Minggu, 09 Maret 2008

:::::::::: Ekonomi-Politik ::::::::::

Para Pembela Pasar

—Oleh: Nurani Soyomukti—


Buruh?
Para pembela pasar bukanlah buruh-buruh yang bekerja di pabrik, yang menggerakkan tubuh dan anggota badannya menjalankan mesin-mesin dan mengubah bahan mentah menjadi suatu barang yang akhirnya dijual—meskipun dirinya sendiri tak mau membeli barang yang dihasilkannya sendiri. Sungguh, mereka hanyalah kebanyakan dikurung dalam kawasan industri yang membuat mereka tak mengerti bahwa hubungan kerja yang ada (kapitalisme) menyangkal keberadaan mereka sebagai manusia (yang butuh memenuhi kebutuhan lapar dan dahaga, dan kebutuhan lainnya yang membuat mereka layak menjadi makhluk yang bernama manusia.
Sarjana
Para pembela pasar—meskipun tidak semuanya—adalah lulusan kuliah yang dengan begitu bangganya dengan ijazah S1 berkompetisi berebut pasar kerja. Mereka masuk pasar kerja dan mereka menjual dirinya agar laku dalam bursa pasar kerja. Banyak dana yang dikeluarkan untuk mendandani tubuhnya dan mengolah kecerdasan teknis otaknya: mereka harus membaca mantra-mantra atau ayat-ayat jitu tentang efektifitas cara mencari kerja. Mereka adalah para laki-laki dan perempuan muda yang gandrung akan status eskekutif industri atau manajer pemasaran: Mereka adalah duta-duta atau deputi produk-produk industri yang juga menggunakan para perayu agar anak-anak yang mulai belajar berhitung juga begitu fasih menghafal nama-nama produk dan nama-nama bintang yang tampil dalam acara TV yang selalu berganti-ganti dengan penampilan citra produk.
Produk yang dicitrakan dan para artis-selebritis (mulai dari pelawak, pemain drama, penyanyi, presenter, juga sebagian pelacur yang terseleksi dalam industri seks yang berkesempatan tampil di TV).


Artis-Selebritis
Para pembela pasar utama dan yang paling kelihatan di hadapan mata kita memanglah mereka yang tampil di TV dan menyuguhkan berbagai penampilannya agar kita merasa bahwa budaya pasar begitu indah dan seakan melupakan keindahan sejati itu sendiri. ”Belilah produk ini, itu, ini itu, yang ini, yang itu! Tirulah artis ini artis itu! Tirulah rambut ini rambut itu! Belilah produk ini produk itu! Nikmatilah yang ini yang itu!”, begitulah doktrin utama yang dibombardirkan ke kita. Artis-artis alias seniman pendukung budaya pasar—yang lahir, tumbuh, dihidupi (digaji) oleh penguasa industrialis kapitalisme, dan yang mati demi dan atas nama pasar—memanglah para seniman/artis selebritis. Bahkan kadang merekalah yang secara agresif melontarkan gagasan-gagasan, wacana, dan ucapan gampangannya kepada penonton.

”Orang-orang barbar tak lagi mengempur gerbang kota kita, mereka sedang makan malam bersama kita. Nama mereka adalah J. Lo, Ja Rule, dan Paris Hilton”, kata Michael ReGault, seorang pengamat media AS.1 Mereka menjejali media-media hingga tak ada satupun media popular yang berisi keluhan dan tuntutan orang-orang miskin yang susah dan menggugat keadaan: yang ada hanyalah wajah cantik bergincu tebal dan bermake-up yang kadang keterlaluan mirip ’topeng monyet’ atau laki-laki yang kalau tak mancho pasti ’mbanci’.

Berharap pada media untuk membela rakyat miskin akan membuat Anda pesimis. Tak heran jika sosiolog ternama seperti C. Wright Mills mengajukan pandangan yang pesimistik terhadap fungsi media. Dalam bukunya “The Power Elite” (1956), Mills mengutuk fungsi media yang lebih berfungsi sebagai instrument yang memfasilitasi—apa yang ia sebut sebagai—“kebutahurufan psikologis”.2 Mills juga memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu” (pseudo-world), yang menyajikan realitas ksternal dan pengalaman internal serta penghancuran privasi dengan cara menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang masuk akal dan tidak terburu-buru serta manusiawi”.3

Bayangkan, bagaimana tidak tergesa-gesa jika TV, sebagai media, hanya menyuguhkan tayangan-tayangan/acara yang tidak berkualitas semacam sinetron-sinetron cengeng atau reality show. Acara ini dibuat tanpa kedalaman cerita dan estetika yang bermakna, tetapi justru didukung oleh iklan dengan tujuan semata-mata agar tercipta masyarakat—khususnya remaja dan kaum muda—yang hanya bisa membeli dan membeli.

Menurut Alan Middleton, asisten professor marketing dan direktur eksekutif di Schulich Exective Education Center, periklanan merupakan industri yang sangat konservatif. Iklan tidak membuat trend, tetapi hanya mengikutinya. Iklan tidak berusaha mengubah hal-hal yang sudah ada. Dia tidak berusaha meningkatkan tingkat melek huruf atau memperbaki pengetahuan kita terhadap sejarah atau meningkatkan apresiasi terhadap Shakespeare. Ungkapan itu diperkuat dengan argument Curtis White dalam bukunya “Middle Mind”, mengikuti trend bisa berarti memperkuat trend tersebut. White mengamati bagaimana tayangan televise “Antique Road Show” di Amerika telah mengubah seni dan benda-benda antik menjadi “Bentuk komoditas pemujaan yang murahan”. Dalam hal opera sabun dan drama televise, trend tersebut telah memiliki sejarah yang panjang yang dibangun atas tema keserakahan, seks, dan kekerasan.4

Mengerikan!

Ekonom
(Menurut Allan Wood) mereka adalah pula para pembela "kekuatan pasar", kekuatan irasional yang kini telah memenjarakan jutaan orang ke dalam pengangguran. Mereka adalah juga para pengkotbah perekonomian "sisi suplai", yang didefinisikan secara cerdas oleh John Galbraith sebagai teori bahwa kaum miskin memiliki terlalu banyak uang dan kaum kaya memiliki terlalu sedikit. Maka, "moralitas" yang berlaku sekarang ini adalah moralitas pasar, yakni, moralitas rimba. Kemakmuran masyarakat semakin terkumpul di segelintir tangan, yang juga jumlahnya semakin menyusut, sekalipun kita terus mendengar propaganda tak masuk akal tentang "demokrasi kepemilikan" dan "yang kecil itu indah".

Politisi
Para pembela pasar berikutnya adalah politisi. Para politisi yang diuntungkan dengan diterapkannya pasar bebas, entah yang meyakini doktrin pasar dan berusaha minta legitimasi ilmiah ekonomi pasar maupun yang tak mengerti apa-apa, memanfaatkan posisi politiknya untuk mengikuti diktum pasar (neoliberal) dengan mendukung dan membuat kebijakan pro-pasar: memotong subsidi sektor rakyat (kesehatan, pertanian, pendidikan, dll) dan biasanya justru menambah anggaran tentara; melego dan menjual murah perusahaan-perusahaan negara; tidak membatasi modal asing dan perusahaan asing sehingga produk-produk luar disediakan pasar, yang merusak daya saing produk-produk dalam negeri (beras impor, pupuk impor, dan tetek mbengek impor); bahkan mengorbankan buruh, membuat buruh dibayar murah dan mudah diatur agar pemodal asing berbondong-bondong masuk dan mendominasi.

Ya, karena ditentukan oleh para politisi dan penyelenggara negara, pada akhirnya yang mendominasi adalah pasar. Dan pasar bukanlah suatu hal yang abstrak, karena dia adalah Modal dan kekuatan yang hanya berkeinginan satu: menumpuk keuntungan, menambah modal.



Agamawan (Kiai, Ustadz, juru Dakwah)
Para pembela pasar berikutnya adalah agamawan, yang kebanyakan kiai. Sebut saja AA. Gym, Ustadz Jefrrey, dll. Mereka adalah pengkotbah moral-reliji yang dibesarkan media kapitalis, terutama TV. Mereka menjadi bintang iklan dan hanya mengumar ayat-ayat yang melanggengkan tatanan pasar bebas dan menjadikan ayat-ayat cinta palsunya sebagai katub pengaman moral kapitalisme dan kontradiksinya: agar rakyat yang tertindas tak menuntut sistem ekonomi pasar, dihiburlah mereka dengan surga agar mereka merelakan dirinya dimangsa didunia karena telah dijanjikan do akhirat, surga dengan kenikmatan tiada tara—”Sistem kolektifitas hanya ada di surga, di dunia tempatnya sistem pasar, dan saya adalah bintang Iklan”, seru salah seorang pengkhotbah.

Para agamawan pembela pasar melupakan salah satu ucapan penting orang suci Idan tokoh Islam ”Sebaik-baiknya tempat adalah masjid, dan seburuk-buruknya tempat adalam pasar!” Para agamawan itu juga lupa dengan ayat Kitab Suci Al Qur’an bahwa ”Allah akan memberikan karunia pada orang miskin-tertindas, dan akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris”. Dengan menjadi bintang iklan dan idola, para kiai itu lupa diri dan lupa bahwa seharusnya rakyat miskin harus bersuara dan media tak mau mengangkatnya.

Bahkan ketika rakyat miskin mencoba menyampaikan tuntutannya sendiri—entah dimuat media ataupun tidak—, para agamawan ini bahkan kebingungan dan menyuarakan hal yang bertentangan. Mereka dengan mudahnya menuduh kalangan yang menuntut keadilan sebagai ”komunis”, ”provokator”, ”perusuh” (dissident), ”anarkis”. Dan betapa butanya mata para agamawan ini, karena mereka tak mau—atau sengaja menyembunyikan—menyebut ayat-ayat yang jelas-jelas membolehkan orang tertindas menyampaikan kemarahannya; ayat yang berbunyi ”Dilarang kalian mengumpat dan berkata kasar, kecuali kalian adalah orang yang tertindas”. Dalam ayat ini jelas, orang (di)miskin(kan) dan tertindas boleh berkata kasar dan mengumpat, terurutama mengumpat pada para penguasa (mustakhbirin) dan pemerintah tiran (taqhut) demi al adhalah dan al musyawah, keadilan dan egalitarianisme!

Betapa jelas para pembela pasar yang terdiri dari para agamawan ini berpijak dan berpihak. Semua orangpun tahu, betapa bodohnya apa yang ditunjukkan AA. Gym: Ketika rakyat miskin tertindas ramia-ramai menolak kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintahan Yudoyono-Kalla, AA. Gym justru membelanya dan ia menghujat para demonstran. Ketika kebanyakan pemuda-pemudi takut untuk menikah karena mereka tidak siap (karena masih menganggur dan berada dalam miskin), para agamawan sibuk juga meneriakkan ”Ayo POLIGAMI!”

Anda
Dan apakah Anda ada di antara mereka, baik sadar maupun tidak sadar. Saya sering mendengar seorang yang berkata: ”Pasar itu satu-satunya yang harus mengatur kehidupan. Kalau diatur negara malah repot, nggak efisien, nanti malah dikorup!”. Ada lainnya yang berkata—seperti Francis Fukuyama: ”Pasar adalah akhir dari sejarah, tak mungkin ada yang menggantikkannya. Apa kita akan kembali menyerahkan urusan pada negara dan menjadi komunis? Tidak lah Yauuuuw!” Yang lain bilang: ”Enakan pasar, kan kita bisa bebas, dan karena orang bersaing akhirnya kompetisi membuat orang maju. Karena dorongan manusia untuk maju harus diciptakan melalui naluri... dan naluri itu akan tercipta jika ada persaingan dengan Pasar. Hidup pasar! Aku ke pasar dulu ya, belanja baju baru... Hehehe!”
Saya tak tahu apakah Anda pernah mengatakan itu, atau hampir sama dengan itu. Mungkin saya bisa ajukan perrtanyaan ke Anda?

1. Benarkah kemajuan hanya terjadi karena persaingan (kompetisi) individualistik? Tidak bisakah kemajuan justru akan cepat terjadi dengan kerjasama atau sistem kolektif? Kemajuan itu karena persaingan atau karena kerjasama? Anda bisa contoh...
Benarkah sejarah sudah berakhir dan ”pasar” adalah babak akhir dari drama kehidupan manusia? Tidakkah hidup ini berjalan terlalu panjang, jutaan tahun? Bukankah pasar masih berumur 300 tahunan, sebelumnya tatanan kolektif berlangsung ribuan tahun, lalu perbudakan dan feodalisme (kerajaan) beribu-ribu tahun? Apakah sosialisme adalah ”basi” dan bukannya syarat-syarat terjadinya tatanan material-ekonomis bagi sistem lain, selain pasar, memang belum siap?
2. Apakah dulu, tiga ratus tahun yang lalu, orang akan membayangkan kalau tatanan dan hubungan ekonomi akan sekarang? Dan benarkan seribu tahun lagi pasar masih akan bertahan, saat teknologi benar-benar maju, saat ilmu dan teknologi tak dimonopoli oleh sedikit orang (terutama perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan teknologi untuk dimassalkan dengan syarat harus dalam hukum jual beli/komersial) dan pendidikan dapat dinikmati semua orang?

3. Bukankah 350 tahun lalu tak terbayangkan bahwa orang bisa terbang dan sekarang itu bisa? Dan bukankah saat setiap akses terhadap pendidikan dan IPTEK maju dan adil, tak ada lagi yang bisa membodohi? Dan kalau anda percaya bahwa pasar akan tetap bertahan sama artinya anda berharap bahwa masih banyak orang yang bodoh?
Benarkah sejarah berakhir hanya karena anda merasa nyaman saat berbelanja atau mendapatkan kerja yang tak mengagumkan?
Wallahu’alam!

Ngawi, 9 Maret 2008: 22: 23

____________________
1 Michael R. LeGault, Sekarang Bukan Saatnya untuk “Blink” Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata. Jakarta: PT. Transmedia, 2006
2 C. Wright Mills, The Power Elite, New York: Oxford University Press, 1956, hal. 311
3 Ibid., hal. 314
4 Michael R. LeGault, Sekarang Bukan Saatnya untuk “Blink” Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata. Jakarta: PT. Transmedia, 2006, hal. 131

1 komentar:

Anonim mengatakan...

See Here or Here