Kamis, 27 Maret 2008

Budaya:

Ayat-Ayat Cinta Biasa (AACB)!

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Hmmm…, akhirnya saya (terpaksa) harus terlibat untuk mengapresiasi film “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) yang baru saya tonton setelah seorang kawan saya men-download-nya dari internet. Sebenarnya awalnya saya sudah merasa malas untuk menonton film ini sejak awal, bahkan ketika seorang kawan di Surabaya mengajak saya menontonnya di sebuah bioskop, waktu itu saya menolak dengan alasan bahwa saya sibuk—dan memang saya benar-benar sibuk pada waktu itu (sebenarnya hingga saat ini).


Tapi ketika saya terpaksa meminta bantuan Dedi—seorang kawan mahasiswa sosiologi Universitas Jember (angkatan 2004)—untuk menghilangkan berlaksa virus yang menjangkiti notebook saya: saya harus menunggunya dengan menonton AAC di PC-nya pada saat Dedi asyik mengotak-atik note book saya itu. Maka, sebagaimana kawan-kawan saya (sebenarnya tidak semua) yang sudah menonton film itu, akhirnya saya merasa punya kapasitas untuk memberikan catatan sesuai pandangan yang selama ini saya pegang.

Banyak komentar yang begitu membesar-besarkan keindahan dan kebagusan AAC. Bahkan waktu kawan saya me
ngajak nonton film tersebut, dia mengatakan bahwa AAC adalah film yang sangat bagus—tentu saja dia memberi penilaian seperti itu karena dikasihtahu temannya yang sudah nonton, atau besar kemungkinan karena ‘iklan’ yang (kelewat) besar-besaran.

AAC memang telah menjadi ikon maha dahsyat, bahkan seorang penulis muda produktif, kawan saya Deny Ardiansyah, menggunakan judul esai dalam tulisannya ‘Ayat-Ayat Parpol’—artinya judul film tersebut benar-benar masuk dalam wilayah bawah sadar khalayak di Indonesia. Ketenaran film ini bahkan membuat perubahan budaya, dari budaya non-literer menjadi budaya literer (sic!): karena beberapa kawan perempuan yang saya jumpai, yang awalnya sama sekali tidak menyukai (membaca) buku akhirnya berbondong-bondong mencari buku AAC dan sebagian besar dari mereka membeli buku itu—pada hal biasanya mereka lebih suka mengeluarkan uangnya untuk membeli lipstick bermerk oriflamme daripada membeli aksesoris untuk mendandani bagian dari tubuhnya yang sebenarnya dapat menjadi organ tubuh paling seksi, yaitu OTAK!

Memecahkan Rekor
Menurut saya, fenomena film “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) memang benar-benar membuka kebuntuan budaya Indonesia yang selama ini hanya didominasi oleh kisah percintaan hedonis. Keheningan hedonisme pun pecah, nilai-nilai budaya baru dalam produk kebudayaan berupa filmpun digulirkan oleh para sineas muda. Film AAC pun mengalahkan kelarisan novelnya yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy. Apabila buku novelnya terjual 400 ribu eksemplar maka ketika difilmkan mampu memecahkan rekor penonton dengan menembus angka 3 juta. Berarti AAC menjadi film terlaris dalam sejarah perfilman kita. Sebelumnya ada film Eiffel I'm in Love yang ditonton oleh 2,9 juta orang dan Ada Apa dengan Cinta (AADC) dengan jumlah penonton mencapai 2,7 juta orang. Hingga sekarang film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu masih dipadati pengunjung.

Animo masyarakat yang membesar dengan ditunjukkan dengan membludaknya jumlah penonton film ini memang tak sulit dilacak sebab-sebabnya. Kesuksesan film bukanlah misteri, tetapi sebab-sebabnya dapat diukur. Orang seringkali mengaitkan kesuksesan suatu produk estetik dengan beberapa hal seperti kualitas estetika, idealisme, dan kepekaan terhadap (tuntutan) pasar.

Kualitas estetika film AAC tak diragukan lagi karena dengan biaya yang besar film ini mendapatkan penggarapan yang serius dengan teknologi yang tidak karbitan. Kapitalis industri perfilman, Ram Punjabi pun ada di belakang pendanaan film ini. Dari sudut ini, upaya mencari keuntungan dalam industri film tentu saja juga berkaitan dengan salah satu kemampuan yang paling dibutuhkan dalam ‘penjualan’ film sebagai sebuah produk komersial, yaitu kemampuan membaca tuntutan pasar.

Karya sekaligus produk komersial sinematografis baik berupa film layar lebar maupun elektronik (film TV, sinetron, telenovela, dll) yang mengangkat tema-tema relijius dan mistik sudah dapat dibaca sesuai dengan kebutuhan psikologis bagi masyarakat Indonesia yang pola pikir ilmiahnya semakin kering. Mistik dan reliji menjadi semacam hiburan atau ekstase pada saat berbagai gejolak dan krisis sosial di ranah ekonomi budaya kian menyeruak.

Sebelumnya tayangan-tayangan dan film-film gaib, mistik, dan reliji yang ditayangkan, baik di layar lebar maupun TV, mendapatkan sambutan yang meriah di kalangan masyarakat. Film-film religius picisan tersebut dipertontonkan sebagai sarana pengusir hantu, jin, setan, dan sebagainya. Bahkan, tak jarang disuguhkan pencitraan Tuhan yang kejam dan tanpa rasa welas-asih terhadap pendosa. Pencitraan tersebut berdampak buruk pada persemaian konsep teologis anak-anak, generasi muda, dan mereka yang awam terhadap agama Islam.

Selain itu juga belajar dari fakta bahwa kisah cinta adalah kisah yang tak dapat ditinggalkan dalam dunia film dan sinetron. Memang sejarah fiksi baik karya sastra maupun sinematografi hingga saat ini tak dapat melepaskan diri dari kisah cinta, pada hal hidup di dunia tak hanya urusan cinta. Cinta hanya menjadi bagian kecil saja. Masih ada kisah riil yang terdiri dari hubungan-hubungan sosial yang berlandaskan pada upaya manusia dalam menjalankan kehidupannya, kisah gagalnya pemenuhan kebutuhan hidup sebagian rakyat yang disebabkan oleh kondisi penataan hubungan material-ekonomis yang timpang dan tak harmonis. Ada kesedihan, kegagalan, kenekatan dan amoralitas yang tidak semata-mata disebabkan oleh hilangnya cinta atau rasa, tetapi oleh hilangnya akal dan pengetahuan. Solusi cinta reliji dan cinta eksklusif romantis akan kontradiksi kapitalisme terbukti hanya menjadi ilusi dalam kehidupan sehari-hari rakyat jelata yang butuh tindakan konkrit dan berani untuk mentransformasikan ekonomi agar hidup mereka sejahtera.

Dan masih cinta eksklusiflah yang hingga saat ini mendominasi kisah sinetron dan film-film yang ada. Berseberangan dengan kisah vulgar film relijius, ada kisah cinta hedonis, yaitu kisah cinta yang melulu berkaitan dengan hawa nafsu dan pengumbaran aurat serta propaganda gaya hidup glamour-kapitalistik.

Polesan Cinta dengan Ayat-Ayat
Nuansa cinta yang hendak diangkat dalam AAC seakan ingin mengompromikan vulgarisme kisah relijius dengan hedonisme cinta sebagaimana selama ini terkisahkan dalam produksi film-film dan sinetron yang telah ada. Hasilnya adalah kisah film yang sangat romantis tetapi tidak menghilangkan pakem relijius yang ada.

Di sinilah kekuatan cinta dari film AAC yang menarik perhatian dan menyedot khalayak untuk menonton film yang d
apat dikatakan menandai sejarah film Indonesia ini, baik dari rekor penjualan tiket maupun genre baru dalam film Indonesia—terutama keberhasilan fiksi Islami ala Forum Lingkar Pena (FLP) dan gerakan Islam modernis yang mengajukan solusi hukum Islam di Indonesia untuk menggulirkan ideologinya melalui film.

Sepintas, film AAC sebenarnya tidak jauh berbeda dengan film remaja dan kalangan dewasa pada umumnya. Tema-tema kemanusiaan, pluralisme, kesederhanaan, kesetiakawanan, serta romantisme percintaan disuguhkan dengan mendayu-dayu. Tujuan ideologisnya tercapai karena film AAC mampu menampilkan romantisme percintaan yang dipoles dengan nilai-nilai agama (Islam).

“Dalam agama saya tidak ada pacaran, yang ada adalah ta’aruf dan setelah itu menikah”, begitu penjelasan Fahri pada seorang perempuan muda yang berperan sebagai peneliti dari Amerika Serikat. Artinya, film ini hendak menegaskan bahwa cinta hanya dapat dilakukan dengan pernikahan dan harus dikaitkan dengan ajaran Islam. Dan banyak argumen teologis lainnya yang keluar dari dialog dalam film ini.

Solusi hati atau “manajemen kalbu” dari masalah kehidupan manusia disuguhkan, bersamaan dengan cinta yang mirip mu’jizat illahi dari mereka yang menyerahkan dirinya untuk berbuat baik, pasrah, berdo’a dan kesederhanaan serta kebaikhatian yang (seakan) konsisten ala Fahri akan menarik hati banyak manusia. Kebaikhatian (kedermawanan), kesederhanaan, dan relijiusitas Fahri membuat banyak perempuan jatuh-cinta. (Meskipun karena cinta inilah seorang perempuan begitu tega menjalankan fitnah, artinya perasaan yang dibangun oleh hati sekalipun tak terdiri dari satu sebagaimana kehidupan punya banyak dimensi).

Tetapi, secara ideologis film ini masih gagal—terutama jika kita menginginkan bahwa film adalah media pendidikan yang dimaksudkan untuk ikut membangun humanitas, spiritualitas, dan harmoni sejati dari kehidupan. Sebagaimana film-film romantis-eksklusif, film ini gagal menggambarkan konteks sejarah di mana kisah tokoh-tokoh di dalamnya berada dan bagaimanakan sejarah tersebut dibentuk dan membentuk umat manusia. Kesedihan dan kebahagiaan di dalamnya, sebagaimana kita jumpai di banyak sinetron, adalah milik segelintir kelompok elit. Kisahnya elitis dan eksklusif karena film ini adalah kisah kaum kelas menengah ke atas, kaum miskin dan tertindas tak diangkat.

Menurut saya, film “Mendadak Dangdut” dan “Mengejar Mas Mas” besutan Rudi Sujarwo lebih realis dan adil karena—meskipun mengangkat tokohnya yang berasal dari kalangan menengah ke atas—disajikan kesadaran bagi para tokohnya yang akhirnya melek pada kehidupan yang sebenarnya, yaitu realitas kemiskinan dan suara-suara kesedihan (tangisan dan rintihan) orang-orang miskin: bagaimana TKW yang dianiaya majikan, bagaimana dekadennya pikiran dan tindakan kalangan miskin, bagaimana menderitanya kalangan yang terpinggirkan seperti perempuan pelacur.

Dalam AAC, kisah cinta yang eksklusif di dalamnya juga berakibat pada konflik yang ada, yaitu hanya konflik seputar rebutan cinta dan antar-pasangan yang saling ingin “memiliki”. Tokoh-tokohnya pantas dicontoh
hanya karena kesederhanaannya, tetapi yang harus diingat adalah bahwa mereka adalah para pejuang cinta eksklusif yang sedang kuliah atau meniti karier pribadi dan kebetulan dituntut untuk menikah (memiliki pasangan dengan formalitas-legalitas agama).

Maka kita akan tiba pada kisah tentang legitimasi poligami dalam film ini, kata kunci dari film ini yang tujuan ideologisnya adalah menyangkal gerakan anti poligami yang masih kuat di kalangan gerakan demokrasi. Film ini ingin menampilkan bahwa poligami itu romantis dan lahir dari kesederhanaan, kebaikan, dan keelokan laki-laki—Fahri sebagai laki-laki yang diperebutkan. (Pada hal dalam kenyataannya poligami lahir dari laki-laki yang menginginkan perempuan lainnya lagi karena sudah bosan dengan perempuan pertama).

AAC telah mendapatkan sambutan yang meluas, bahkan para petinggi Negara juga banyak yang menontonnya. Kita harus menyambutnya sebagai sebuah film yang merupakan hasil dari proses kreatifitas para sineas muda, yang tentu saja masih mencari-cari keindahan estetis sebuah karya seni-budaya, serta mencari-cari dan meraba-raba muara ideologis dari pertarungan sejati kemanusiaan yang diangkat dalam sebuah film. Manusia-manusia dengan kisah cinta relijius itu disuguhkan dihadapan kita, kita harus menerimanya tetapi tetap melontarkan catatan-catatan kritis—bukan hanya tentang filmnya tetapi tentang efek sampingnya bagi perkembangan kebudayaan dan kemanusiaan. Wallahu’alam!

Tidak ada komentar: