Jumat, 21 Maret 2008

Resensi Bukuku di Koran Pak Oles, 16 Maret-31 Maret 2008:

Pudarnya Pamor Agen Perubahan

Oleh:
Edy Firmansyah, sastrawan dan pengelola Sanggar Bermain Kata Madura



Kaum muda (b
aca: mahasiswa) selalu diperhitungkan keberadaannya dalam lintas sejarah. Sebab mahasiswa merupakan variabel penting yang berperan dalam segala proses perubahan. Dalam babakan sejarah, gerakan kaum muda telah memainkan peranan penting menjadi barisan terdepan yang selalu meneriakkan tuntutan atas berbagai perubahan dan keadilan sosial.
Di Inonesia, hal ini bisa dilihat mulai dari berdirinya Boedi Oetomo, ikrar Sumpah Pemuda 1928, hingga yang masih mengemuka saat ini adalah gerakan mahasiswa menumbangkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Status mahasiswa menjadi kebanggaan tersendiri.


Namun yang terjadi saat ini justru kebalikannya. Mahasiswa Indonesia kini tak lagi bercitra sebagai kaum intelekual, pembela rakyat atau aktivis perubahan (agent of change). Yang ada justru mahasiswa yang berpikiran pragmatis-oportunistik. Dalam benak mereka menjadi mahasiswa berarti sebuah jalan lempang mendapatkan pekerjaan. Titik. Sehingga ketika ditanya tentang bagaimana nasib masyarakat yang diterus didera penderitaan, mulai dari melambungnya harga kebutuhan pokok, pendidikan mahal, kesehatan mahal, hingga fenomena gizi buruk, pengangguran hingga kemiskinan yang meluas? Jawabannya sungguh menyakitkan: “Persetan dengan mereka semua!”

Parahnya lagi, maraknya berita mengenai keterlibatan mahasiswa dengan narkoba, tawuran antar mahasiswa, hingga perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa menambah daftar panjang keburukan mahasiswa di negeri ini.

Adalah kekuatan kapitalis yang membuat mahasiswa kehilangan pamornya sebagai agen perubahan. Lewat kisah sinetron, opera sabun dan juga acara reality show, mahasiswa digambarkan tak lebih sebagai kaum muda yang hanya sibuk mengejar uruan cinta dan pergaulan saling berburu pasangan dengan dramaturgi yang berlebihan. Dalam kisah sinetron, misalnya, kampus hanya menjadi aktivitas kisah ‘cinta sempit’ yang bernama ‘pacaran’ dengan gaya hidup yang menonjolkan syahwat.

Dengan kata lain, tugas dan peran berat mahasiswa dalam pusaran sejarah sebuah bangsa mulai dikaburkan dan kemudian digantikan dengan citra sebagai segelintir kaum muda yang eksklusif dengan hidup yang penuh suka ria. Sedangkan kampus tak lebih sebagai menara gading kekuasaan pasar (modal) di mana aktivitas mahasiswa hanya berkutat pada kuliah, makan, belanja, kencan, dan seks.

Kondisi inilah yang menjadi bahasan utama buku karya Nurani Soyomukti ini. Sarjana sospol Universitas Jember ini menilai apa yang menerpa mahasiswa ini sebenarnya mengingkari sejara. Pasalnya sejarah gerakan mahasiswa adalah sejarah pembebasan rakyat, sejarah perubahan bagi terciptanya keadilan sosial (hlm. 24).

Dengan menggunakan analisa Marxian, Nurani mengurai mata rantai kapitalisme yang membuat mahasiswa kehilangan elan vital dan jati dirinya. Siapapun akan menjadi rombongan makhluk ideot. Nah jika hal ini dibiarkan, tentu akan menjadi preseden buruk bagi bangsa ini. Pasalnya mahasiswa masih menjadi ujung tombak bagi masa depan karena di tangan merekalah tongkat estafet bangsa ini disemaikan. [*]

Tidak ada komentar: