Suatu hari kau berjumpa dengan hujan.
Engkau mengembara dan mengembara lagi. Lalu kau mampir ke kota itu dan setelah berencana tinggal selama sebulan untuk menuntaskan sebuah gundah, maka kau jumpai lagi hujan lebat selalu turun di suatu sore.
Engkau tinggal di sebuah kamar lantai dua di mana di depan kamarmu terdapat pohon mangga yang waktu itu berbuah lebat. Saat hujan angin suatu sore, beberapa di antaranya rontok. Engkau mendengarnya dari dalam kamar, karena kaupun tak bisa keluar menembus hujan lebat, untuk sekedar membeli makanan atau menjumpai sahabat-sahabatmu.
“Ini memang musim hujan, dan kita tampaknya akan menerima cuaca ini hingga bulan Desember atau Januari tahun depan”, begitulah kau katakan padaku suatu malam saat hujan telah tuntas tetapi jalanan basah. Waktu itu kita sedang berbincang di tepi jalan, di sebuah warung kecil di mana ibu penjualnya memberimu kopi terbaik di kota itu.
“Iya, tadi aku hanya bisa berdehem di kamar. Hujan lebat. Beberapa buah mangga jatuh di depan kamarku. Entah siapa yang memungutnya kemudian... “.
Menerima hujan yang lebat, kadang aku memang merasa nyaman. Karena seperti ada yang mencurahkan air dari atas, jadi seakan ada yang melindungi kita di atas sana, yang seakan selalu memberi. Menerima air hujan juga mengingat kembali musim yang lalu. Aku dibawa masuk menuju kenangan dalam lorong kamarku yang bolong bagian atapnya
Kupandang senja dari balik jendela, bingkai rindu yang seperti membatasi cuaca. Kemarin lusa kuterima massage dari seorang kawan di Jakarta: “Sini juga hujan lebat Kawan… bahkan aku takut banjir akan dating lagi”.
Lalu aku harus kembali mengingat kenangan itu dari jendela kamarku, saat hujan. Kamarku terletak di lantai dua berhadapan dengan jalan, di depannya ada dua pohon mangga yang berbuah. Aku tidak memetiknya karena musim hujan membuat kita malas untuk makan buah-buahan.
Kamar ini memudahkan aku memungut kenangan, dari jendela. Di luar seakan terlihat Bundaran Hotel Indonesia, yang pernah bergelantung di pintu bus bersama kepala berkeringat. Hari ini seperti terlempar ke luar dari pintu jendela kamar. Seakan masih ada poster di dindingnya memuat seruan “Bentuk Pemerintahan Sementara!” Jalanan sana mengingatkan kembali:
Dalam keadaan tubuhmu yang berkeringat, kau boleh terjun di air kolam yang dicintai pancuran dengan terpaksa. Setelah lelah mengitari jalan bulat,
Seperti dapat mengelilingi dunia dengan cara yang cepat.
Air adalah bagian kehidupan yang paling kucintai, katamu suatu senja.
Lalu kau menceritakan bahwa lebih baik banjir dari pada kebakaran hutan.
Dan aku memilih bukan kedua-duanya.
Kadang hidup ini dapat kita sentuh bila kita menikmati salah satu bagiannya, balasmu.
Aku setuju, seperti senja sore itu, ketika dunia dihimpit oleh siang dan malam, jalan-jalan Jakarta berada dalam dunia kecilnya yang paling molek.
Malamnya batas hidup dan mati begitu tipis,
dunia begitu sesak seperti uang receh yang jatuh dalam seguci tuak.
Karena mereka membakar dirinya sendiri, balasmu.
Jadi kau lupa bahwa airpun juga bisa membakar tubuh dan jiwa manusia, seperti di banyak diskotik dan pub kota ini. Banyak momen yang membuat air membuat tubuh dan hati manusia perih.
Bukankah kita juga pernah terkena gas air mata, tukasku.
Lalu mulai hari itu, 22 Mei 1998, kau mencatat aristoteles.
Dunia bukan hanya terbuat dari air, tetapi juga tanah, udara, dan api. Dunia juga terbuat dari benci dan cinta, spanduk milik demonstran dan tank-tank baja milik tentara.
Juga bukan hanya api yang membakar bisa menghanguskan gedung-gedung kota kita, tapi sebuah misteri yang hingga saat ini masih kita cari.
Lalu kita mengakhiri diskusi menjelang maghrib, meninggalkan sisa-sisa nasi bungkus berlebih dan berceceran di taman-taman.
***
Sore ini hujan turun lagi, begitu lebat.
Memang ini baru awal musim.
Kau ingat 27 Juni 2004, waktu hujan belum juga tiba?
Kali ini engkau benar, Kawan. Bagian kehidupan yang paling layak dicintai adalah air, yang dapat menyegarkan perasaanku hari ini. Karena aku juga membayangkan seorang perempuan cantik di kejauhan sana sedang berbaring, baru saja ia berkata padaku melalui telfon: “Sayang, hujan-hujan kayak gini enaknya tidur. Dan kapan kau kembali? Tak perlu menunggu pergantian musim, bukan?”…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar