Selasa, 18 Maret 2008

Cultura Letera:

Kangen (Setengah Mati pada) Internet

(Oleh: Nurani Soyomukti)


Sekarang aku sedang di Magetan, besok langsung ke Ponorogo, survey Pilgub Jatim. Dan hari ini di desa terpencil. Kalau ada tulisanku yang masuk, juga tulisanmu tolong kabari—aku rindu pacarku: Internet! Hehe...”.

Begitu saya sms yang kukirim ke seorang kawan beberapa waktu yang lalu. Saya minta pada kawan saya, yang berumur lebih muda dari saya tetapi sudah menjadi penulis yang cukup dipertimbangkan koran—dan punya blog bagus, itu yang penting!—karena ia memang termasuk seorang pemuda produktif. Maksudku adalah minta tolong padanya kalau besoknya ada tulisan kami, atau kawan kami lainya, yang dimuat, tolong dikabari. Karena biasanya kami suka mengoleksi, menginventarisasi, dan mendokumentasikan karya kami yang dimuat.

Kami memang sering berdiskusi soal tulisan, situasi masyarakat, dan masa depan dunia.
”Bagaimanapun ini karya kita, harus kita kliping. Nanti kita tunjukkan pada anak kita bahwa Bapaknya adalah penulis dan penggagas yang diakui redaksi”, kata seorang kawan itu saat kami ngumpul di sebuah warung kopi pada sore hari yang gerimis.
”Wah, narsis lagi, narsis lagi”.


”Bukannya narsis”, dia mengelak, ”Kalau kita dapat menunjukkan kalau kita diakui masyarakat pada anak kita, itu sama saja dengan memotivasi anak kita agar meniru kita”.
”Wah, jangan gitu”, tukasku padanya, ”Wong tahu jadi penulis itu susah kok malah ingin anaknya jadi penulis. Kita semua ingin anak-anak cucu kita jadi orang besar, tapi nggak harus jadi penulis dong. Aku malah menginginkan anakku nggak jadi penulis, tapi jadi ahli teknik—negara kita ketinggalan jauh gara-gara teknologinya, Bro! Kalau semua jadi penulis, apa kita ingin semua orang jadi pengkhayal dan pemalas kayak kita-kita?”


Semua kawanku dan orang yang mendengarkan suaraku di warung itu melongo. Mereka diam, seakan mengunyah apa yang baru kukatakan.
”Benar. Kawan k
ita yang satu ini benar... TENAGA PRODUKTIF, IPTEK. Gitu kan, Bro? Hehehe... kata-kata itu kan yang kau jejalkan dalam bukumu? Kamu makin ngeri saja.. Hehe”, ia memecah keheningan. Tetapi, pada akhirnya obrolanpun berlanjut.

***
Itu terjadi beberapa minggu yang lalu.
Dan Anda tahu kenapa saya mengirim sms tersebut di atas?
Saya ingin bertanya pada Anda: Apa yang Anda lakukan saat Anda kesulitan akses internet? Saya tidak tahu bagaimana yang anda rasakan pada saat seperti itu karena itu tergantung pada Anda. Kalau Anda terbiasa mengaksesnya, mungkin akan agak merasa kehilangan atau kesepian.

Tapi ijinkanlah saya bercerita tentang ’kesepian’ dan jenis kesepian saya pada saat berada di suatu tempat yang jauh dari akses internet. Bagi saya dan beberapa kawan saya yang selalu ingin mengirimkan karyanya, entah puisi, cerpen, esai, koran—atau mengup-date blog—, jauh dari internet kadang mirip siksaan.
Saya mau jujur pada Anda, saat saya masih belum ’broken’ sama kekasih saya, terus terang saya lebih tak bisa jauh dari akses internet daripada jauh daripada kekasih saya. Saya sendiri merasa bahwa saya naga-naganya menderita semacam ’cyber-addiction’—mudah-mudahan istilah ini benar. Saya tak tahu sebabnya dan selama ini juga kurang menyadari bahwa penyakit ini cukup akut.

Tapi sudahlah, lupakan tentang ’kelainan’ yang saya derita itu. Yang ingin saya ceritakan di sini adalah gejala umum yang dimiliki para penulis, saya dan kawan-kawan saya—bahkan sebagian juga kawan-kawan yang belum pernah komunikasi face to face, tetapi hanya lewat chating di yahoo messenger, shoutbox blog atau ”si kotak penyambung lidah rakyat”, email, atau seringnya kontak via cellular handphone (sms dan telfon).

Dan yang ingin saya ’curhat’-kan adalah kengerian saya beberapa waktu yang lalu saat berada di sebuah tempat terpencil, ndeso, katrok, di mana internet berada jauh di kota. Keliling-keliling kabupaten Jawa Timur membutuhkan energi tersendiri, dan yang paling besar adalah energi yang saya keluarkan untuk melawan kesepian karena saya jauh dari akses internet. Beberapa kawan saya—ada beberapa yang menyukai terjun ke desa-desa—tentunya tidak merasakan hal yang sama dengan saya: Apalagi mereka punya hobby merokok dan dengan menikmati nikotin yang dihisap, memuasi asap di depan wajahnya, dan merayakan pula asap di atas kepalanya, dia dapat menurunkan ketegangan dan mengurangi kesepian.

”Aku butuh internet, dimana ya di daerah ini ada internet?” tanyaku.
”Mana ada internet di daerah kayak gini?” jawab seorang temanku.
”Pastilah. Koran saja sulit didapat”, tukasku.
”Ya nulis aja dulu, biar banyak dulu. Nanti kalau dah sampai kota baru dikirim”.
”Kayak nabung aja”.

Kawanku benar. Sebenarnya lebih stressed lagi kalau aku bisa menulis. Seperti dulu, saat aku masih pakai komputer, tak mungkin teknologi sebesar itu bisa aku jinjing ke mana-mana: sehingga, setiap kali keluar kota (Jember) aku harus merelakan diriku menahan nafsu menulis. Buku tulislah yang jadi gantinya, seperti sekolah atau kuliah dulu, mencatat di atas kertas saat ide berseliweran lalu menuliskannya lagi di komputer.

Setelah berhasil mengupayakan sebuah note-book sederhana yang tak begitu canggih, kini kubisa menulis di mana saja. Tetapi untuk mendapatkan internet di mana saja?
Itulah masalahnya.

Mungkin kata kawanku benar. Yang penting menulis, apa saja, ”pasti berguna”—seperti kata Pram. Kalau tidak ada internet, ya menulislah apa saja, isi waktu dengan menulis. Gunakan waktu yang kau habiskan untuk ’ngenet’ dengan menulis.

Ya, ada ratusan judul opini/artikel dalam ’folder’ yang kunamai ”tabungan”. Hanya sebatas judul dan data dari koran yang biasanya sebaris atau dua paragraf. Judul itulah yang harus kulanjutkan agar menjadi satu gugusan gagasan yang layak muat di koran atau sekedar ’nabung’ opini untuk menulis buku.
....
Ya, begitulah ceritanya. Mungkin terlalu membosankan! Seperti bosan saat kesulitan menemukan internet! Bagaimana tak bosan karena kalau tidak mengirim tulisan di media artinya tak ada harapan akan ada tulisan kita yang dimuat. Bukankah, selain NARSIS, penulis itu juga GILA PUBLIKASI? Dua hal itulah syarat menjadi penulis: NARSIS dan GILA PUBLIKASI! Kalau nggak, ya tak akan menulis! Karena menulis itu bagian dari eksistensi diri, entah demi uang, popularitas, atau (menjalankan perang) ideologi! Yang terakhirlah yang harus diprioritaskan! Tapi bagaimana bisa berideologi kalau tidak mengeksis? Wallahu’alam!***

Tidak ada komentar: