Selasa, 18 Maret 2008

Negarawati Radikal:

Ibu Siti Fadilah Supari
—Bukan Perempuan Tanggung-Tanggung!


Oleh: Nurani Soyomukti*)


Dialah seorang “Ibu”. Dan saya memanggilnya ”Ibu” saat ’sowan’ ke rumah dinasnya beberapa kali. Saya pernah makan bakso bersama suami, anak, dan enam orang tamu yang juga sahabatnya. Dan hingga kini saya hampir tiap hari kontak dengan adhik beliau: Pak Burhan, seorang mantan aktivis tahun 1980-an dari kampus ITB yang pernah ditangkap.

Pak Burhanlah yang sebenarnya lebih banyak bicara di hadapanku karena pada waktu saya bertamu ke rumah dinas Ibu, beliaulah yang banyak ”mewancarai” dan ”menggurui”-ku banyak hal. ”Mewancarai” dalam arti, dialah yang, di ruang tamu itu, pada waktu itu, mengajak saya dan Iwan (kawan saya) bercakap dan berdiskusi. Dan saya akui, pengetahuannya memang lebih banyak dari kami. Dan kami hanya berlaku sebagai seorang murid yang sedang mendengarkan gurunya, sesekali juga disela oleh Bu Menteri yang pada waktu itu sedang menyelesaikan naskahnya di sofa depan ku duduk, di samping Pak Burhan.

Pada waktu itu Ibu sedang menyelesaikan naskah buku yang belakangan memang kontroverial karena harus menjadi buku yang mendapat perhatian pada level internasional. Sesekali Ibu ngomong dan bercerita dengan mulutnya yang ”menjeb-menjeb” (kalau belia ngomong). Kadang dia berhenti dan mengatakan: ”Ngobrol sama Pak Burhan ya, Ibu harus nyelesaikan naskah buku ini... ”.

Waktu itu, di ruang tamu tengah rumah dinas yang luas itu memang ada 6 orang yang duduk: saya dan Iwan yang sedang berhadapan dekat dengan Pak Burhan, ngobrol soal ”bangsa”, Ibu Menteri 3 meter duduk bersama labtop di pangkuannya; Mbak Lilik asiten Ibu yang juga memangku labtop, dan satu orang laki-laki umur sekitar 50-an (saya lupa namanya, yang jelas bukan ’orang dalam’), yang juga memangku benda yang sama—keduanya sedang mengejar editing dan Ibu sedang menambahi bagian kata pengantar. Kamipun cerita tentang buku, beliau memuji saya karena ”masih muda sudah menghasilkan banyak buku”.

Dan beliau menyampaikan alasan kenapa buku itu harus ditulis. Yang membuat saya heran dari apa yang dikatakan dan yang saya dengar dari adhiknya, Pak Burhan, kenapa masih ada pejabat (setingkat menteri lagi!) yang idealisme dan sentimentalitasnya begitu kuat. Apalagi di tengah usia beliau yang tua, dibanding anak-anak muda seperti ’kami’, tentu tak pernah terbayangkan ”hareeee geneeeee” masih ada orang semacam beliau.

Dan tentu saja saya menyimpulkan bahwa saya memang kurang begitu gaul selama ini. Sebagai pendatang baru di Jakarta yang sedikit mengenal orang-orang pemerintahan, tentu keheranan itu wajar. Saya berpikir Ibu bukan orang satu-satunya, tetapi saya juga bertanya: Siapa orang yang berani seperti Ibu, apalagi perempuan (dan berstatus Ibu)?
Suaminya adalah seorang (pensiunan) arsitektur. Dan sang Ibu adalah menteri yang ’radikal’. Meskipun ibu baru akan menerbitkan buku pertamanya, tentu saja buku itu akan lebih populer daripada buku yang saya tulis, karena ibu memiliki jaringan dan beliau adalah seorang menteri.
Waktu itu buku yang
akhirnya mencuat dan kontroversial itu belum dinamai—artinya belum ada judulnya. Belakangan judul buku itu adalah ”TANGAN TUHAN DI BALIK VIRUS FLU BURUNG”. Sudah saya duga, akhirnya buku mencuat. Bukan hanya mencuat, tetapi juga populer karena mengandung kontroversi. Saya sudah menduganya sejak awal karena apa yang dilakukan adalah suatu hal yang jarang, seingat saya tak pernah, dilakukan oleh orang lain, terutama dalam posisinya sebagai pejabat negara (menteri).

Dan, sejak Orde Baru, memang tak pernah muncul satupun seorang menteri—apalagi perempuan, seorang ibu—yang berani mengkritik Amerika Serikat (AS) dan kekuatan korporasi bisnis. Merasa mujurlah saya, meskipun pada akhirnya harus meninggalkan Jakarta (entah akan kembali lagi atau tidak), sempat bertemu beberapa kali dan bertatap muka di rumahnya, bahkan makan bersama keluarga dan orang-orang dekatnya. (Kebanggaan ini terkesan ’ndeso’ atau ’katrok’ memang! Tapi tak apalah, saya telah bertemu dengan tokoh radikal dalam tubuh pemerintahan Indonesia yang secara umum masih pro-imperialis).

Ibu adalah calon pemimpin radikal—kalau saja ia menjadi presiden, bisa jadi ia akan menandingi Hugo Chavez, Evo Morales, atau melebihi Christina Fernandez atau Michele Bachelet. Pengamat kesehatan masyarakat dan sekaligus penulis produktif, Kartono Muhammad, menyebutnya sebagai ”Menteri Kesehatan yang Berani” (Kompas, Sabtu 8/3.2008). Sebenarnya ketenaran Ibu Siti Fadilah Supari sudah mulai kelihatan dua tahun yang lalu. Saat itu, majalah The Economist London (Edisi 10 Agustus 2006) menempatkan Siti Fadilah sebagai tokoh yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak penyakit pandemik. "Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi," tulis The Econ
omist waktu itu.

Bahagia juga saya mendapatkan waktu di tengah kesibukan akhir-akhir ini, untuk menuliskan apresiasi saya terhadap beliau dan karyanya, bukunya. Saya sudah mendapatkan bukunya, tapi belum melihatnya. Karena saat paketan buku itu tiba di Jember, karena ditujukan ke rumah kontrakan saya, saya sedang berada di sini, lima jam perjalanan kalau naim bus kalau ke sana. Paketan itu datang kemarin.

Aku sms Deny Ardiansyah, seorang kawan penulis Jember: ”Mau meresensi buku ibu Menkes nggak? Aku baru tanggal 27 kesana. Kalau mau, ambil di kontrakanku. Kemungkinan besar dimuat kalau mau ngirim resensinya ke media...! ***

Tidak ada komentar: