Minggu, 23 Maret 2008

Fiksi Tentang Dunia Masa Depan:

Angkasa Manusia

Oleh:
Nurani Soyomukti*)




DUNIA pernah merengek dalam otaknya.


Semua desa semua kota yang telah dilihatnya termakan usia kabel listrik yang mengikat satu-satunya peradaban yang ditinggalkan, tapi seakan masih berputar-putar di kepalanya. Dia telah meninggalkan satu ruang hampa di angkasa di mana ia telah melihat-lihat secara teliti bumi dan isinya dari kejauhan. Berarti cita-citanya untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang pernah diceritakan kakeknya telah terwujud. Sayapnya menjadi budak keinginnya, beberapa kepakan ia telah bisa meluncur melebihi kecepatan cahaya.

Tahun 9008.

Ia kini telah terbang lagi dan ingin mampir di suatu tempat. Dan ia juga pasti akan pergi ke tempat lain dan pindah ke tempat lain lagi sekedar untuk menuruti peran angina pada sayapnya, yang pada saat mendekati planet bumi udara itu hanya rebut di ketiak pelacur malam yang keringatnya berbau kemenyan.

Ia masih terbang dan bumi telah jauh ditinggalkan. Tapi ingatannya masih lekat pada planet itu karena nenek moyangnya lahir di sana. Di planet itu pula berbagai musim yang mengunyah nama-nama indah yang sekedar mengikuti tuntutan merk-merk celana dalam yang harganya memuncak pada depresi ekonomi manusia bumi pada tahun 3070-an. Kata-kata kakek moyangnya konon tak lagi laku karena manusia penghuni bumi tiba-tiba tak lagi menyukai puisi, setelah sebelumnya banyak telinga yang asyik mendengar jeritan wanita Cina yang diperkosa di Jakarta pada beberapa abad sebelumnya yang gaungnya masih terdengar beberapa abad kemudian.

Ia memang pernah mendekati planet itu pada suatu jarak tertentu. Planet itu memang seperti mati. Tapi ia sadar, barangkali ia tak memperhatikan seluruh permukaannya.
Ia sudah menempuh jarak yang jauh. Kini ia lambatkan kepak sayapnya, suatu anggota badan yang bisa membawanya terbang sesuai kecepatan yang ia inginkan. Anggota badan itu adalah hasil evolusi ribuan tahun, hingga makhluk sejenis ia mampu mewujudkan cita-citanya, menjelajahi jagat yang dulu oleh generasi nenek moyangnya dianggap sebagai utopia.
Pemuda itu jadi teringat cerita kakek buyutnya, bahwa evolusi jagat telah membuat umat manusia tidak hanya tersebar di atas bumi yang pada akhirnya menjadi planet paling membosankan. Bahkan belakangan akhirnya planet itu sepi penghuni. Evolusi itu adalah hasil dari kontradiksi alam, yang pada waktu-waktu panjang setelahnya menghasilkan kualitas baru pada keberadaan materi-materi di jagat ini.

Dan orang-orang sejenis kakek buyutnya harus menghadapi masalah besar. Beberapa ribu tahun setelahnya, orang-orang ditemukan bisa terbang, karena tak mungkin bisa hidup di dalam laut setelah cairan es di kutub utara meleleh akibat pemanasan global. Hanya ada beberapa pulau yang masih bisa ditinggali, tapi orang-orang berebutan untuk menempatinya. Entah masih ada atau tidak pulau itu sekarang.

*
Kini ia telah sampai di angkasa bebas. Planet bumi tak lagi kelihatan. Di sekelilingnya bertebaran batu-batu langit yang indah, dalam berbagai ukuran, beberapa di antaranya mirip dengan wajah manusia, juga ada yang mirip rumah.

“Mungkin para pengembara angkasa telah membentuknya”, gumamnya, “Inikah kemampuan artistic yang bisa dilakukan di mana saja oleh manusia-manusia angkasa. Apakah mereka selalu singgah di batu-batu indah yang mirip rumah untuk menulis puisi, lalu terbang ke lain tempat untuk memberikan puisi itu pada manusia angkasa lainnya?”

“Konon di jaman kakek moyangku puisi-puisi itu bisa dibaca setelah dicetak jadi buku lalu diperjual belikan. Bahkan tak banyak orang yang menulis puisi karena sebagian besar manusia hanya hidup untuk memenuhi perutnya. Hanya manusia-manusia yang tinggal di gedung-gedung mewah dan kalangan tertentu yang sering membuat puisi. Kini manusia-manusia bebas terbang dan bikin keindahan apa saja di mana-mana: mengukir bintang, menulis kata-kata pada kabut angkasa, dan memahat nama kekasihnya di batu-batu yang bertebaran”, gumamnya.

Gumamnya berhenti ketika ia harus memfokuskan pandangannya di sebelah benda berupa bebatuan yang agak jauh di sana. Ada sesuatu yang bergerak ke arahnya. Mendekat, memiliki sayap seperti dirinya. Itu juga pasti manusia, pikirnya. Dan dia juga pasti senang terbang mengembara.

Ia lambaikan sayapnya. Dan makhluk di kejauhan itu mendekat. Seorang gadis cantik berambut pirang, bersayap perak mengkilat, dengan bulu-bulu yang lebih pendek dari miliknya.

“Hai!”, sapanya.
“Hai”, jawab gadis yang bulu-bulunya kelihatan lembut itu.
“Dari mana saja engkau melampiaskan impianmu?”
“Aku sedang mencari sesuatu. Apakah kau memiliki alat pencatat waktu?”
“ Tahun 9008; hari ke 221; pukul 08.45… Oh ya, dari mana saja kau mampir? Dan tempat apa yang membuatmu begitu cantik?”

Gadis itu tersenyum tersipu. Begitu manis. Pemuda itu mendekat, dia menghampirkan hidungnya pada rambut yang terurai itu. Dan gadis itu juga mengenduskan hidunya ke sayap pemuda itu.






“Aku dari suatu bintang yang indah. Aku akan membawamu ke sana kalau kau menginginkannya. Kamu pasti baru mengembara mengitari planet bumi. Lihatlah, nafasmu juga berbau besi”.

“Mari kita bercerita dulu agar segala sesuatu bisa terjadi”.

Keduanya mengepakkan sayap, terbang menuju sebuah pulau batu bercahaya. Namanya adalah Bintang Kejora.

“Tentang pertanyaanmu mengenai bumi… aku tak hinggap di sana. Aku hanya melihat dari suatu jarak. Aku senang, karena dapat membuktikan apa yang sering dikisahkan kakek nenekku dulu. Aku meneliti. Dan hasilnya akan kusebarkan untuk manusia-manusia angkasa seperti kita”, ia memulai ceritanya.

“Kamu belajar sejarah?”

“Ya. Itu pesan kakekku dan aku ingin jadi orang yang pandai bercerita seperti dia. Di angkasa kita jarang berjumpa dengan manusia-manusia yang sama, bukan? Karena kita lebih senang berkeliling dan mengembara merayakan keberadaan galaksi yang begitu luas. Pertemuan yang singkat akan berguna bila menghasilkan banyak cerita, banyak kata-kata tentang riwayat kehidupan.

“Konon dulu bumi begitu penuh sesak. Dan karena itulah ia tak begitu mampu menampung kehidupan, selain karena ada beberapa manusia serakah yang ingin berkuasa sendiri dan mengusir manusia-manusia lain. Ada yang membuat senjata pemusnah massal agar ia berkuasa dengan mesin-mesin mematikan”.
“Oh, apa yang sebenarnya terjadi di bumi?”, Tanya gadis itu penasaran.

Lalu pemuda itu melanjutkan ceritanya:
... Di bumi, berbagai musim itu sebenarnya telah menghafal nama-nama orang besar di sana yang kadang diabadikan di museum, kadang nama-nama nabi dan bahkan para pengacau Negara yang paling terkenal, yang terpahat pada dinding-dindingnya yang pandai memilih ruang. Buyutku sempat mampir ke museum itu beberapa abad yang lalu: Manusia-manusia di sana yang berdesak-desakan tengah asyik melihat tubuh tuhan yang menjadi mumi terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Banyak yang merasa kehilangan atas kematiannya sepuluh abad sebelumnya—sebelum Tuhan sendiri tak sempat melihat wajah-Nya sendiri di layar TV untuk memberi kata sambutan dalam upacara rutin hari-hari manusia yang menerima beribu-ribu peran yang hampir sama tetapi sulit dijelaskan oleh para ilmuwan yang kebanyakan waktu itu hanya bisa menghasilkan obat sakit kepala, sikat gigi, sabun mandi; juga tak mampu dikonseptualisasikan oleh para ideolog-ideolog gila.

Tapi, seperti kakekku, ada sebagian kecil manusia-manusia bumi yang suka mengembara. Ia selalu membawa satu sisa peranan yang dipelajari dari pencarian akan keyakinan hidup saat dunia senantiasa merengek-rengek seperti bayi. Dan buyut perempuanku, bagai seorang ibu yang menciumi bulan kesayangannya pada hari yang telah tiba. Ia yang berparas cantik, mungkin sepertimu, meninggal dunia sebelum kakekku mengenal A-B-C. Ayahnya pergi lebih dahulu lima tahun setelah ibunya melahirkannya, terbunuh dalam perang sengit antara hutan belantara dan gedung bioskop.

Aku, yang baru melihat berjuta-juta perang di atas bumi, merasa bangga memiliki seorang buyut yang menyucikan dirinya dengan cara memasukkan tubuhnya ke layar lebar. Setelah itu, kata kakekku, beliau terbunuh dalam adegan film horor yang pertama pada abad duapuluh—konon sebagian penonton saling memeluk lawan jenisnya, dan mereka tiba-tiba menjadi monyet-monyet yang telah terseleksi sesuai dengan kemampuannya membeli tiket masuk.
Kakekku adalah tipe orang yang menuliskan riwayatnya sendiri, juga tentang dunianya yang dialami. Ia berikan catatan-catatannya pada ayahku, lalu ayahku mewariskannya padaku.
Dalam riwayat itu dikisahkan bahwa kakekku pernah masuk ke gedung bioskop—saat pula yang terlihat di layar lebar hanyalah peran-peran yang pernah ia jalani. Iapun merasa harus segera keluar dan menjalani perannya sendiri. Lalu berjalanlah ia dari waktu ke waktu, menyusuri hutan-hutan, pepohonan, besi dan kawat yang lebat. Setiap kali, yang bernama keinginan dalam aliran darahnya merambat seperti mobil-mobil yang meninggalkan kantor, hotel, dan restoran. Dia belum pernah tersesat dalam aliran darahnya sendiri, kecuali dalam bahasa dan argument-argumen.

“Tunggu dulu”, gadis cantik itu menyela, “Berapa umur kakekmu?”

“Kurang lebih empat ratus tahun”, jawab pemuda itu.

“Oh, ya ampun. Evolusi itu begitu sempurna. Berarti kita akan berumur lebih lama dari itu”.

“Ya, karena kita manusia angkasa. Harapan dan kenyataan kita selalu nyambung. Kita bisa terbang kemana saja, kita tak ada beban-beban psikologis. Zat-zat di angkasa juga membuat tubuh kita awet dan tetap muda”.

“Betapa nelangsanya manusia-manusia bumi”.

“Kakekku setelah masa transisi, awal hilangnya manusia-manusia bumi hingga beranak-pinaknya manusia angkasa seperti kita. Jadi kisahnya agak trajik”.
“Berbahagialah kita manusia angkasa. Tak seperti di sebuah planet yang bernama bumi”, gumam gadis itu. Sayapnya terlipat, dan kepala dengan rambutnya yang terurai disandarkan pada pundak pemuda itu. Lalu dia kembali berucap: “Apalagi yang ditulis oleh kakekmu yang, menurutku, legendaries itu?”

Kakekku bercerita dalam buku riwayat itu, kalau keyakinan yang dipegangnya bisa membimbingnya pada tempat mana saja yang bisa dituju, kebanggaan pada apa yang dijalaninya akan melantunkan lagu-lagu cinta yang mengalir bagai sungai-sungai yang belum tercemar oleh industri kemunafikan.
Ia menuliskan:

… aku menari-nari dan menyanyi saat keluar dari batas kota tempat menjalani ritualitas peran tubuh: melayani listrik, melayani obat sakit ginjal, memberi hormat pada kulkas, memberi makan anjing penjaga pabrik alamat kelamin, menyusuri jalan dalam kabel tilpun, sesekali menyembunyikan diriku yang lelah dalam flasdisk—ataupun menjalani kenyataan bahwa bumi yang merindukan hutan belantara sedang mengandung anak-anak gedung yang terbuat dari kaca.

Diagnosa keyakinanku mengatakan bahwa dugaanku pada masa depan itu telah melampau batas yang ditetapkan oleh malaikat-malaikat dan bidadari-bidadari cantik malam ini. Aku akan terus berjalan sepanjang imajinasiku dapat merealisasikan kebekuan-kebekuan cinta masa lalu. Dan ini adalah kemampuanku bercakap-cakap dengan hawa malam; hanya karena aku telah menyangkal hari-hari yang panjang, keinginan yang menghiburku tentang perjalanan esok hari.

Aku adalah penjual suara-suara melodi Cinta pada alam yang kulewati, musim yang memanggil-manggil sesuatu yang dipuja oleh segala ciptaan Tuhan—manusia yang datang dari lembah-lembah kerisauan.


Pada saat beliau tiba di situ, bukit cinta terletak di sebelah utara desa, tempat kakekku mampir minta belaskasihan pada orang yang menunggu musim hujan. Waktu itu mereka tak me,mberi apa-apa. Mereka sendiri juga kelaparan. Dan kakekku baru tersadar bahwa kemarau panjang telah mengeringkan sungai-sungai kerinduan, membuat kepercayaan pada takdir menjadi dangkal.

Dilanjutkannya perjalanannya melalui berbagai bukit dam lembah yang belum pernah diperkosa besi baja. Diterjangnya kemarau dan hujan. Lalu ia sampai pada sebuah malam. Ia bercakap-cakap dengan udaranya yang dingin—itulah salah satu kemampuannya dengan bagian dari alam.

Kakekku waktu itu bergumam:

Malam apa ini, Tuhanku? Lembah yang luas memiliki malam yang penuh kunang-kunang, meskipun bulan menyembunyikan wajahnya di punggung gunung yang terbaring, seperti menggeliat, bagai tubuh yang terangsang bara kasih cinta alam Tuhan, dan yang berkata: ‘Kemarilah kau bulan!’

Malam yang aneh, Tuhan. Mengapa malaikat yang cantik itu tak mau datang untuk menari-nari bersama melodi cintaku. Kenapa mereka sepertinya meninggalkan tempat ini, bahkan sebelum membuat batas-batas untuk mengukur berapa luas hutan ini? Siapakah yang menjamah hutan ini sebelum diriku datang kemari? Bukankah tiada seorangpun yang berani memasuki hutan kebesaran-Mu tengah malam begini selain aku? Kenapa tak ada yang menyambutku sebelum aku melanjutkan perjalanan, sebelum matahari beringsut membuka wajah paginya?


“Tahukah kau, itulah awal berbagai kejadian aneh di atas bumi sebelum kejadian yang dahsyat itu datang meluluhlantakkan peradaban bumi manusia kala itu!!??”, ungkap pemuda itu pada gadis manis berambut indah bersayap perak yang dari tadi terus menikmati kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu.

“Lalu, evolusi itu terjadi begitu panjang hingga manusia angkasa menjadi spesies yang bertahan hidup, dengan cara membuat sayap, dan dipenuhi dengan impian lebih tinggi… Tapi sayap ini seperti tumbuh begitu saja, seakan sudah ditakdirkan Tuhan”, kata gadis itu.
“Mungkin nenek moyangmu pernah bercinta dengan burung dan turunlah gennnya. Sebab dikau cantik seperti burung merpati”.

“Ah, engkau bisa saja. Kau juga mirip elang”.

“Yang jelas apa yang terjadi di dunia ini adalah sebuah kejadian yang luput di dalam hati. Kukira itulah yang menyebabkan segala sesuatu seakan telah ada tanpa sebabnya”, tukas pemuda itu. Ia diam sebentar, kemudian memandangi gadis itu dan berkata:
“Oya, di manakah tempat indah yang kau maksud tadi? Apakah kau masih punya ayah-ibu dan saudara yang tinggal di sana?”
“Tidak. Aku sendiri. Aku temukan tempat itu, dan aku menghiasnya. Aku namai sendiri bintang itu”.
“Kau hebat..”
“Dan aku ingin seorang menulis kisahnya”.
“Aku mau menulisnya, untukmu!”
“Kita akan kesana sekarang?”
“Kita juga akan bercinta, kan?”
“Membuat anak?”


Dua manusia muda-mudi itu terbang meninggalkan bintang itu. Mereka beriring-iringan. Kini bintang itu sepi. Tapi tidak mencekam seperti bumi.

***

Retype in Jember, 19 Maret 2008

Tidak ada komentar: