembuatan baliho, stiker, dan kaos bergambar calon semakin diperbanyak. Itu adalah contoh kecil dari aktivitas yang banyak mengeluarkan uang. Semakin banyak biaya yang dikeluarkan, semakin banyak pula atribut dan alat peraga yang disebarkan. Belum lagi biaya untuk membuat kegiatan untuk mengumpulkan massa, bahkan biaya yang diberikan untuk memberikan kompensasi bagi simpul-simpul massa yang dapat menjadi mesin pendulang suara. Semakin uang yang dikeluarkan untuk membeli kaos, bendera, banner dan atribut-atribut, maka wajah calonnya akan terpampang di banyak tempat. Dalam situasi kesadaran politik Indonesia yang kosong, yang nampak banyaklah yang biasanya akan diikuti karena politik rakyat miskin yang (di)bodoh(i) adalah politik ”manut grubyuk”.

Dalam situasi semacam itu tentunya kita dapat menilai bagaimana proses demokrasi yang sedang berjalan. Demokrasi yang ada masih belum mampu menunjukkan kualitasnya yang maju karena partisipasi rakyat masih minimal dan kalau adapun masih bersifat semu. Kesadaran politik berada dalam tingkat yang rendah. Pada saat yang sama, uang masih menjadi alat politik yang nampaknya masih dijadikan andalan bagi tiap-tiap calon. Visi, misi, dan program maupun kredibilitas tidak menjadi ukuran yang penting. Ini masih akan membahayakan wajah demokrasi kita ke depan!***

Jumat, 11 April 2008

Politik Tibet:

”Tibet, Bukan Tebet!”
Oleh: Nurani Soyomukti*)

Saya pernah lama tinggal di Tebet (Jakarta Selatan). Dan akhir-akhir ini saya sering berbisik-bisik mendesis sambil berucap: ”Tebet! Tibet! Tebet! Tibet! Tebet! Tibet! Tebet!”
Kata ”Tibet” memang tak begitu asing bagi saya, apalagi saya pernah kuliah selama 6,5 tahun di jurusan Hubungan Internasional. Waktu kuliah, dulu saya tak begitu tertarik pada kajian Asia Tengah atau Asia Selatan—seingat saya, saya tak menempuhnya. Entah dari mana kata ”Tibet” saya dengar, mungkin saat saya menemp
uh mata kuliah Politik Pemerintahan Cina.
Atau entahlah.

Dan saat kita menyebut Tibet, yang kita ingat adalah Dalai Lama. Kini, ketika kita membaca koran tiap pagi, yang ada adalah pergolakan: Ancaman para biksu, juga pihak Amerika Serikat (AS) yang mengancam memboikot Olimpiade Beijing pada bulan Agustus depan.

Pada saat ditanya tentang Tibet, mungkin saya hanya bisa membayangkan Gunung Himalaya karena tepat di punggungnya negeri Tibet itu berada. Saya membayangkan salju, sebagaimana pernah saya tonton dalam film ”Vertical Limit” yang mengisahkan suka duka para climber, mengisahkan cinta di masa lalu yang ternyata kenangannya tertinggal di bawah gundukan salju yang memendam mayat seorang perempuan yang dicintai oleh climber ternama. Benar-benar meyakinkan pada saya bahwa hasrat akan Cinta sama besarnya dengan hasrat akan keindahan alam yang membuat kita ingin menikmatinya.

Dan ketika saya dikejar deadline oleh penerbit buku untuk menyelesaikan sebuah naskah buku yang akan segera diterbitkan dalam waktu seminggu, maka yang saya lakukan adalah bukan pergi ke Himalaya (terlalu jauh tempat itu dan alangkah mustahilnya bagi saya untuk dapat menjangkau kesana, alasan biaya dan tenaga, waktu juga). Maka saya tinggalkan aktivitas pokok saya belakangan ini yang berbasis di Kota Pahlawan (Surabaya). Dan sore itu, saya segera mengkontak seorang kawan mahasiswa di Jember agar saya besok paginya (setelah sampai di kota tempat saya kuliah itu) saya bisa memanfaatkan kartu perpustakaannya untuk meminjam beberapa buku yang akan membimbing saya mempelajari Tibet dalam waktu tepat.

Ternyata saya malah tak mendapatkan buku itu sama sekali. Pada hal kawan saya itu juga sudah capek-capek mengantarkan saya dan menemani saya di perpustakaan.

Yang dapat saya peroleh hanyalah Encyclopedia Britanica yang mengulas secara panjang sejarah Tibet. Dan beberapa berita atau ulasan di Koran TEMPO. Hanya itu saja. Lumayan sih! Cuman saya tetap belum puas. Bagaimanapun, kalau kita berniat mempelajari segala sesuatu (apalagi yang baru), sebanyak mungkin data dan informasi yang kita peroleh akan semakin baik.

Ada kawan saya yang mengatakan bahwa ada film yang mengisahkan Tibet dan Dalai Lama, yang bahkan dibintangi oleh Brad Pitt, tapi ia lupa judulnya. Tapi sampai sekarang saya belum mencoba memburu film itu, kayaknya juga film yang tak lama-lama amat.
Ya, akhirnya saya lebih banyak mengeksplorasi data-data Tibet dari internet.

Esai di bawah kolum ini adalah catatan kecil saya soal Tibet dan pergolakan politik yang akhir-akhir ini muncul di pentas dunia. Saya pajang di blog ini, mudah-mudahan berguna untuk sekedar berbagi informasi soal Tibet. Maksud saya agar informasi ini mampu mengimbangi berita-berita koran tentang Tibet dan Dalai Lama yang sepotong-sepotong dan bahkan menutup-nutupi apa yang sebenarnya terjadi, atau apa di balik isu Tibet itu. Catatan-catatan tersebut penting untuk saya ungkapkan biar ada sisi lain dari apa yang sedang terjadi.
Versi lengkap dari catatan ini tentunya adalah naskah buku yang, insyaallah, akan segera terbit! Terimakasih....

Politik Tibet:

Di Balik Jubah Kuning Dalai Lama:
Kepentingan Cina dan Amerika Serikat (AS)

Oleh: Nurani Soyomukti*)


Catatan I: Dalai Lama

“Dalai Lama is suffering to Tibet but blessing to the world. Ia penderitaan bagi negeri Tibet namun berkah besar bagi dunia”.
(Gede Prama)


Keterlibatan para biksu Tibet dalam melakukan tuntutan pada Cina memunculkan perdebatan tersendiri dalam kaitannya dengan hubungan agama dan politik. Keterlibatan para biksu dalam gerakan protes mengenai urusan politik nampaknya menjadi fenomena yang nyata akhir-akhir ini. Sebelumnya, beberapa bulan yang lalu (dan nampaknya masih berlangsung hingga kini), para biksu di Myanmar melakukan gerakan demonstrasi terhadap pemrerintahan junta militer yang berkuasa sejak berpuluh-puluh tahun.

Ini merupakan gejala baru dalam politik global di mana para biksu atau agamawan Buddha mau bersikap dalam masalah politik. Masalahnya Buddha banyak dianggap agama yang hanya fatalis (pasifis), kalau ada sikap politik biasanya akan dilakukan dengan cara “menasehati” dan bukan dalam gerakan radikal.

Tokoh utama dalam sejarah agama Buddha, Buddha Gautama, adalah biarawan Buddhis pertama yang dikenal dengan ajaran anti-gerakan massa dan sikap asketiknya. Pada mulanya Buddha Gautama adalah pewaris tahta kerajaan Kapilawastu. Guna menemukan kebenaran dan mencari kebebasan sejati, dia melepaskan keluarga dan kerajaannya guna menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa. Setelah melepaskan keduniawian, Gautama berkonsentrasi dalam pengejaran tujuan mulia-Nya. Walaupun Raja Bimbisara membujuk-Nya untuk kembali ke kehidupan berumah tangga dengan menawarkan separuh dari kerajaannya, Beliau dengan tegas menolaknya.

Setelah mencapai Kebuddhaan, ia menempuh perjalanan ke banyak tempat di India untuk membabarkan Dhamma. Selama proses pembabaran Dhamma, ia terlibat dalam berbagai peristiwa yang berkenaan dengan politik. Ia menyelesaikan perselisihan serta memberikan pendidikan nilai-nilai spiritual para raja dan para menteri. Ia tidak terlibat dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Beliau juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik.

Karena ketidakmauan Buddha terhadap politik, maka ia dianggap sebagai orang yang “suci”. Sang Buddha menganggap diri-Nya sendiri sebagai seorang “Tathagatha”, dan bukan seorang raja atau politisi. Saat kita membaca ‘paritta’ tentang kebajikan seorang Buddha, kita menyebut sebagai Bhagava (Yang Patut Dimuliakan), Arahat (Yang Maha Suci), Sammasambuddha (Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna), vijja-carana-sampano (Sempurna pengetahuan dan tindak tanduk-Nya), sugato (Sempurna menempuh Sang Jalan ke Nibbana), lokavidu (Pengenal Segenap Alam), anutara purisa dhamma sarathi (Manusia yang tiada taranya), satta deva manusanam (Guru para dewa dan manusia), buddho (Yang Sadar).
Ang Choo Hong, seorang wakil ketua Konferensi Buddhisme Dunia 2002 dan Presiden Perkumpulan Misionari Buddhist Malaysia yang telah terlibat dalam penyebarluasan Dhamma selama lebih dari 30 tahun, mengatakan:

“Jaman sekarang sesekali kita melihat para biarawan bergabung dengan partai-partai politik, ikut serta dalam pemilihan umum ataupun memegang jabatan-jabatan politik. Namun hal ini bukan berarti bahwa perbuatan mereka diperkuat oleh Kitab Suci….Hal itu disebabkan oleh sejarah politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet”…
… Mereka yang mengenakan jubah kuning tetapi mempunyai karakter yang egois. Mereka menginginkan perhatian dari orang lain… Apapun alasannya, seharusnya kita tidak menyalahgunakan nama Buddhisme ataupun memutarbalikkan Ajaran Sang Buddha untuk membenarkan keterlibatan mereka dalam politik”.1)

Catatan II: Keterlibatan CIA
Sejak awal, keberadaan Tibet di bawah kekuasaan Cina tidak lepas dari percaturan politik global. Dalam hal ini, Tibet adalah asset yang dapat dimainkan dalam konteks politik internasional: pergolakan yang ada di dalamnya pun tak lepas dari sebab dan akibat kepolitikan global.

Sejak berusaha dicaplok Cina, Tibet telah berusaha dicampuri oleh Amerika Serikat (AS). Hal itu adalah wajar karena AS sebagai bapak kapitalisme dunia yang mulai tumbuh waktu itu selalu harus mampu mengimbangi pengaruh Cina sebagai Negara komunis (RRC) yang akan menjadi pesaingnya dalam kepolitikan global. Maka gerakan perlawanan Tibet yang memuncak pada tanggal 10 Maret 1959, sejak komunis berkuasa di wilayah ini sejak tahun 1951, juga tak lepas dari peran AS melalui CIA-nya.

Dokumen CIA berjudul “FOREIGN RELATIONS OF THE UNITED STATES” 1964-1968, Volume XXX, China, DEPARTMENT OF STATE, Washington, DC yang dikeluarkan 9 Januari 1964 menunjukkan secara jelas adanya “The CIA Tibetan Activity consists of political action, propaganda, and paramilitary activity. The purpose of the program at this stage is to keep the political concept of an autonomous Tibet alive within Tibet and among foreign nations, principally India, and to build a capability for resistance against possible political developments inside Communist China.”

Dalam buku yang ditulis Joe Bageant, yang berjudul "The CIA's Secret War in Tibet"2 secara jelas digambarkan bagaimana gerakan perlawanan Tibet yang awalnya kecil disambut oleh AS dengan berbagai bantuan, hingga gerakan itu membesar. Perasaan antipati warga Tibet terhadap RRC mencapai puncaknya pada Februari 1956 ketika Angkatan Udara (AU) RRC membombardir kompleks biara di Chatreng dan Litang yang menewaskan ribuan pendeta dan pengungsi sipil. Sadar lawan lebih kuat, kelompok Chushi gandrig mencoba mencari bantuan. Gyalo Thondup, kakak kandung Dalai Lama, segera menjalin hubungan konsulat AS di India. Sebagaimana kebanyakan warga Tibet lainnya pada waktu itu, dia tidak mengetahui sedikitpun tentang AS. Gayung bersambut. Pihak AS yang sejak lama memang ingin melakukan intervensi terhadap Tibet segera memenuhi permintaan itu.

Saya yakin, pergolakan Tibet akhir-akhir ini tentu juga tak lepas dari kerja/operasi tersembunyi dan terencana AS. Tentu saja kita yang di Indonesia hanya mampu melihat peristiwa tersebut dari berbagai media, terutama media Barat yang kebanyakan menyuarakan perspektif Barat. Tak heran jika perspektif para demonstran mendapatkan perhatian dan porsi yang luar biasa dengan menempatkan mereka sebagai korban dan pemerintahan Cina sebagai pelaku represi—atau tepatnya untuk menunjukkan bahwa pihak Cina anti-demokrasi dan mengandalkan kekerasan (tindakan represif) dalam menyikapi demonstrasi yang bernuansa separatisme.

Pihak Cina sendiri juga menggunakan haknya untuk bersuara. Mereka juga bereaksi terhadap media Barat yang memang banyak memberitakan perlakuan Cina terhadap Tibet, khususnya para demonstran. Seorang pejabat penting pemerintah China dari Tibet mengecam liputan berita Barat tentang kerusuhan itu, menyebutnya tidak punya rasa tanggungjawab.
"Menyakitkan hati bahwa liputan berita yang tidak punya rasa tanggungjawab oleh sejumlah media Barat bahwa tidak menemukan fakta-fakta tentang kerusuhan itu. Sejumlah media Barat dengan sengaja mengubah fakta-fakta dan melaporkan sebagai unjukrasa damai untuk memfitnah usaha-usaha sah kami menjaga stabilitas sosial."3)

Kementerian luar negeri Cina mengkritik Kongres AS yang berat sebelah dan hanya mendasarkan pada informasi yang bias. Cina mempertanyakan mengapa Kongres AS tidak mengecam aksi kriminal demonstran Tibet yang diikuti dengan penjarahan dan berbagai pembakaran terhadap bangunan di Lhasa (ibukota Tibet). Dalai Lama dan para demonstran lah yang seharusnya menuai kecaman. Mengarahkan tudingan kepada pemerintah dan rakyat Cina sama halnya dengan keliru antara hitam dan putih. Cina juga membantah klaim pemerintah Tibet di pengasingan mengenai jumlah korban tewas dalam protes anti-Tibet.
Kantor berita Xinhua mengutip seorang polisi yang mengatakan bahwa daftar 40 orang yang diduga tewas seperti dikatakan oleh pemerintah Tibet di pengasingan ternyata palsu.4
Daftar korban yang ditunjukkan pemerintah Tibet benar-benar palsu dan dimaksudkan untuk menyembunyikan kekerasan yang justru didalangi lingkaran Dalai Lama. Otoritas Cina menyatakan sedikitnya satu orang dalam daftar itu ternyata masih hidup dan identitas 35 orang di daftar itu tidak jelas. Pemerintah Tibet di pengasingan yang berpusat di Dharmala, India, semula mengklaim korban tewas dalam berbagai protes anti-Cina meninggal 150 orang.
Sedangkan versi pemerintah Cina mengatakan bahwa korban meninggal sebanyak 22 orang.5)
Pada Hari Kamis 3 April 2008, Kongres Amerika Serikat (AS) mengajukan resolusi yang menyerukan agar Beijing mengakhiri tindakan keras atas protes di Tibet dan memulai dialog dengan Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet. Resolusi itu juga mendesak agar presiden Bush agar tidak menghadiri upacara pembukaan Olympiade Beijing yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 mendatang.

Cina juga menanggapi reaksi kongres AS yang berlebihan soal tindakan polisi Cina dalam menangani demonstran Tibet. Pada Hari Senin 7 April 2008, Cina menentang resolusi itu. Cina juga mengecam demonstasi di London yang mengganggu pawai obor Olympiade. Pihak Cina mengatakan:

Kami menyarankan Kongres AS menghormati fakta, menyingkirkan pandangan sepihak, dan melihat dengan jelas wajah asli kelompok Dalai Lama… Kongres AS harus berhenti mendesakkan resolusi mengenai Tibet yang melukai perasaan rakyat Cina dan mengganggu hubungan Cina-AS…”6)


Dari kondisi itu kita dapat memahami bahwa masalah Tibet telah melibatkan kepentingan internasional antara Cina dan Amerika Serikat (AS). Dalam hal ini berarti bahwa isu Tibet merupakan isu yang dapat dimainkan oleh AS untuk menyerang Cina. Lebih jauh, ada kemungkinan Tibet memang diperebutkan oleh kedua Negara ini sejak awal kelahiran perlawanan Tibet terhadap pendudukan (aneksasi) Cina sejak setengah abad yang lalu.

Dari sudut pandang pemerintah Cina, berdasarkan statistic ekonominya, ada perkembangan ekonomi yang luar biasa di Tibet sejak pendudukannya di tahun 1949. Statistic resmi menunjukkan bahwa gross domestic product (GDP) Tibet (Tibet Autonomous Region/TAR) tumbuh rata-rata 12,8% tiap tahun antara tahun 1994-1995. Bagi Beijing penguasaan atas Tibet merupakan upaya untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya yang sangat kaya. Dataran tinggi Tibet adalah sumber mineral yang kaya. Misalnya, di daerah Tibet tengah dan Barat saja, para ahli Cina memperkirakan bahwa di sana terdapat kandungan mineral senilai 81,3 juta U$ dollar; dan pemerintah Cina mengalokasikan investasi sebesar 1,2 milyar U$ dollar untuk mengembangkan sumber daya ala mini. Belakangan, pemerintah Cina meningkatkan eksplorasi minyak dan gas alam di Tibet, dan jalur kereta api dibangun untuk menghubungkan Beijing dan Lhasa.7)

Pipa untuk mengalirkan minyak dan gas alam juga sudah dibangun dengan bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan Barat. Hampir semua proyek ini dilakukan dalam kaitannya dengan upaya Cina untuk mencukupi kebutuhan akan sumber daya minyak dan energi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Cina telah menjadi Negara yang pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia. Industri-industrinya membutuhkan bahan bakar yang luar biasa banyak. Dan Tibet, yang menyediakan sumber daya alam itu, dapat dieksploitasi. Tujuannya agar Cina tak lagi menggantungkan kebutuhan minyaknya dengan mengekspornya dari luar negeri mengingat harga minyak dunia kian naik—sekarang lebih dari 110 U$ dollar per barrel.

Naiknya Cina sebagai raksasa baru ekonomi dari kawasan Asia merupakan ancaman terhadap hegemoni AS di wilayah ini. Karenanya masalah Tibet tak lepas dari pengaruh wilayah ini. AS sejak awal berusaha berada di pihak Tibet dan tak henti-hentinya membantu perjuangan rakyat Tibet melepaskan diri dari Cina, mungkin kalau Tibet merdeka AS akan dapat masuk ke wilayah itu untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya.

Analisa yang objektif mengenai Tibet tentunya harus melihat dari berbagai macam kepentingan yang bisa dianalisa dari pernyataan-pernyataan yang harus dikaitkan dengan bukti-bukti yang ada. Tiap-tiap negara, terutama antara Cina dan AS, yang telah melibatkan diri dalam pernyataan dan tindakan mengenai masalah Tibet tentunya memiliki kepentingan masing-masing. Karenanya, buku ini mencoba menggali kebenaran sejarah konflik Tibet dengan melihat berbagai macam kepentingan yang bermain di sana, agar cara pandang kita mengenai masalah Tibet tidak berat sebelah.***


Sabtu, 05 April 2008

Politik Kebudayaan:



Film “Fitna”, Rasisme,
dan Krisis Tafsir Kebudayaan

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Dalam kekeliruan filsafat yang tinggal hanyalah usaha membela diri… mereka hanya tahu melakukan defensi, bertahan dan terus kalah, karena kekalahan filsafat. Semakin filsafatnya, semakin kalah ia di medan perang”.

(Pramoedya Ananta Toer, “Rumah Kaca” (tetralogi Bumi Manusia), hlm. 106-107)


Semburan rasialisme menghentak masyarakat dunia (termasuk Indonesia) saat film “Fitna” dibuat dan dipertontonkan oleh salah seorang anggota parlemen Belanda, Geerts Wilders. Politisi Belanda itu memberikan penafsiran yang sempit terhadap ajaran Islam dan yang berusaha digugah dari menonton film yang dibuatnya adalah perasaan kebencian terhadap Islam. Prasangka rasisme dibuat dan dipoles secara habis-habisan dalam film tersebut.

Bagi orang yang mempelajari secara betul tentang tendensi-tendensi politik di Barat, gema rasisme sebagaimana diwakili Wilder sebenarnya bukan yang pertama maupun satu-satunya. Rasisme atau politik kanan bahkan menjadi ideologi yang berjalan tanpa henti seiring dengan krisis ekonomi yang melanda di negara-negara Barat sejak dipangkasnya jalan Negara Kesejahteraan dan menangnya jalan ideologi neoliberalisme. Gerakan massa rakyat kian bergema di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Perancis. Sedangkan bagi yang ‘keblinger’ dalam memaknai gerak budaya melihat bahwa sumber dari kemiskinan Eropa yang kian meluas adalah para pekerja dari Timur-Tengah (Islam) yang mau dibayar murah.
Rasialisme semacam ini tak jarang muncul di Perancis dan Inggris pada saat hubungan kerja sistem kontrak dan outsorcing diperlakukan dan negara kesejahteraan dipreteli serta tak mau lagi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Di Jerman, romantisme masa lalu (Nazisme) juga beriring dengan kebencian yang mendalam terhadap para pendatang dari Timur Tengah (Islam).

Bahkan sentimen rasialisme Eropa kadang begitu kentara karena dapat terekspresikan dalam politik formal. Dalam pemilu 2002, misalnya, Jean-Marie Le Pen pemimpin partai konservatif radikal (French National Front) mengadopsi program-program rasial dan menggaungkan kebencian terhadap Islam. Pada waktu itu, popularitas Le Pen mencerminkan meningkatnya rasialisme karena dukungan terhadap Le Pen mengungguli kandidat dari Partai Sosialis, yaitu perdana menteri Lionel Jospin.

Sedangkan di Belanda sendiri, partai konservatif Kristen Demokrat bernuansa rasis pimpinan Pim Fortuyn juga memperoleh peringkat kedua dalam pemilu. Pim Fortuyn terkenal dengan ungkapan-ungkapannya yang fasis, mengatakan bahwa Islam adalah peradaban terbelakang dan ia bahkan meminta Belanda menutup pintu bagi imigran Islam.

Rasisme dalam Film Amatiran
Jika dilihat dari kenyataan di atas, maka telah jelas bahwa rasisme di Eropa—atau Barat secara umum—sebenarnya memang masih berkembang, dan cenderung meningkat setelah provokasi peristiwa peledakan gedung WTC pada 11 September 2001 yang disusul dengan slogan “war on teror” oleh presiden Amerika Serikat (AS) George Bush. Perasaan anti-Islam kian menyebar dan tumbuh menjadi prasangka peradaban yang membutuhkan waktu untuk menghilangkannya.

Prasangka rasial kian tumbuh subur pada saat rakyat AS dan Eropa mengalami krisis kapitalisme global yang hingga kini masih belum terselesaikan. Krisis kapitalisme diatasi dengan kebijakan neoliberal yang dijalankan dengan memotong subsidi dan privatisasi perusahaan negara, dan pada saat yang sama AS melakukan ekspansi melalui perang untuk merebut minyak: mulai serangan terhadap Afghanistan tahun 2001 hingga Perang Irak yang hingga saat ini masih belum selesai.

Kebudayaan Barat sekarang ini menyisakan ruang kosong penafsiran budaya yang diisi oleh tafsir rasis karena penjelasan objektif tentang krisis material kapitalisme global masih belum dapat dipahami, terutama di kalangan para budayawan, politisi, dan aktivis Eropa. Sehingga film “Fitna” buatan seorang politisi (bukan budayawan) sebenarnya adalah produk dari tafsir budaya rasistik yang sebenarnya tak layak dilihat sebagai wakil produk budaya Barat (apalagi Eropa, dan bukan AS).

Budayawan sejati di AS, tentunya di kalangan film Hollywood, tentu lebih bebas dari kebodohan rasisme ala Wilder karena mereka adalah pembuat film yang sejatinya. Bahkan film dokumenter “Fahrenheit 911” yang dibuat Michael Moore (budayawan film Hollywood) setelah terjadi peristiwa 11/99 (Black September) merupakan gambaran yang objektif, dan bukan rasialis, seputar peristiwa peledakan WTC, sebab dan akibatnya.

Belakangan, para sineas Hollywood justru menjadi pejuang avant garde dalam melakukan kritik terhadap efek dari imperialisme-kapitalisme AS di berbagai belahan dunia, terutama kritik terhadap dihalalkannya perang dalam memenuhi ambisi ekspansi AS yang merugikan lingkungan, kebudayaan, dan kemanusiaan.

Secara nyata, kontradiksi kapitalisme yang diselesaikan dengan jalan Perang (terutama serangan AS dan sekutunya ke Afghanistan dan Irak) telah membuka mata kalangan budayawan seperti insan perfilman Hollywood. Konon, Hollywood tahun ini kebanjiran film-film anti-Perang, film-film anti-kapitalisme global juga. Di komunitas film terbesar ini memang terjadi kemajuan yang cukup pesat. Bukan hanya kecanggihan teknologi perfilman, tetapi juga ada perubahan paradigma di kalangan insan perfilman di sana. Setelah berbagai macam peristiwa seperti 9/11 dan reaksi pemerintahan Bush yang berlebihan terhadap komunitas dunia (terutama Afghanistan dan Irak), Hollywood telah menjadi kekuatan kritis terhadap Bush dan, dengan demikian, film Hollywood semakin humanis dan tak semata-mata berpihak pada kebijakan luar negeri AS.

Pendapat ini didukung oleh tulisan yang mengejutkan dari Ed Rampell di majalah Socialist Review edisi November 2005 yang berjudul “Is Hollywood Turning to The Left?”. Dalam artikel tersebut Rampell mencatat beberapa film yang diantaranya dibuat sebagai protes terhadap pemanasan global (anti-global warming) seperti film “The Day After Tomorrow”, sebuah film yang mengeluarkan anggaran sangat besar. Juga dicatat film tentang kehidupan Che Guevara, “The Motorcycle Diaries”, sebuah film Indie yang diproduseri oleh Robert Redford. Juga film dokumenter besutan Michael Moore yang berjudul “Fahrenheit 9/11”. Film-film ini hanyalah contoh dari banyak film yang menggambarkan komitmen kemanusiaan insane perfilman Hollywood seperti “Good Night, and Good Luck”, “Lord of War”, “The Constant Gardener”, “My Cousin Vinny”, “North Country”, “Blood Diamond”, dll. Film “Blood Diamond” yang dibintangi Leonardo De Caprio dan “Constant Gardener”, misalnya, menguak kejahatan korporasi dan pejabat terhadap nasib rakyat di dunia Ketiga (dalam kedua film ini sama-sama di Afrika). Sedangkan film “North Country” dengan jelas bernuansa menguak ketertindasan buruh perempuan di pertambangan dan perjuangan yang diulakukan untuk membela nasibnya. Inilah yang disebut Rampell sebagai “radical film”.

Perkembangan kebudayaan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya prasangka rasisme di dunia film Barat relatif meghilang. Film “Fitna” garapan Wilder bukanlah film yang digarap secara serius, tetapi memang secara amatiran dibuat untuk memenuhi dan mengungkapkan nafsu rasis di Belanda (masyarakat Barat) yang memang mau tak mau harus diakui keberadaannya.
Karena tafsir kebudayaan (termasuk keberagamaan) sangat dipengaruhi oleh epos perkembangan ekonomi (kapitalis), tak heran jika rasisme anti-Islam adalah riak kecil yang tak mewakili keseluruhan cara pandang Barat. Tidak Barat tidak Timur, semuanya didera masalah krisis financial dan krisis kesejahteraan. Tetapi jika jawabannya adalah rasisme, maka dipastikan masa depan peradaban akan suram. Tetapi sulit sekali Perang Dunia berikutnya atas nama sentiment rasis pecah, mengingat globalisasi juga telah mampu memberikan kesadaran anti-kapitalisme (bukan anti-Islam, anti-Kristen, anti-Yahudi) yang juga meluas, serta meluasnya kesadaran akan pentingnya pluralitas dan demokrasi di tengah dunia yang semakin terbuka dan tanpa batas.***

Resensi Buku "REVOLUSI SANDINISTA"di Koran SUARA MERDEKA:

Resensi Buku “REVOLUSI SANDINISTA: PERJUANGAN TANPA AKHIR MELAWAN NEOLIBERALISME” di SUARA MERDEKA (Edisi 31 Maret 2008) bias dibaca di website: http://entertainmen.suaramerdeka.com/index.php?id=740

Resensi Buku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS":

Psikoanalisa Jiwa Mahasiswa

Judul: Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas:
Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi House of Book, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2008
Tebal: 184
Peresensi: Slamet Riyanto*)


Masih terpatri di ingatan kita pada kasus “ITENAS 15”, video cabul dua mahasiswa bandung, juga kasus-kasus yang lainnya yang tak jarang tersiar di berbagai media massa. Menjadi mahasiswa pada jaman yang serba pragmatis seperti sekarang memang serba paradoks. Di satu sisi, idealisme yang hakiki mahasiswa harus ditegakkan, yakni bagaimana mendewasakan pikiran agar bisa berperan untuk mengatasi persoalan hidup dengan pola pikir sistematik, kritis, analitis, dan berpihak. Namun di sisi lain, mahasiswa juga harus menghadapi banyak godaan pragmatis yang menggiurkan yang membuatnya hanya menjadi individu yang hanya hirau pada kepentingannya sendiri, salah satu contohnya hanya banyak menghabiskan waktu untuk merayakan liberalisme seks.


Selama ini terlampau sedikit penulis yang mencoba menguak sisi lain dari mahasiswa, misalnya gaya hidup dan kebiasaan sehari-harinya. Dapat dikatakan terlalu sedikit studi yang mencoba melihat keterkaitan gaya hidup mahasiswa, terutama budaya dan pemikiran yang berkembang di kalangan mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian masyarakat yang mengembangkan diri dan juga dipengaruhi oleh kekuatan budaya dari luar mendapatkan kajian yang relatif kecil. Atas dasar itulah, penulis buku ini mencoba memberanikan diri untuk melihat aspek kultural, baik dari segi pemikiran, watak, dan gaya hidup mahasiswa di era sekarang ini dengan maksud menawarkan gambaran lain dari kehidupan mahasiswa.

Buku yang berjudul “Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas (Mahasiswa di Era kapitalisme dan Hedonisme)” buah karya Nurani Soyomukti ini dapat dikatakan sebagai eksperimen yang cukup berhasil menelisik pengaruh kapitalisme terhadap menurunnya peran mahasiswa: dari yang dulu dikenal sebagai kalangan yang hirau terhadap nasib rakyat dan rajin turun ke jalanan dalam meneriakkan tuntutan-tuntutan perjuangan, kini menjadi kalangan yang hanya sibuk mengurusi pemenuhan kebutuhan individualnya masing-masing—mulai seks bebas hingga ‘gila belanja’ (shoppaholic).

Mahasiswa sebagai lapisan kaum muda dikepung dari berbagai penjuru, mulai dari privatisasi pendidikan yang melanda kampus-kampus mereka, materi kurikulum dan pengetahuan yang bekerja semata-mata untuk melayani kepentingan produksi dan pasar, kampus yang berdiri ditengah kepungan mall-mall mewah yang menebar aroma hasrat konsumtivisme, sampai dengan jalur jasa infotainment dan kapitalisme media yang memanifes dalam bentuk MTV, sinetron, kontestasi Idol, serta acara-acara gosip.

Keresahan yang diuraikan oleh penulis tentang ruang-ruang kelas yang sepi dengan dinamika gagasan-gagasan kritis dan menyegarkan, dinamika gerakan sosial rakyat menentang rezime korporatokratis yang sepi dari partisipasi mahasiswa, ditengah ruangan kantin yang penuh hiruk pikuk pembicaraan tentang tangga lagu MTV, trend fashion dan rumpian artis-artis Hollywood adalah gejala yang dominan di kalangan mahasiswa.

Kegetiran tersebut bukan hanya karena mengindikasikan kehidupan mahasiswa yang semakin berjarak dengan realitas ketidakadilan dan pemiskinan masyarakat; namun lebih dari itu realitas ini memperlihatkan bahwa mahasiswa juga kaum muda tidak menyadari bahwa semakin mereka masuk dalam pusaran kultur yang dibangun oleh kapitalisme, maka gaya hidup, fikiran, hasrat dan eksistensi mereka tengah diteror oleh sebuah kultur yang diproduksi oleh formasi kapitalisme neo-liberal.

Hal yang menarik dari buku ini adalah gaya penulisan yang santai dan renyah tetapi penuh sentimentalitas yang sensitif tapi kaya akan pemahaman teoritik. Berbagai pendekatan kritis digunakan baik untuk menyerang mereka yang selama ini mendekati gaya hidup mahasiswa hanya dari segi moralis, seperti dilakukan oleh Iip Wijayanto dalam bukunya ‘Seks in The Kost’—yang menurut Nurani Soyomukti adalah cara pandang terhadap gaya hidup mahasiswa yang terjebak pada pencandraan moral yang sempit dan tidak dialektis dalam melihat persoalan (hlm. 24-25).

Penulis justru membangun pendekatan yang mendalam melalui metode psikoanalisis untuk “menerapi jiwa mahasiswa” (hlm. 69). Dengan cara ini digambarkan bagaimana kapitalisme membentuk secara psikologis kejiwaan mahasiswa dalam realitas sejarah yang kini telah berubah: dari dulu yang kritis dan menjadi kekuatan (aksi massa), hingga kini hanya menjadi bagian yang hanyut dalam kepuasan psikologis individu-individu yang juga dijadikan sasaran kapitalisme untuk menumpulkan pikiran kritis.

Dan bagian akhir dari buku ini juga menawarkan solusi untuk mengatasi bagaimana agar mahasiswa kembali menjadi kekuatan aktif yang kritis dan tak sekedar menuruti doktrin iklan. Dimulai dengan “menerapi diri sendiri”—sebagai bagian dari metode psikoanalisis—sampai dengan menjalankan praktek-praktek yang berguna untuk melatih pikiran kritis, misalnya dengan memulai budaya baca, berdiskusi, dan sesekali terjun ke masyarakat untuk melihat realitas yang paling sejati dari kehidupan masyarakat kita. Penulis yakin bahwa dengan menjumpai kontradiksi yang ada, pikiran dan perasaan akan terasah karena—dengan mengutip Kahlil Gibran ia mengatakan—“Dunia adalah surga dengan hati dan pikiran kita sebagai pintu gerbangnya” (hlm. 176).

Buku yang kritis, sebagaimana metode psikoanalis yang pernah dilontarkan oleh Sigmund Freud yang kemudian direvisi oleh Erich Fromm. Dengan pendekatan multidimensi (psikologis, sosiologis, filsafat), membaca buku ini Anda akan menjumpai pendekatan Marxian, Freudian, Gibranian, Frommian, dan tokoh-tokoh kritis yang banyak disebut untuk melegitimasi pandangan penulis dalam melihat kasus-kasus dan gaya hidup mahasiswa.
Cara ini, unfortunately, juga beresiko pada pemaparan gagasan yang cenderung meloncat-loncat dan kadang juga ada bagian yang diulang-ulang. Mungkin juga karena fakta bahwa karya ini, sebagaimana dikatakan penulis dalam kata pengantarnya, adalah kumpulan renungannya selama menjadi mahasiswa dan aktifis—bisa jadi karena ada keperluan untuk menegaskan hal-hal yang dianggap penting, yang kian menunjukkan bahwa penulis buku ini adalah kaum muda yang sangat sentimental. Meskipun demikian, buku ini adalah karya segar yang mencoba melihat ‘kisah cinta mahasiswa’ dari sisi yang jauh dari moralis dan jarang dikuak oleh para peneliti. [*]

*) Slamet Riyanto, pustakawan Komunitas LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur Yogyakarta.


Media dan Politik:

Pilkada, Televisi, dan Demokrasi

Oleh: Nurani Soyomukti*)


Ketika TV men
ayangkan iklan Rano Karno dan merayu penonton agar memilih pasangannya sebagai bupati dan wakil bupati Tangerang, sesungguhnya itu bukan pertama kalinya seorang mantan selebritis tenar seperti Rano Karno muncul di TV. Jauh-jauh hari Rano Karno sudah dikenal oleh masyarakat Tangerang melalui media, termasuk TV. Meskipun awalnya dikenal sebagai artis (bintang film), terutama dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, serta berbagai tayangan TV lainnya (termasuk iklan), jelas nama Rano Karno sudah lekat dengan masyarakat. Nama-nama kandidat lainnya kemungkinan lebih tidak dikenal.

Dan karena itulah, Rano Karno berhasil menghantarkan pasangannya menjadi orang nomor satu di Tangerang dalam pemilihan kepala daerah. Kasus ini sekaligus menunjukkan bahwa popularitas seseorang yang dibangun melalui media seperti TV cukup efektif dalam membangun citra calon yang akan dapat menghantarnya menjadi orang yang terpilih.
Persoalannya, jika dikaitkan dengan demokrasi, sejauh mana televisi sebagai media iklan bagi calon kepala daerah akan mampu menghasilkan kualitas proses demokrasi. Dari fakta bahwa hanya calon yang memiliki uang saja yang mampu memasang iklan dan memb
angun citra diri (termasuk merayu agar memilih dirinya), dalam hal ini demokrasi sendiri telah didistorsikan oleh kepemilikan uang. Yang berkuasa atas uang dan media adalah mereka yang nantinya akan mendapatkan banyak suara. Artinya, proses demokrasi masih tetap dikangkangi oleh hubungan kekuasaan dan kepemilikan di ranah kekuatan produksi yang berupa modal dan media.

Kondisi itu sebenarnya akan berpengaruh pada hasil dari proses demokrasi. Setelah pemilihan berakhir, biasanya yang tersisa adalah kekalahan bagi rakyat karena biasanya tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi dan politik yang dilakukan oleh pasangan yang menang. Karena sejak awal yang disampaikan ketika mereka tampil dalam iklan TV juga bukanlah visi-misi yang menunjukkan niat dari pelaksanaan kebijakan yang jitu dalam menjawab kebutuhan riil di masyarakat, terutama kebutuhan akan kesejahteraan.

Kekuatan Televisi
TV bukanlah media yang netral atau tanpa kepentingan ekonomi-politik. Sebagaimana pengamat komunikasi mazhab k
ritis (critical communication) di Barat menganggap bahwa TV adalah sebuah kekuatan yang berpihak dan berusaha mengarahkan masyarakat ke dalam gaya hidup tertentu, tentunya tayangan-tayangannya akan mengonstruksi suatu cara berpikir masyarakat. Setelah masyarakat telah terbiasa dengan cara berpikir dan bertindak sebagaimana yang dimaksud oleh kepentingan di balik tayangan TV, maka tujuannya telah tercapai. TV adalah aparat utama untuk mencetak generasi yang kondusif bagi pelanggengan tatanan kapitalis, yang menginginkan keuntungan dengan cara merubah corak budaya masyarakat.

Berkaitan dengan itu, sesungguhnya media seperti TV juga hanya menjadikan masyarakat sebagai pemuja para elit, terutama selebritis, dan bukan memiliki sebuah pemikiran kritis dan tindakan partisipatif agar posisi elit terkontrol sehingga benar-benar mematuhi amanat demokrasi untuk membantu rakyat lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan. Masalahnya industrialisasi media kapitalis menciptakan—apa yang disebut Alex Comfort sebagai—“masyarakat penonton” yang “berjejal-jejal tetapi kesepian, dipandang dari segi teknik sama sekali tidak merasa aman, dikndalikan oleh suatu mekanisme tata tertib yang rumit tetapi tidak bertanggungjawab terhadap individu”.

Tak heran jika sejak awal sosiolog ternama seperti C. Wright Mills mengajukan pandangan yang pesimistik terhadap fungsi media. Dalam bukunya “The Power Elite” (1956), Mills mengutuk fungsi media yang lebih berfungsi sebagai instrument yang memfasilitasi—apa yang ia sebut sebagai—“kebutahurufan psikologis”. Mills juga memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu” (pseudo-world), yang menyajikan realitas ksternal dan pengalaman internal serta penghancuran privasi dengan cara menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang masuk akal dan tidak terburu-buru serta manusiawi”.

Ketika tampil di TV dalam bentuk iklan untuk mencoblos, calon kepala daerah memang telah berhasil memasuki dunia pencitraan. Yang namanya pencitraan tentu saja adalah dunia yang tidak sesuai dengan realitas sejatinya, tetapi hanya representasi dan citra (image). Dan ketika dunia imagologis dominant, maka masyarakat akan lupa pada aspek yang paling riil dari hidupnya, misalnya bagaimana mereka dapat mencukupi kebutuhan akan makan, sekolah anak, harga-harga yang terjangkau, dan masa depan yang aman dari pemenuhan kebutuhan ekonomis mereka.

Ketika saat ini pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) akan dilakukan di beberapa daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di masyarakat juga terjadi keresahan yang luar biasa akibat naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan berbagai macam kejadian yang menjelaskan bahwa krisis kesejahteraan itu masih sedang dan akan terjadi hingga waktu yang belum jelas.

Tetapi dunia TV telah menciptakan masyarakat imagologis yang akut akibat serangan dari waktu ke waktu media ini pada kesadaran masyarakat. Sehingga apa yang muncul di TV, dunia imagologis itu, seakan adalah yang legitimate dan justru dirasa paling ‘nyambung’ dengan kebutuhan (psikologis) mereka. Karenanya, kehadiran calon kepala daerah melalui (iklan yang dibuat di) TV punya peran dalam memperkuat legitimasi mereka. Tampil di TV akan menambah kekuatan seperti kewibawaan, kecerdasan, modern, dan menjelaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Masalahnya dalam kehidupan yang penuh eksploitasi di era posmodernis yang bertumpu pada perkembangan media informasi dan komunikasi sekarang ini, dunia manusia dan kebutuhannya didefinisikan dan didesain kembali menjadi dunia semu (hyperreality) di mana sandaran eksistensial manusia tak lagi ditemukan pada realitas sejati yang kuantitatif, tetapi pada dunia citra yang dibentuk oleh media (t
erutama TV).

Kondisi itu merupakan semacam manipulasi ideologis, terbalik dan goncangnya dunia kenyataan menjadi kepalsuan, sebagaimana masyarakat feudal menyebarkan dongeng-dongeng agar massa rakyat percaya pada kaum elit bangsawan dan raja-raja, lalu rakyat mau membayar upeti dan mempersembahkan semua hasil kerjanya pada kalangan raja. Dan raja di era (pos)industrialisasi adalah media. Maka kalau ingin menguasai medan pertempuran politik harus menguasai atau memanfaatkan media. Artinya, proses terjadinya manipulasi ideologis dan kesadaran itu masih terjadi ketika dunia citra (dunia kepalsuan pengetahuan objektif) mengalahkan dunia nyata. Hal inilah yang membuat para pengamat semakin menyadari bahwa tingkat kemajuan media informasi dan komunikasi dengan tingkat demokrasi ternyata tidak berbanding lurus.

Demokrasi berjalan dan mencapai arah kematangan jika kesadaran masyarakat tercipta. Tetapi, semakin berperannya media dalam kehidupan, seharusnya hubungan masyarakat juga maju, adil, makmur, dan dapat meninggalkan pola-pola penindasan, eksploitasi, dan penipuan serta kepalsuan kebenaran yang telah mengungkung masyarakat lama dengan kebodohan.***

Surabaya, 03'08