Kamis, 06 Maret 2008

Politik Sastra-Budaya:

Penulis Itu adalah Pengemis

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Menulis itu adalah memulung. Jadi, penulis itu tak jauh beda dengan pemulung. Bahkan tak lebih dari pengemis. Itulah kesimpulan saya, dan saya kira pandangan tersebut tak berlebihan.
Bagaimana tidak, jika pemulung memungut sampah-sampah atau sisa-sisa, jika pengemis mendatangi orang dan menengadahkan tangan untuk mendapatkan sesuatu, penulis juga demikian. Pemulung ‘mengobrak-abrik’ tempat sampah untuk mencari barang-barang sisa (sampah) yang bisa diambil dan dijual dengan harga yang pantas untuk barang sisa—barang itu konon akan didaur-ulang menjadi suatu yang lebih berguna.


Pengemis juga berjalan dan berkeliling mendatangi orang dan rumah-rumah untuk meminta sesuatu. Ia tak punya alat produksi yang dapat digunakan untuk menghasilkan barang-barang, ia tak terikat dengan hubungan produksi seperti buruh—baik buruh kasar (blue collar) maupun buruh white collar (seperti sales, manajer pemasaran, staf perusahaan, dll)—yang dapat ditelisik berada di bawah kendali majikan dalam hubungan produksi kapitalistik. Pemulung dan pengemis tak mendapat uang karena diupah oleh pemilik modal, tetapi dari meminta dan memungut (lalu pungutannya dijual).

Jika dihubungkan dengan hubungan produksi kapitalis, penulis—bahkan dalam hal tertentu juga jurnalis—adalah pengemis dan pemulung kata-kata yang telah disediakan (tersedia) di alam kehidupan. Ada fakta, ada informasi, ada gejala, ada realitas konkrit. Dan dibalik fakta atau gejala itu adalah hubungan-hubungan material yang menyusun kehidupan. Sudah ada kata-kata dan nama-nama yang disediakan dalam kamus untuk mewakili benda-benda nyata itu. Hubungan-hubungan material, dalam kondisi tertentu, menghasilkan kualitas yang bisa dinilai dan dinamai (dimaknai).

Jadi jangan sombong jika penulis sebenarnya adalah pencuri atau pembajak dari yang sudah ada, atau garong dari apa yang telah tersedia. Tak mungkin realitas material tidak memiliki representasi dalam nama dan penjelasan, kalau tak ada bukannya tidak punya, tetapi belum.
Kesulitan yang seringkali dialami oleh setiap manusia yang hidup ini sebenarnya adalah meny
usun kata-kata secara terstruktur baik lisan maupun tulisan. Dan itu hanyalah soal latihan, latihan yang biasanya berkaitan dengan kebiasaan mengungkapkan atau mengekspresikan diri (keinginan, eksisitensi dan afirmasi diri, obsesi, kekecewaan, kekesalan, dll). Pada kenyataannya, yang terbiasa ekspresif adalah orang yang kebutuhan-kebutuhan dan keinginannya tak tertekan karena mampu memenuhi kebutuhan (yang diinginkan). Dan mereka adalah kalangan yang berpunya (the have).

Kaum Miskin Menulis dan Melawan
Sementara itu kaum miskin yang terbiasa menekan kebutuhannya karena (sejak kecil) jarang terpenuhi harus lahir sebagai makhluk yang tidak ekspresif akan kesulitan dalam menyampaikan gagasan secara terstruktur. Meminjam teori Sigmund Freud yang menggambarkan kejiwaan terdiri dari kejadian psikologis yang diwakili oleh prinsip kesenangan dan prinsip realitas, maka kita akan tahu bahwa betapa beratnya menyampaikan gagasan bagi kalangan yang terbiasa memfrustasikan keinginannya: orang miskin terbiasa minder ketika menghadapi suatu hal yang baru. Ketika mereka dipaksa mengatakan apa keinginannya, mereka tak tahu.

Mereka menanggung beban untuk mendefinisikan keberadaannya dan mengkomunikasikan dirinya dengan realitas—realitas yang menyangkal eksistensinya sebagai manusia sejak ia lahir. Sejak kecil anak-anak orang miskin pasti banyak dilarang oleh orangtuanya ketika menginginkan segala sesuatu yang tak bisa dipenuhi. ”Lebih baik tidak mengungkapkan keinginan daripada keinginan kita ditolak” merupakan prinsip umum yang banyak dijalankan oleh kebanyakan orang.

Dari situ dapat dipahami kenapa para penulis dan pengarang kebanyakan lahir dari kalangan menengah ke atas—meskipun tetap saja ada perkecualian dari tesis ini.
Intinya, menulis juga merupakan tindakan dan aktivitas yang berkaitan dengan adanya kesempatan. Menulis membutuhkan waktu luang dan waktu luang banyak dimiliki oleh orang yang tak menghabiskan banyak waktunya untuk kerja mencari uang, terutama kerja fisik (yang banyak dilakukan para buruh-tani) yang imbalannya juga tak mampu memenuhi kebutuhan akan penciptaan waktu luang dan kebutuhan hidup lainnya.

Tak mengherankan kalau menulis dianggap sebagai kegiatan orang pemalas dan tak suka bekerja fisik. Meskipun demikian, profesi penulis banyak dipuja-puja oleh media karena masyarakat kita masih belum menghormati kerja-kerja fisik. Terutama di Indonesia, kerja fisik masih dihargai begitu rendahnya dibanding dengan kerja intelektual seperti menulis dan meneliti, tidak seperti di negara-negara Barat.
Ketika buku ”Ayat-Ayat Cinta” sebagai karya tulis menghasilkan ratusan juta, kerja sebagai tukang kebun atau buruh pabrik tetap tak mampu membuat mereka menyekolahkan anak atau membiayai saat mereka sakit.

Begitu jahatnya kehidupan, hanya dengan bermain kata-kata orang dapat menciptakan kekayaan, sementara dengan kerja keras mempertaruhkan keringat, darah, dan air mata banyak orang yang tak dapat berbuat apa-apa bahkan merasa tertindas dan terlunta-lunta hidup anak dan cucunya.
Apalagi kata-kata itu tak pernah mewakili rintihan orang-orang miskin, menyuarakan tuntutan dan keperihan luka-lukanya dalam sejarah penindasan kelas. Kata-kata yang dikemas dalam buku-buku itu hanya mewakili ungkapan orang-orang kaya, dan menyuarakan sudut pandang dan ide(ologi) orang-orang kaya. Artinya, para penulis kebanyakan itu telah menyabotase kata-kata yang mewakili suara-suara orang miskin. Kalau masih banyak orang miskin, kenapa yang tertangkap oleh otak penulis adalah kata-kata yang merangkai kisah dan keinginan orang-orang kaya?

Seharusnya kalau mau adil, penulis harus mewakili realitas sejati atau kalau tidak tulisannya adalah keindahan palsu tentang realitas alias menyembunyikan realitas sejati. Dalam hal ini, penulis mengkorupsi kebenaran. Ia menulis untuk kepentingan pribadinya dan tak mau menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi.

Kita ingat novel Ayu Utami, ”Saman” dan ”Larung”, yang benar-benar mewakili kisah perempuan kelas menengah ke atas dengan kegemarannya berpetualang mengagumi dan mengejar cinta (seksualis) dengan para aktifis atau kalangan lainnya... Novel itu, saya akui, cukup sentimental dan estetik dalam mengangkat kisah-kisah yang ada, terutama saat mengestetisasi seks bebas dengan detail narasi indah akan alat-alat kelamin dan kata-kata romantis persetubuhan.
Tapi karya itu tetap tak mampu menguak akar kontradiksi nyata yang mendasari kehidupan yang dikisahkannya, tiada di sana kondisi rakyat miskin dan kaum papa yang menjalankan ”seks tidak bebas”. ”Seks tidak bebas” yang saya maksud adalah seks yang tertekan atau terpasung karena kondisi ekonomi yang tak memungkinkan.

Dalam ”Saman” dan ”Larung” kita bisa membaca kisah-kisah perempuan mapan yang terbang dari satu negara ke negara lain untuk menjumpai laki-lakinya dan mereka menemukan kebebasan seks (tanpa menikah). Tetapi tak pernah diangkat kisah jutaan kaum perempuan Indonesia yang berhubungan seks secara terpaksa karena kemiskinan, menikah tanpa rasa cinta, dan terpaksa mau karena miskin dan butuh laki-laki yang akan menafkahinya.
Kata-kata dalam buku Ayu Utami tersebut berbeda dengan Novel ”Ibunda” Maxim Gorky yang benar-benar menempatkan kaum miskin (Pavel dan ”Ibunda”—serta kaum buruh di Rusia) yang berbicara. Kata-kata yang digoreskan Gorky hampir semuanya mewakili cara pandang buruh (kelas pekerja) dalam menghadapi realitas. Atau baca karya Pramoedya Ananta Toer, yang menggambarkan sejarah kehidupan penindasan—dan pertentangan kelas—dan mengajak kita mengerti bagaimana ”bumi manusia” dengan ”berbagai macam persoalannya” muncul.

Pram menangkap kata-kata yang kemudian ditulisnya untuk menggambarkan masyarakat yang sedang dijajah dan transformasi psikologis bagi manusia-manusia yang hidup di dalamnya: digambarkannya tentang perlawanan orang-orang miskin, perubahan-perubahan cara berfikir feodal menjadi rasional dan dialektis; Minke yang melakukan ’bunuh diri kelas’, dari anak bangsawan menjadi aktifis gerakan yang memiliki kemampuan menulis dan kemampuannya digunakan untuk membela orang-orang tertindas, melawan penindasan/penjajahan Belanda.
Saya kira, supaya adil dan realitas asli dapat terwakili (tidak tersabotase), kita harus melahirkan para penulis seperti Minke sebagaimana dikisahkan Pram dalam tetralogi ”Bumi Manusia” itu. Penulis dari kalangan miskin seperti Widji Thukul memang sedikit alias jarang. Mengharapkan penulis borjuis mengangkat kisah dan cara pandang dan kehidupan rakyat miskin juga sulit karena—sebagaimana ditegaskan oleh Marx—semuanya akan terbatasi oleh cara pandang kelas.

Artinya kita harus bekerja keras untuk mendorong penulis mengangkat kisah rakyat miskin yang sedang berharap akan perubahan. Kita memiliki penulis (sastrawan), penyair besar yang beberapa waktu lalu mendapatkan gelar Doktor, WS Rendra yang berasal dari kalangan bangsawan. Dalam puisinya ia banyak mengangkat kisah-kisah rakyat miskin, dan ia juga selalu tampil untuk menggugat ketamakan kekuasaan. Ini artinya, kesempatan untuk mendorong penulis (dari kelas manapun) peka terhadap kontradiksi sejarah masih terbuka lebar. Kita tunggu, penulis yang tak sekedar mencuri dan membajak, tapi yang memberi dan menolong!***



Tidak ada komentar: