Sabtu, 08 November 2008

Pengantar Penulis, dari buku BUNG KARNO DAN NASAKOM:

Melanjutkan Ajaran NASAKOM Bung Karno

Judul Buku: “BUNG KARNO dan NASAKOM”
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi Book, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2008
Tebal: xii+287 halaman
Harga: Rp 38.000,-


“Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat—kafir; radio dan kedokteran—kafir; pantolan dan dasi dan topi—kafir; sendok dan garpu dan kursi—kafir; tulisan Latin—kafir; ya bergaulan dengan bangsa yang bukan Islam-pun—kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi... dupa dan kurma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan mengenggam tasbih yang selalu berputar—dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan komoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”
(Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 340)

***
“Islam harus berani mengejar jaman… bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat ‘mengejar’ seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman—itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang-gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat aja
ran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936, dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?
… Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syari’at? Lupakah kita, bahwa hukum Syari’at itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau jaiz ini! Alangkah baiknya, kalau ia ingat, bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh berradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka—perjuangan inilah yang Kemal Ataturk maksudkan, tatkala ia berkata, bahwa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi Islam adalah perjuangan’. Islam is progress: Islam itu kemajuan!”
(Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga).
Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 334)


***
“Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka—nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari
nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan—nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti… Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup”.
(Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 5-6)

***
“Teori sosialismelah yang membawa kita pada pengertian tentang keadaan-keadaan objektif di dalam masyarakat Indonesia di masa sekarang dan masyarakat dunia. Teori sosialismelah yang memberi pengetahuan pada kita bahwa tingkatan Revolusi kita sekarang tak mungkin lain daripada tingkatan Nasional. Teori sosialismelah, dan bukan teori borjuis, yang menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme”.
(Bung Karno, “Sarinah”, hal. 298)

***
“Siapa—kalau ia benar-benar Manusia, dan bukan makhluk tanpa arah—yang membantah kebenarannya benang merah dalam ‘Manifesto Komunis”, bahwa sebagian besar ummat manusia ini ditindas, di-“onderdrukt” dan di-uitgebuit” oleh sebagian yang lain, sehingga akhirnya ‘kaum proletar tak akan kehilangan barang lain daripada rantai belenggunya sendiri. Mereka sebaliknya akan memperoleh satu dunia baru. Hai Proletar di dunia, bersatulah!’?...
(Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid II.
Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1965, hal. 362)


***
“... kusebut Pak A
limin dan Pak Muso. Kedua-duanya sering bertindak sebagai guruku dalam politik ketika aku tinggal di rumah Pak Cokro... Orang Jawa mempunyai suatu peribahasa, ‘Gurumu harus dihormati, bahkan lebih dari orangtuamu sendiri...
... dia adalah salah-seorang guruku di masa mudaku. Aku berterimakasih kepadanya atas segala yang baik yang telah diberikannya kepadaku. Aku berhutang budi kepadanya.
Yang sama beratnya untuk dilupakan ialah kenyataan, bahwa dia adalah salah seorang perintis kemerdekaan. Seseorang yang berjuang untuk pembebasan tanah-airnya, berhak mendapatkan penghargaan dari rakyatnya...”
(Bung Karno. “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”,
Jakarta: Gunung Agung, 1966, hal. 99-100)


***
“Fakta bahwa kita masih dijajah belum banyak dipahami oleh rakyat atau para pimpinan negeri ini, tetapi hanya sedikit para politisi dan aktivis politik dan segelintir ekonomi. Dan upaya untuk menyembunyikan fakta adanya penjajahan ini juga dilakukan terus-menerus, baik melalui pelajaran sejarah di sekolah maupun dalam berbagai wacana yang berkembang. Bahkan tak jarang para ekonom yang ada, terutama para ekonomi Liberal, yang mengakui bahwa babagan imperialisme adalah bagian dari sejarah ekonomi di Indonesia. Boediono, menteri keuangan di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK), saat memaparkan paper dan pidato pengukuhan guru besarnya di UGM pada tahun 2007, misalnya, sama sekali menghapus fakta imperialisme dalam sejarah ekonomi Indonesia dalam tuliasnnya yang sangat panjang. Ini adalah contoh kecil bagaimana kemunafikan elit kita, entah sengaja menutupi atau memang karena kebodohan”.
(Nurani Soyomukti, “Bung Karno dan Nasakom”, hal. 15)


***
Sejarah perlawanan sengaja hendak dihapus oleh kekuasaan Indonesia yang curang. Sejarah tokoh juga disederhanakan sebagai sejarah kesuksesan dan keagungan pribadi, dan bukan sejarah bangsa yang di dalamnya ada sejarah rakyat (yang melawan) karena penindasan. Karenanya menghapus fakta sejarah perlawanan juga dilakukan dengan menghapus sejarah penindasan.

Sejarah penindasan itu salah satunya adalah sejarah penjajahan, kolonialisme dan imperialisme—yang untuk konteks saat ini masih terjadi dan berlangsung. Fakta itu disembunyikan agar rakyat tidak mengetahui bahwa kesengsaraan mereka disebabkan oleh sesuatu yang sebenarnya bisa dikenali. Imperialisme begitu nyata: pengurasan dan perampasan aset-aset rakyat mulai kekayaan tambang dan mineral, perusahaan-perusahaan komunikasi dan perbankan, hingga berbagai sumber ekonomi yang menguasai hidup orang banyak. Penjajahan itu juga dapat bertahan, memiliki kaki dan tangan, punya anteknya di pemerintahan, lembaga legislatif, partai politik, hingga lembaga swadaya masyarakat.

Dan salah satu cara menyembunyikan fakta penjajahan era sekarang (penjajahan baru)—yang disebut Bung Karno dengan istilah NEKOLIM (Neo-kolonialisme dan Neo-imperialisme)—adalah dengan menghilangkan memori rakyat (khususnya anak-anak muda) pada sejarah perlawanan terhadap imperialisme yang dilakukan oleh para pejuang di masa lalu. Melupakan sejarah berarti melupakan jati diri kita yang sebenarnya. Kehilangan jati diri membuat kita bimbang dan ragu akan keberadaan diri sendiri, yang membuat kita dipermainkan oleh sesuatu kekuatan dari luar—yang menjajah kita dengan wacana-wacana dan ide-ide kebudayaannya. Anak-anak muda begitu fasih menyebut nama-nama artis dan menghafal lirik lagu-lagu, tetapi untuk memahami dan membaca sejarah (perlawanan) bangsanya mereka sulit. Dan memang ada upaya untuk menghilangkan sejarah dari anak-anak itu.

Jika buku ini dimaksudkan untuk melontarkan fakta sejarah, yang jarang dilontarkan, mungkin tujuannya adalah untuk memberikan inspirasi atau semacam gambaran tentang apa yang dilakukan oleh para pejuang bangsa ini di masa lalu. Kita yang telah menikmati hasil dari perjuangan itu, memang masih menghadapi kontradiksi yang sama: penjajahan yang mungkin modelnya berbeda, tetapi tetap saja membuat bangsa kita kian mundur dan tertinggal dibanding bangsa-bangsa lain yang mulai bangkit.

Jika buku ini adalah buku sejarah, maka pertama-tama saya terbebani oleh ketakutan kalau-kalau saya tidak mampu menggambarkan sejarah secara objektif. Karena itulah saya berusaha untuk memilih ’enjel’ berupa sejarah perlawanan Bung Karno dan sejarah perlawanan rakyat, terutama sisi radikalnya. Bisa jadi cara ini beresiko bahwa saya akan memaafkan kisah-kisah individual dari tokoh yang merugikan bangsa. Tidak! Saya tidak mau masuk ke wilayah-wilayah individual yang kadang memberikan citra negatif bagi tokoh itu. Saya mendengar berbagai macam tuduhan dan cerita tentang sisi negatif Bung Karno dari orang lain. Misalnya, Bung Karno itu ”ngacengan” dan tak tahan jika melihat perempuan, Bung Karno pengecut dan antek penjajah Jepang, Bung Karno narsis, Bung Karno itu Jawa kuno yang suka mistik dan seperti raja-raja yang suka mengagung-agungkan diri, dan lain-lain, dan seterusnya.

Saya punya pandangan bahwa, jika kita ingin memberikan inspirasi pada kaum muda dari kisah perjuangan tokoh-tokoh bangsa ini. Ada baiknya kita menonjolkan berbagai kisah yang membuat mereka percaya diri dan menirunya. Fakta bahwa Bung Karno adalah tokoh radikal, Kiri, idealis dan romantis harus kita ketahui dan harus diketahui pula oleh anak-anak bangsa kita.

Bung Karno tetaplah seorang yang radikal hingga menjelang akhir hayatnya. Ia tetap melihat ancaman imperialisme terhadap Indonesia—dan kemampuan itu tak dimiliki oleh para pimpinan negeri ini sekarang. Bung Karno adalah orang yang demokratis karena tidak hitam-putih dalam melihat persoalan. Cita-cita NASAKOM (Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme) adalah warisannya, wasiatnya, yang harus kita terima sebagai senjata pemersatu dan alat membangun negeri. Ketiga ide(ologi) itu adalah produk sejarah (perlawanan) bangsa ini sepanjang bangsa ini lahir dan terus saja berhadapan dengan penjajahan. Selama penjajahan ada, maka NASAKOM akan tetap menjangkiti kita—entah sadar atau tidak!

Memahami dan mempraktekkan nasionalisme secara benar, Islam secara benar, dan komunisme secara benar, serta tidak mempertentangkan antara ketiganya, akan menghasilkan energi atau kekuatan anti-penjajahan yang luar biasa. Tetapi, mempraktekkan ketiganya secara tidak benar, atau hanya memanipulasi ketiganya untuk kepentingan politik sempit, justru akan mempercepat bangsa ini menuju lubang pembantaiannya.

Saat ini kita menghadapi nasionalisme palsu dan sempit, nasionalisme untuk membohongi rakyat! Saat ini kita menghadapi Islam palsu dan sempit, yang hanya kelihatan wajah teroristiknya, formalitas kosongnya, hingga Islam politik yang berwajah memalukan! Sata ini kita berhadapan dengan orang-orang yang sok komunis dan menggunakan komunisme untuk menakut-nakuti di satu sisi, atau anak-anak muda yang sok komunis!

Maka, dengan memahami pikiran Bung Karno kita akan mengetahui siapakah nasionalis sejati, Islamis sejati, dan komunis sejati—yaitu mereka yang memiliki semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari tangan imperialis, yang menghormati perbedaan kepercayaan dan suku, yang tidak memaksakan cara-cara kekerasan yang tidak efektif, yang terlalu jauh meninggalkan kesadaran massa!

Pertama-tama, saya akan mengajak pembaca untuk memahami kontradiksi sejarah bagaimana perkembangan masyarakat Indonesia sebelum Bung Karno muncul dan saat Bung Karno hidup—alam penindasan dan penjajahan. Kedua, saya akan menggambarkan bagaimana riwayat hidup Bung Karno, dari masa kecil hingga tua. Ketiga, saya akan membawa pembaca pada inti dari apa yang ingin saya sampaikan dalam buku ini, yaitu konsep NASAKOM menurut Bung Karno.

Dari uraian itu, saya berharap akan muncul uraian mengenai apa yang dipahami oleh Bung Karno tentang nasionalisme, Islam, dan Komunisme. Lalu penting pula untuk mengetahui latarbelakang, baik objektif maupun subjektif, kenapa Bung Karno menawarkan konsep NASAKOM. Tesis saya adalah: karena Bung Karno anti-imperialis, atau setiadaknya Bung Karno adalah orang yang mendefinisikan atau menyandarkan eksistensinya dengan cara menempatkan diri sebagai orang besar—dan untuk menjadi besar ia harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat (rakyat), kebutuhan rakyat adalah melawan imperialisme. Makanya, Bung Karno akan tetap dikenang rakyat karena kebesarannya.

Tabik! Dan selamat membaca!
-------------------------------------------------------

1 komentar:

agung mengatakan...

bukan nasakom terbukti gagal?
bukunya bisa didapatkan dimana ya?