Minggu, 23 November 2008

Parenting:

Sesat Pikir Merawat Anak ala Kapitalisme

Nurani Soyomuti, penulis buku “INTIMACY—Menjadikan Kebersamaan dalam Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak sebagai Surga Keintiman”

Orangtua yang gagal mendidik anak biasanya tak memiliki pemahaman terhadap perkembangan masyarakat. Pada hal pemahaman tentang situasi lingkungan dan kehidupan yang sedang kita hidupi sangatlah penting, karena dari sanalah semua ide(ologi) d
ominan menyebar ke masyarakat, terutama anak-anak dan generasi muda yang baru tumbuh. Orangtua yang tak memiliki pemahaman terhadap situasi sosial dan lingkungan biasanya akan mendidik anak berdasarkan petunjuk dan pengetahuan dari kekuatan yang dominan dan yang ingin berkuasa.

Mereka tidak tahu bahwa mereka adalah perantara antara materi baru (anak) yang lahir dalam kehidupan yang akan menjadikan anak untuk menghadapi kehidupan dan mentransformasikannya dalam mentalitas dan melalui gerakan. Anak- anak adalah barisan dari mereka yang bergerak mengatasi kehidupan yang timpang, dan bukannya semata harus tumbuh sebagaimana kehidupan itu membentuknya. Kehidupan tidak netral, tetapi penuh kekuatan-kekuatan material produktif yang bertarung, dan kekuatan yang mendominasi akan membentuk generasi yang baru tumbuh agar nantinya akan sesuai dengan kekuatan yang dominan itu. Intinya, kekuatan dominan telah berusaha membentuk anak-anak kita secara mental, kognitif, afektif, dan psikomotorik (psikologis) terhadap anak-anak kita.

Kalau kita ingin
menanamkan perasaan peduli pada anak, ternyata landasan mental bagi tumbuhnya kepedulian berusaha dihancurkan oleh kekuatan luar itu (kapitalisme, yang dikendalikan pemilik modal). Karenanya jalan menuju pembangunan karakter anak yang penuh kepedulian juga harus keluar dari rel di mana kapitalisme berusaha mengarahkan orangtua membentuk anak sesuai cara mereka.

Berikut ini adalah jalan yang ditonjolkan ideologi kapitalis bagi orangtua dalam mendidik anak:


Ø Kebahagiaan yang dipeoleh dengan pemenuhan material (konsumerisme)
Orangtua seringkali beranggapan bahwa pemenuhan materi bagi anak-anak hanyalah salah satu yang paling menjelaskan kebutuhannya. Anak-anak diajari untuk memakai barang-barang mewah, dibelikan semua mainan yang diinginkan, yang kadang juga tak lepas dari gengsi yang muncul: pada saat anak tetangga atau orang lain memiliki, maka anaknya juga harus memiliki, kalau bisa yang lebih bagus. Merasa tak memenuhi kebutuhan dan atribut bagi anak akan merasa malu.


Orangtua semacam itu tak sedikit yang saya jumpai. Anak seakan diperalat untuk meningkatkan narsisme dan kebanggaan diri. Ketika anak-anaknya memiliki berbagai macam mainan mewah, pakaian bagus, dan lain-lain orangtua merasa puas. Kadang setiap rengekan dan keinginan anak juga akan dipenuhi. Orangtua yang suka pamer semacam ini sebeanrnya adalah korban narsisme diri yang telah dibentuk oleh sistem kapitalis.

Ø Kesuksesan pribadi
Kesuksesan pribadi adalah ajaran individualisme ala kapitalis yang membuat orang harus mati-matian mengejar kesuksesannya (dengan berbagai ukurannya sendiri) yang akhirnya membentuk watak egois dan filsafati yang buta pada realitas kebersamaan dan hubungan sesama manusia. Bahwa ukuran segala sesuatu adalah pribadi, tujuan hidup manusia dianggap hanya bisa diperoleh dengan memaksimalkan potensi pribadi untuk kepentingan pribadi.
Cara pandang individualis-kapitalis itu sangat menyesatkan. Menyesatkan karena ia memang cara pandang yang bias kepentingan kelas, yaitu segelintir kelas kapitalis (pemilik modal) yang tujuannya mencari keuntungan pribadi dan perusahannya. Cara pandang semacam itu hendak dipaksakan pada orangtua yang diharapkan akan mendidik anak-anaknya dengan prinsip itu. Pada hal kapitalis menggapai keuntungan pribadi itu dengan mengingkari hak-hak orang lain: kita melihat bagaimana untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka menindas buruh (memberikan upah yang tak layak, memenjarakannya dalam kondisi kerja yang buruk, dan tak jarang juga memperlakukan buruh anak-anak pada saat anak-anak harus belajar dan bermain demi mem
bentuk karakter kemanusiaannya). Lihat pula ulah kapitalis besar yang tak malu membunuh dan membombardir bom ibu-ibu dan anak-anak hanya demi keuntungan dan modal. Modal, kesuksesan pribadi, adalah nabi-nabinya.

Kita butuh pemikiran kritis dan tak hanya menekankan ukuran kesuksesan individu anak hanya sebagai keberhasilan mereka agar mendapatkan kerja yang bagus dan menang dalam bersaing dengan orang lain. Paham kompetisi yang duagung-agungkan oleh kapitalisme menganggap bahwa satu-satunya merubah nasib dan kemajuan masyarakat akan terjadi dengan persaingan antar individu, tanpa memedulikan bagaimana kondisi tiap-tiap individu itu. Inilah yang menyebabkan terjadinya kondisi “manusia memakan manusia” (homo homini lupus). Karena Anda memikirkan bagaimana Anda sukses demi dan dengan cara menggunakan apapun yang anda bisa, karena orang lain juga demikian, maka Anda akan menggunakan cara-cara apapun (tanpa menggunakan ukuran atau nilai kolektif) agar tak kalah bersaing—agar kalau perlu menang.
Jadi ajaran individualisme dan kompetisi membuat pribadi-pribadi yang kalah bersaing dengan cara normal atau bermoral akan meninggalkan cara-cara itu.

Anda punya anak perempuan yang mulai menginjak dewasa, ia harus bersaing agar sukses dalam hidupnya. Sayangnya Anda tak mampu membekali dengan pengetahuan dan ketrampilan kerja, bahkan negara juga tak mau memberikan pendidikan dan pelatihan (subsidi pendidikan dicabut dan sekolah semakin mahal). Apa yang terjadi pada anak perempuan Anda? Dia kalah bersaing dengan modal dan potensi individu yang tumpul. Maka apa yang bisa ia lakukan dan apa yang dapat Anda lakukan sebagai orangtua agar ia mampu bertahan hidup atau tentunya diharapkan bisa hidup layak?

Anda akan menikahkannya dengan laki-laki kaya agar anak Anda bisa berlindung dengan kekayaan dan mendapatkan kenyamanan finansial karena menjadi bagian dari laki-laki kaya? Iya kalau laki-laki itu baik hati dan mencintainya dengan tulus. Bagaimana kalau laki-laki itu hanya menginginkan kecantikan fisik anak Anda atau hanya ingin agar anak perempuan Anda menjadi pelayannya yang memenuhi kebutuhan seks laki-laki itu, memasakkan, mencucikan pakaiannya, hingga merawat anak-anaknya?

Ideologi kesuksesan pribadi dalam masyarakat di mana semua modal dan sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir orang (kapitalis) tampaknya adalah ajaran palsu yang membodohi. Ajaran itulah yang membuat anak-anak kita tak mampu melihat hubungan universal dalam kehidupan dan hubungan antar manusia.

Ajaran kesuksesan pribadi dan individualisme yang membabi-buta semacam itu biasanya akan membuat orangtua mendidik dan mengatur anak secara ketat dan mengontrol cara-cara agar tujuan itu terpenuhi. Anak harus begini-begitu karena ia harus jadi seperti ini atau itu. Potensi anak termatikan karena orangtua begitu mengatur anak agar anak menjadi A atau B, sesuai keinginannya. Pada hal mau jadi apa anak tidak harus ditetapkan oleh orangtua, tetapi lahir dari bakat yang ditentukan oleh perkembangan potensi-potensi yang lahir dari pengetahuan dan keinginan di masa pencarian anak-anak kita.

Apalagi ukuran kesuksesan bukan hanya materi dan kekayaan. Kekayaan material bahkan dalam banyak hal membuat potensi mental dan pengetahuan menjadi rusak, sebagaimana kemiskinan juga merusak potensi yang sama. Mengejar kekayaan material dengan cara yang obsesif, atau k
ondisi kekayaan yang berlebihan, sebagai mana kondisi kemiskinan yang berlebihan, menyebabkan jiwa manusia rusak.

Ketika orang berada dalam kondisi kekayaan yang berlebihan dan segala kebutuhannya terpenuhi, hidupnya tak akan diliputi dengan pencarian-pencarian akan hakekat kehidupan. Orang yang berada dalam keadaan senang secara terus-terusan, tanpa mendapati kondisi kontradiksi dalam diri, pikirannya tak akan terlatih untuk memikirkan realitas—karena ia terbiasa untuk tidak berpikir, tak terbiasa menggunakan otaknya, terbiasa bodoh.

Karenanya anak-anak yang hanya dicekoki dengan materi, yang terbiasa kita penuhi segala kebutuhannya, akan menjadi anak-anak yang otaknya tumpul. Kecerdasan universal dan sosialnya tak terbangun. Anak-anak itu tak dididik bahwa untuk memperoleh segala sesuatu butuh proses atau kerja, karenanya ia akan tumbuh sebagai orang yang pragmatis, oportunis, dan korup—itulah anak-anak Indonesia selama ini. Korupsi adalah budaya yang awalnya lahir dari ketidakmauan/ketidakmampuan individu-individu (anak-anak keturunan priyayi) untuk berproduksi dan berpikir, mereka tak menghasilkan kecuali menghisap rakyat dari upeti dan pajak, pada saat godaan dunia dan kekuasaan semakin besar. Korupsi dalam Indonesia modern lahir dari birokrasi yang juga tak produktif, tetapi godaan konsumtif akibat globalisasi kapitalis membuat para pejabat untuk membeli lebih dan lebih (bermewah-mewahan), sehingga mereka mencuri uang negara untuk tujuan itu.

Ø Mengejar popularitas dan mengidolakan penghibur (artis-selebritis)
Orangtua yang tak punya prinsip tentang bagaimana membentuk anak—bahkan mungkin tak paham memb
entuk dirinya sendiri di masa mudanya—tampaknya juga akan mudah tergoda untuk membentuk anak-anaknya sesuai dengan kesemarakan kebudayaan pasar. Mereka menempuh jalur pragmatis agar anaknya sukses sesuai dengan cara berpikirnya yang hendak dipaksakan pada anaknya.

Ambisi orang tua (terutama ibu-ibu) untuk menjadikan anaknya sebagai ikon TV kini semakin meluas sejak dunia enterteinmen juga membuka partisipasi yang lebih longgar dengan munculnya acara-acara seperti AFI versi anak, pemilihan mubaligh anak, pemilihan presenter anak, dll. Di tengah-tengah godaan globalisasi pasar yang membutuhkan biaya besar untuk melakukan ritualitas konsumsi material dan komsumsi budaya, menjejalkan anak ke dalam dunia TV menjadi cara mudah untuk menegaskan status, kekayaan, popularitas, kekuasaan dalam masyarakat pasar. Sebagian orangtua bahkan juga memanajeri anaknya sendiri untuk mempertahankan dan meningkatkan popularitasnya. Seperti terjadi pada artis remaja Marshanda yang dimanajeri sendiri oleh ibunya.

Dunia selebritis memang menjadi corong corong dari kebudayaan dan gaya hidup. Kiblat bertata bahasa, mendefinisikan diri (tubuh, perasaan, pikiran), dan cara memaknai relasi sosial memang selalu bersumber dari bagaimana artis-selebritis melakukannya. TV adalah media paling dekat dalam komunitas keluarga di mana anak-anak tumbuh. Sedangkan ucapan dan ide-ide artis-selebritis muncul paling banyak.

Konon setelah kesuksesan Joshua, banyak ibu-ibu yang memasukkan anaknya ke lembaga-lembaga pelatihan model dan akting. Mereka juga begitu getolnya berusaha agar anaknya dapat menjadi bintang terkenal. Karena memulai karier sebagai artis mulai anak-anak berarti merebut popularitas sejak dini.

Dalam pengertian tersebut, Agnes Monica juga tidak bisa dilupakan sebagai icon sejarah artis-selebritis yang secara tak terhindarkan selalu dijadikan contoh bagi ibu-ibu yang menginginkan anaknya sering muncul di TV ini. Bagaimana tidak, Agnes Monica, yang sekarang menjadi artis yang berpenghasilan paling mahal dan sekaligus terkenal sangat produktif dan kreatif (serba bisa) memainkan perannya sebagai artis (penyanyi, pemain sinetron, presenter, bintang iklan, koregrafer, dll), telah memulai kariernya sejak dia menjadi “bintang cilik” ketika bergabung di “Trio Kwek-Kwek”. Selain berbakat, konon profesionalitasnya memang didukung oleh kedesiplinan dalam mengikuti kursus-kursus kepribadian dan pelatihan-pelatihan serta dilakukan dengan manajemen yang baik.

Pada hal artis-selebritis sendiri bukanlah manusia yang dianggap sebagai acuan. Bahkan tak jarang para pengamat budaya mengatakan bahwa kalangan tersebut memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan generasi.
[1] Salah satu pengamat budaya itu, Michael ReGault, bahkan mengatakan bahwa para artis selebritis tak lebih dari ”orang barbar”: ”Orang-orang barbar tak lagi mengempur gerbang kota kita, mereka sedang makan malam bersama kita. Nama mereka adalah J. Lo, Ja Rule, dan Paris Hilton”.[2]

Pendapat ReGault patut kita pertimbangkan pada saat serangan budaya selebritis Barat memang t
elah berhasil membuat anak-anak kita ingin menirunya. Lihatlah penampilan Agnes Monica atau (belakangan) Cinta Laura yang lagu, video klip, dan tampilan panggungnya menjiplak hampir seratus persen gaya Britney Spears, yang sensua dan menggoda—dengan suara atau kemampuan vokal yang tidak istimewa sama sekali. Jadinya, anak-anak kita kita masukkan pada ruangan budaya di mana mereka hanya bisa meniru para artis. Mental meniru ini telah menghancurkan mental kreatifitas dan mental yang menuntut anak-anak menciptakan sesuatu untuk diri mereka sendiri.

Anak-anak perempuan harus dibiasakan untuk mengumbar tubuh demi popularitas, harus menghafal lagu-lagu agar dianggap tidak gaul sehingga mereka lupa belajar untuk mencari ilmu pengetahuan. Mereka harus hidup untuk merayakan narsisme diri, dan bukan untuk peduli sesama.

Catatan Kaki:
[1] Lihat Nurani Soyomukti. Selebritis Gitu Lho(h): Menguak Realitas di Balik Dunia Gemerlap Selebritis. Surabaya: Prestasi Pustakaraya, 2008
[2] Michael R. LeGault, Sekarang Bukan Saatnya untuk “Blink” Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata. Jakarta: PT. Transmedia, 2006
-----------------------------------------------------------

Senin, 17 November 2008

ANAK-ANAK KORBAN KAPITALISME

Anak-anak yang peduli seakan adalah milik sejarah dan mereka seakan hendak belajar untuk merubah sejarah hubungan kemanusiaan yang timpang. Hingga sekarang dunia masihlah diwarnai berbagai kontradiksi baik lingkungan alam maupun pada hubungan antara manusia (secara ekonomi, politik, hingga kebudayaan). Sebagai orangtua yang ingin bertanggungjawab, kita tentu ingin menumbuhkan anak yang bisa menjadi makhluk yang peduli. Mereka harus kita ajari berbagi dengan sesama, dan mereka kita cegah untuk tidak menjadi makhluk yang egois.

Menumbuhkembangkan rasa kepedulian, solidaritas, dan kebersamaan sejak kecil merupakan suatu keputusan yang tepat. Naluri kepedulian itu sendiri adalah basis dari mental positif yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik anak-anak yang sangat berbanding lurus dengan potensi pertumbuhan yang sehat dan cerdas. Kenapa rasa kepedulian dan kebersamaan adalah dasar psikologis yang penting? Tentu saja karena eksistensi psikologis manusia berakar pada dunianya yang diikat dengan hubungan-hubungan antara manusia dengan orang lain dan alam. (Pertumbuhan) manusia yang tercerabut dari alam dan sesamanya adalah (sumber dari) manusia yang sakit (egois, terbelakang secara sosial dan cacat secara pengetahuan).

ANAK KORBAN IMPERIALISME
Jika kita percaya—dan harus percaya—bahwa sejarah bergerak maju menuju muara harmonisasi alam dan kemanusiaan, maka kita yakin bahwa anak-anak kita adalah benih-benih bagi peradaban masa depan. Jika sekarang ini kita masih menghadapi berbagai macam kesulitan dan gejolak dalam kehidupan, yang mencerminkan bahwa peradaban (kehidupan) kita semakin mundur, maka tidak ada orang tua—kecuali orangtua egois—yang menginginkan kondisi buruk ini akan menimpa anak-cucu kita nantinya. Semua orangtua tak ada yang berharap agar kehidupan anak-anaknya lebih terbelakang darinya. Pasti semua orangtua menginginkan anaknya lebih beradab, dengan hidup di dunia yang lebih indah dan bermakna, dibanding hidup para orangtua itu.

Karenanya ha
rus dipahami bahwa anak bukan hanya akan membentuk dirinya dan membentuk dunianya, tetapi juga dibentuk oleh dunia kehidupannya. Karenanya sebagai orangtua kita harus mengenali dunia tempat kita tinggal. Memiliki anak maju adalah dambaan setiap orang. Tetapi tentu saja masih banyak hambatan dan tantangan yang akan kita hadapi. Hambatannya adalah dunia saat ini yang penuh kontradiksi. Karenanya ada baiknya saya di bagian ini akan membawa Anda pada dunia yang tengah mengancam anak-anak kita, yang juga mengancam kemanusiaan. Dengan memahami kontradiski dan perkembangan jaman sekarang ini kita akan memahami bagaimana dunia di mana anak-anak kita tinggal.

Jika kita ingin menyelamatkan anak-anak kita, kita harus mengenali segala lingkungan dimana anak kita berada. Keresahan akan perkembangan ekonomi dan kebudayaan saat ini terhadap nasib anak-anak kita dirasakan oleh mereka yang telah mengamati perkembangan dunia. Tak sedikit pengamat (budayawan, spikolog, pemerhati anak-anak, politisi, aktivis) yang melihat bahwa ancaman perkembangan kehidupan sekarang ini sungguh-sungguh nyata bagi anak-anak. Mereka melihat adanya kemunduruan perkembangan anak bukan hanya dari para orangtua yang konservatif di dalam rumah, tetapi yang lebih parah adalah ancaman kapitalisme global.

Indonesia, sebagai negara yang berada dalam mata rantai kapitalisme global yang lemah dan terbelakang, seringkali hanya menjadi sasaran modal asing (kapitalis) yang ingin mencari keuntungan di negeri kita yang kaya raya. Kapitalisme pasar bebas (neoliberalisme) global adalah penjajahan bentuk baru (neokolonialisme-neoimperialisme—Nekolim) yang telah terbukti melakukan eksploitasi hingga kita tetap miskin dan terbelakang. Pertama, perusahaan-perusahaan asing (kapitalis) mengeruk kekayaan alam kita dengan membabi-buta, mulai dari pertambangan dan mineral (emas, batu bara, tembaga, minyak, dll) hingga hutan-hutan kita. Hal itu terjadi sejak diberlakukannya UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) di awal pemerintahan Orde Baru dan diperkuat lagi dengan UUMA (Undang-undang Modal Asing) pada tahun 2007 oleh elit-elit anti-rakyat.

Dipastikan anak-cucu kita tak dapat lagi menikmati kekayaan alam karena para politisi anti-rakyat hingga sekarang menyerahkan modal asing mengeruk kekayaan dan merusak alam kita. Mereka tak memikirkan nasib anak-anak dan generasi masa depan. Mereka adalah politisi yang ingin bermewah-mewahan, yang hanya menginginkan memberikan kemewahan pada anak-anaknya dengan uang yang didapat dari korupsi, anak-anak yang dibentuk dengan kekayaan dan membuat mereka terlena dengan gelimangan harta-benda, pada saat anak-anak dari kalangan rakyat miskin bahkan tak mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang sangat mendasar dan sederhana.

Kedua, penjajahan asing (kapitalisme-neoliberalisme) dikendalikan oleh pemilik modal yang menginginkan negara-negara Ketiga seperti Indonesia sebagai pasar. Dalam hal ini, kita diharapkan menjadi sasaran produk dan diciptakan untuk menjadi para pembeli—diciptakanlah budaya konsumtif di kalangan remaja dan anak-anak kita. Tujuannya aga keuntungan dari penjualan produk didapatkan dengan jumlah besar oleh penumpuk modal yang tujuannya memang mencari keuntungan. Untuk menciptakan budaya konsumtif, mereka mencetak kebiasaan yang melemahkan karakter produktif dan independensinya. Iklan dan promosi produk perusahaan-perusahaan melalui media menjadi kekuatan brutal yang melihat anak hanya sebagai sasaran produk atau pembeli.

Kalau mau jujur, b
ukan hanya di dunia Ketiga saja para pengamat meresahkan efek budaya massa kapitalis dan media terhadap perkembangan mental anak. Anak-anak dimanapun akan dimanfaatkan untuk menumpuk keuntungan. Merekalah pasar yang paling potensial. Kalau sejak kecil anak-anak sudah dididik menjadi kapitalistik, maka hingga tua kebiasaan itu akan terjaga—dan kapitalisme bisa langgeng. Sehingga anak-anak dan para remaja tak lagi memikirkan bagaimana membangun karakter pribadi yang produktif seperti berkarya, mencipta, dan berperan untuk melawan kontradiksi yang ada di masyarat. Mereka malah sibuk untuk menguras uang orangtuanya agar dapat membeli. Dan sayangnya, budaya konsumtif juga telah menjangkiti para orangtua.
(Nurani Soyomukti)
--------------------------------------------------------

ANAK KORBAN IKLAN

Allisa Quart melaporkan bahwa “selama tahun 2000, “pengeluaran sekunder” 21% remaja Amerika sebesar 155 milyar dolar AS untuk membeli baju, CD, dan kosmetik. Pada tahun 2002, korporasi bisnis tidak saja berusaha merayu remaja dan ABG untuk membelanjakan uangnya. Mereka juga berusaha menjerat remaja dengan lingkaran setan kerja dan belanja selama masih muda”. Tak heran jika kemudian banyak remaja yang “berusaha melekatkan diri dengan merk dan pecaya bahwa ituaalah satu-satunya cara agar apa menjadi bagian dari dunia ini. Para remaja yang seharusnya belajar untuk menjadi manusia yang produktif dan kreatif, serta penuh wawasan, pada akhirnya dididik untuk menjadi mata-mata korporasi bisnis untuk mempromosikan produk kepada anak-anak lainnya’”.[1]

Jadi benar bahwa karakter anak-anak dibentuk, sebuah proses pendidikan konsumeristik yang massif dan efektif melalui media-media kapitalisme. Pada akhirnya, anak-anak dan remaja justru menjadi para calon pembela setia sistem penindasan kapitalisme. Mereka dilahirkan dengan pikiran indivdualis, hidup hanya untuk mengurusi keuntungan da kesenangan diri sendiri. Naluri solidaritas dan kritisisme mereka ditumpulkan. Pendidikan kapitalisme di luat sekolah inilah yang mempersulit para guru yang masih punya hati nurani kesulitan membangun karakter anak-anak didiknya menjadi generasi yang bermartabat. Jadi, dapat dikatakan bahwa kapitalisme menghalangi para guru-guru untuk menjalankan perannya dengan baik di kelas.

Guru-guru memang tak mungkin memberikan pertanyaan yang remeh pada anak-anak, seperti: “apa judul
album terbaru Britney Spears dan Agnes Monica?”—yang akan segera dijawab dengan mudah oleh anak-anak. Tapi pikiran anak-anak bukan lagi terfokus pada bagaimana mereka bisa tahu gejala-gejala alam, gejala-gejala sosial. Para anak didik lebih menyukai membaca buku-buku lirik lagu daripada buku-buku pelajaran atau wawasan. Perpustakaan sepi, sementara play station, mall, dan tempat-tempat belanja serta hiburan lain kian ramai.

Globalisasi pasar-bebas saat ini menyemburkan kebiasaan/budaya oral melalui semaraknya budaya menonton setelah TV mendominasi ruang-waktu masyarakat. Di negeri ini, budaya oral juga dimassifkan lagi dengan dominannya tayangan infoteinmen yang berpilar pada budaya gosip. Gosip berpilar pada tular menular wacana/informasi antar individu tentang suatu peristiwa. Sayangnya, gosip tentang artis-selebritis tidak akan pernah berisi tentang wacana pencerahan, kecuali hanya merangsang gaya hidup dan mengumbar kemewahan orang-orang kaya yang bekerja di dunia hiburan (entertainment) tersebut. Wicara dan argumen—yang dangkal, tidak ilmiah, sekenanya, kacau, kadang emosional—berusaha menjejali pikiran dan perasaan penonton. Tentunya ini bukan pendidikan atau penyadaran, tetapi doktrin dan pembodohan. Budaya curhat dan bergosip ini menjauhkan masyarakat dari kebiasaan baca dan tulis.

Perkembangan mental anak banyak dirusak oleh TV, terutama potensi kreatif dan imajinatifnya. Memang kebanyakan orangtua bangga jika anaknya bisa menirukan para artis. Kadang ketika anak-anak kecil kita pandai menyanyikan lagu yang sering dilihat dan didengarnya melalui TV atau media lainnya, perasaan bangga muncul. Anak-anak dianggap pintar pada saat hafal nama-nama bintang sinetron, groups band dan artis-selebritis laiinya. Pada hal dibalik ketrampilan menghafal dan meniru itu ada suatu bahaya besar, yaitu bahwa kita telah menyerahkan potensi anak-anak kita dibentuk oleh iklan dan para perayu ulung agar anak-anak kita hanya bisa membeli dan meniru—dan bukannya berkreasi dan berimajinasi dengan bantuan pengetahuan dan nalar kritis.

Di negara kapitalis induk seperti Amerika Serikat (AS), hubungan antara TV, prestasi belajar, kecerdasan, dan kemampuan baca tulis telah dipelajari sejak tahun 1960-an. Menurut Kolumnis Washington Post ternama, Michael R. LeGault: “Televisi telah menjadi biang kerok resmi dan tumpuan kesal
ahan dari beberapa generasi pendidik dan orangtua yang mengkhawatirkan pengaruh buruk dari si “kotak bodoh” pada anak-anak muda yang mudah terpengaruh. Reputasi TV tenggelam, sepantasnya begitu, semakin rendah dalam tahun-tahun terakhir, sampai-sampai TV dianggap buruk untuk otak… sebuah studi yang dilakukan oleh The National Opinion Research Center dari tahun 1974 sampai 1990 menemukan bahwa “menonton televisi memperburuk kosakata” sedangkan membaca koran memperbaikinya.[2]

Tumpulnya nalar produktif semacam itu di kalangan anak-anak negeri ini sungguh menjelaskan kenapa bangsa ini semakin terbelakang dan tertinffal jauh. Bayangkan, dibanding negara-negara tetangga, kita semakin juah di belakang. Negara lain di kawasan yang sama dengan negeri kita (Asia) bahkan telah meluncur dengan tingkat kemajuannya yang cepat. India dan Cina, misalnya, telah mengalami suatu pertumbuhan yang mencengangkan dan akan menjadi penantang bangsa-bangsa di luar Asia.

Pertumbuhan suatu masyarakat itu juga berkaitan dengan anak-anak dan remajanya. Konon, ketika seorang anak di Cina ditanya “ingin jadi apa kamu, nak?”, mereka menjawab: “Aku ingin menguasai so
ftware [baca ’sofwee’]”. Ketika anak-anak di India ditanya dengan pertanyaan yang sama, mereka menjawab: “Aku ingin menguasai hardware [baca: ‘hadwee’]”. Akan tetapi, ketika kita bertanya pada anak di Indonesia tentang ingin jadi apa mereka kelak. Kebanyakan anak-anak akan menjawab: “Nowhere” [baca: ‘nowee’]—Mereka tak akan tahu kemana. Sebagian besar juga membayangkan bahwa dirinya akan jadi artis yang bisa tampil di TV, bergaya dan berpenampilan menarik. Tak heran jika ketika dibuka acara audisi “Idola Cilik”, ribuan anak-anak berdesak-desakan untuk mengikutinya. (Hal yang sama juga bisa kita gunakan untuk melihat audiusi-audisi remaja dan pemuda yang akan direkrut jadi penyanyi, model, artis, hingga pelawak—hal ini mencerminkan hilangnya gairah anak-anak dan remaja kita pada ilmu pengetahuan dan wawasan kritis untuk mengatasi dunianya).

End-note:
[1] Allisa Quart. Belanja Sampai Mati. Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. xxii
[2] Michael R. LeGault. Sekarang Bukan Saatnya untuk ‘Blink’ Tetapi Saatnya untuk THINK: Keputusan Penting Tidak Bisa Dibuat Hanya dengan Sekejap Mata. Jakarta: TransMedia, 2006, hal. 42-43

(Nurani Soyomukti)
--------------------------------------------------


ANAK KORBAN PETERPEN, KANGEN BAND, UNGU, DAN ST12

Dalam masyarakat yang serba terbelakang dan kekurangan, ilusi-ilusi untuk “naik kelas sosial” secara pragmatis merupakan gejala psikologis yang akut. Godaan akan gaya hidup mewah begitu mudah menjangkiti masyarakat yang serba terbelakang secara mental dan pengetahuan. Kebanyakan orangtua begitu tergoda untuk menjadikan anak menjadi melejit dan terkenal seperti menjadi artis, yang diharapkan akan menjadi mesin pencari uang. Anak-anak akan bekerja sebagai penghibur dan dari situ akan mendapatkan banyak uang, orangtua pasti ikut kecipratan dan mendapatkan kebangaan serta popularitas. Tetapi tidak sadarkan mereka bahwa membuat anak bekerja sebagai mesin pencari uang akan membuat mereka akan kehilangan banyak waktu untuk mencari pengetahuan dan meningkatkan rasa kepeduliannya dalam kehidupan.

Kita tahu dunia selebritis adalah dunia dimana gemerlap hidup membuat kalangan ini lupa diri, terlena, dan tersingkirkan dari kedalaman makna hidup. Dunia pesta, dunia pamer, dunia narkoba, seks bebas, liberalisme-individualisme melekat pada mereka. Sebagian kecil orang telah menjadi terkenal dengan menjadi artis-selebritis dan mereka disokong secara besar-besaran oleh pemilik modal secara finansial karena mereka bekerja untuk membuat para anak-anak dan remaja di masyarakat menjadi konsumtif—karenanya merekalah bintang iklan yang sama halnya sebagai pekerja pemilik modal agar produk-produknya laku.

Merekalah yang membuat anak-anak rusak moralnya. Gara-gara terlena dengan lagu-lagu kacangan dengan lirik-lirik cinta-cinta palsu yang
melemahkan, anak-anak kita telah malas untuk membaca buku dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk memupuk perkembangan kognitif dan nalar kritisnya. Anak-anak yang mulai menginjak sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) sekarang ini lebih suka menghafal lagu-lagu Ungu, Kangen Band, ST12, atau Cinta Laura daripada belajar berhitung. Saat mereka sedang kita dampingin belajar, di ruang tamu, kemudian di TV ditayangkan lagu-lagu semacam itu, mereka segera lari melonjak dan menghambur di depan TV sambil menyanyikan lagu-lagu yang sedang menampilkan klips-nya yang kadang vulgar (sensual). Lirik-lirik lagu-lagu pop itu sendiri, kalau mau jujur, bukanlah lirik yang sesuai dengan dunia anak-anak.

(NURANI SOYMUKTI)
---------------------------------------------------------------

Rabu, 12 November 2008

Kesejahteraan Guru:

Guru Swasta Juga Manusia

Oleh: Beny Setyawan*)
KABAR duka datang dari nasib guru swasta Indonesia. Kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bidang pendidikan hingga 20 persen (Rp 248 miliar) ternyata tidak membuat guru swasta sejahtera. Mereka harus menunggu sampai menjadi guru negeri atau berstatus pegawai negeri sipil (PNS).Hal ini dikarenakan, guru dengan status PNS akan mendapatkan gaji minimal Rp 2 juta per bulan mulai tahun 2009. Sedangkan guru swasta, sebagaimana biasanya, hanya mendapatkan gaji sesuai dengan jumlah murid yang diajar dan seberapa banyak jam mengampu mata pelajaran.Kenaikan gaji guru berstatus PNS ini sungguh timpang. Guru PNS sepertinya dimanjakan oleh pemerintah.
Sedangkan guru swasta dianggap bukan guru, sehingga tidak perlu disejahterakan. Hal ini tampak pada sistem pengajian. Belum lagi masalah kuota sertifikasi guru yang diskriminatif (75 persen untuk guru PNS dan 25 persen untuk guru swasta). Padahal, di negeri ini masih banyak guru berstatus honorer, bahkan tanpa digaji, yang mendidik anak bangsa agar dapat mandiri.Guru swasta juga merupakan cikal bakal adanya guru negeri. Di masa awal kebangkitan nasional (1908), KH Ahmad Dahlan adalah seorang guru swasta yang mendidik masyarakatnya, tanpa digaji pemerintah. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dengan sistem modern yang meniru kaum kolonial, ini merupakan bukti ketangguhan guru swasta.
Guru swasta adalah pahlawan sejak ada sekolah di republik ini.Namun, apakah nasib guru swasta hanya sebagai pahlawan saja, padahal mereka juga butuh hidup, menghidupi keluarganya, dan membayar pajak kepada pemerintah, di tengah gaji yang minim? Tidak adilnya sistem penggajian yang dilakukan pemerintah hanya akan makin mengerdilkan fungsi dan peran guru swasta dalam mendidik bangsa Indonesia. Guru swasta dianggap sebagai orang biasa yang tidak membutuhkan gaji, dan cukup dihibur dengan gelar pahlawan.Gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi guru swasta hanyalah hiburan di tengah ketidakberdayaan. Sebutan ini juga sepertinya digunakan (alat) oleh pemerintah agar guru tidak banyak bersuara dan melakukan protes.
Sebutan ini sepertinya dikonstruksi sedemikian rupa agar tugas guru adalah mendidik tanpa mendapatkan gaji yang layak. Dan yang patut mendapatkan kenaikan gaji hanyalah guru yang mengabdikan diri sebagai ‘’hamba negara’’ (PNS).Kampanye GratisGuru PNS dianggap sebagai orang yang patut dikasihi dan digaji secara layak. Hal ini dikarenakan dengan penggajian yang layak suara mereka akan dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan Pemilu 2009. Lebih dari itu, dengan sistem komando sebagaimana Orde Baru ketika gaji guru dinaikkan, maka akan makin banyak guru yang simpati dengan pemerintahan. Pada akhirnya mereka akan dipilih kembali karena telah membawa aspirasi guru (PNS).
‘’Kampanye gratis’’ menggunakan uang negara, dengan kedok kenaikan gaji guru, untuk Pemilu 2009 sangatlah kentara. Salah satu indikatornya adalah pemerintah berusaha menaikkan anggaran pendidikan 20 persen menjelang akhir massa jabatan.Sebelumnya pemerintah selalu berkelit ketika dimintai keterangan mengenai anggaran pendidikan minimal 20 persen. Anggaran 20 persen akhirnya dipenuhi pemerintahan SBY-JK menjelang Pemilu 2009, walaupun pemerintah harus kembali berutang kepada lembaga donor atau memangkas anggaran bidang lain.Hal lain yang menjadi indikatornya adalah kenaikan anggaran pendidikan 20 persen tidak serta merta menjadikan sekolah gratis. Pemerintah berkelit tidak akan menggratiskan sekolah.
Pemerintah hanya akan ingin meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan tetap saja harus bayar. Tidak ada yang gratis di negeri ini (no free lunch).Maka tidak aneh jika sekarang marak demonstrasi yang dilakukan oleh guru swasta agar hak-hak mereka disamakan. Mereka menuntut kenaikan gaji. Mereka juga menuntut segera di-PNS-kan, jika pemerintah tetap tidak mau menyejahterakan guru swasta. Guru swasta memang harus tetap bersabar dan terus menunggu kehadirian ’’Semar’’: pemimpin bijaksana yang mau melihat realitas dengan nyata.Guru swasta juga harus terus berpuasa dan menahan keinginan (kebutuhan) hidup yang mendesak.
Kemiskinan akan terus menghantui setiap tidur mereka. Anak-anak mereka akan tetap menangis karena kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Guru swasta juga manusia. Mereka butuh kesejahteraan dengan gaji yang layak. Hal ini dikarenakan mereka juga pendidik bangsa. Bahkan keberadaan mereka lebih tua daripada usia negeri ini.Pemerintah harus berperilaku adil terhadap guru. Tidak membedakan guru swasta dan guru negeri.
Jika pemerintah masih saja berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa guru PNS harus sejahtera dan guru swasta dimiskinkan, maka kehancuan negeri ini akan semakin dekat. Hal ini dikarenakan pemimpin negeri ini lalim dan menyia-nyiakan guru swasta yang notabene adalah pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Wallahu aílam. (32)—
*)Benni Setiawan, pemerhati pendidikan, penulis buku ’’Manifesto Pendidikan Indonesia’’ dan ’’Agenda Pendidikan Nasional’’.

Kenaikan Gaji Guru:

Tanggapan Para Guru









Beberapa waktu lalu saya sempat menanyakan tanggapan para guru terhadap kenaikan gaji guru PNS minimal 2 juta yang akan dijanjikan tahun 2009 oleh presiden SBY... Pertanyaan saya lakukan secara langsung maupun tidak langsung seperti via sms maupun telfon. Saya sengaja mengacak antara guru negeri maupun guru swasta yang sebagian besar adalah guru-guru muda yang bersemangat.

Pertanyaan yang saya ajukan adalah seperti ini: "Apakah penambahan gaji guru PNS minimal 2 juta yang akan diberlakukan mulai tahun 2009 akan meningkatkan kualitas guru, anak, dan pendidikan?"

Inilah jawaban dan komentar dari para guru tersebut:

Pak Sunardi (Kepala Sekolah Negeri):
“Insyaallah demikian”.

Umi (Bu Guru SD Negeri):
“Itu masih tahap penggodokan, belum pasti kalau belum tahun 2009. Tapi jika itu bener tentu saja hal terse
but akan semakin menambah motivasi guru untuk masuk sekolah, soalnya dia tak repot cari kerjaan sambilan. Dan hal itu dapat berpengaruh positif terhadap pembelajaran kepada murid, soalnya guru akan fokus pada proses pendidikan”.

Yessi Erlina Wati (Bu Guru Sejolah Swasta):
“Kalau menurut pendapatku, iya. Dengan dinaikkannya gaji, guru akan tambah semangat menjalankan kewajibannya, apalagi di dukung prasarananya lengkap”.

Eko Prasetyo (Pengamat Pendidikan, Pengelola Rumah Pengetahuan Amartya, penulis buku “GURU—MENDIDIK ITU MELAWAN!”):
“Nggak ada, yang salah bukan gajinya, tetapi cara pemerintah memperlakukan pendidikan”.

Shobibatur (Guru Sekolah Swasta, Mahasiswa):
“Tak ada jaminan. Semua tergantung pada sistem pendidikan (kurikulum, KBM, intruksi antara guru dan murid). Last but not least, bagaimana individu itu sendiri”.

Yuyun Ernawati (Bu Guru Sekolah Swasta):
“Saya berpendapat ia karena dengan bertambahnya kesejahteraan guru, motivasi mengajar dan tanggungjawab terhadap pekerjaannya semakin meningkat. Tidak malas, terutama penambahan kesejahteraan pada guru swasta”.

Nuriani (Pak Guru Sekolah Swasta):
“Sangat tidak ada peningkatan dalam pengajaran, mestinya pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru yang tidak tetap”.

Yuyun (Guru Sekolah Swasta):
“Masalah gaj
i kalau ditambah ok-ok saja. Tapi yang ngenes bagaimana dengan guru GTT [guru tak tetap]. Pada hal sekarang jadi PNS kalau gak masuk negeri gak boleh, sedangkan mau masuk aja harus punya uang dan harus punya joki. Malahan kalau ntar PNS gajinya naik, jangan-jangan atasan juga minta dinaikkan? Kalau menurutku mendingan memikirkan penyaringan GTT yang kompeten terus dinegerikan...”
----------------------------------

Kenaikan Gaji Guru:

Setelah Guru Sejahtera,
Anak Bodoh, dan Rakyat Miskin

Oleh: Nurani Soyomukti,
penulis buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Arruzzmedia, Yogyakarta—2008); pengelola Yayasan TABUR (Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur.

ADA asumsi yang hingga saat ini masih dipercaya oleh kebanyakan orang bahwa jika pendidikan maju maka rakyat suatu negara juga akan maju. Kata ‘maju’ di sini barangkali dapat diuraikan menjadi lebih jelas, misalnya mengacu
pada kondisi rakyat yang sejahtera (serba berkecukupan), pengetahuan dan teknologi berkembang cepat, budaya dan kepribadiannya bermartabat.

Dilihat dari kondisi ‘kemajuan’ itu tentu saja negara kita menunjukkan yang sebaliknya. Dilihat dari kesejahteraan, angka kemiskinan kian naik dan tingkat ketertekanan akibat kemiskinan juga menunjukkan bahwa angka kriminalitas, kekerasan, dan amoralitas semakin merajala. Kemiskinan adalah sebab dari kerusakan moral dan mental. Bukan moral yang menyebabkan mereka miskin, tapi kemiskinanlah yang menyebabkan mereka tertekan dan tak lagi bersikap manusiawi. Bukan karena kurangnya moral atau agama yang menyebabkan kejahatan, tetapi karena mereka miskin dan tidak diberi pendidikan.

Ditinjau dari pengetahuan, rakyat kita juga tak lagi mempercayai kebenaran yang didapat dari pengetahuan atau aktifitas berpikir ilmiah. Sekarang ini, dalam konteks itu, kebanyakan sekolah bahkan telah gagal membentuk cara berpikir ilmiah. Anak-anak (mulai dari SD hingga perguruan tinggi), misalnya, ketika di kelas diajarkan tentang peristiwa alam yang dialektis dengan hokum sebab-akibatnya, misalnya kenapa terjadi gempa bumi, tsunami, gerhana, dan lain-lain. Di kelas mereka sangat menerima logika ilmu pengetahuan alam tentang kejadian-kejadian semacam itu.

Tetapi ketika mereka keluar dari kelas atau sekolah, pola pikir semacam itu kembali menghilang. Buktinya, ketika terjadi peristiwa alam seperti tsunami, gempa, dan gerhana, mereka masih banyak yang kembali pada penjelasan-penjelasan tak ilmiah (mistis, gaib, dll). Celakanya, sekolah justru semakin kalah dengan propaganda mistik yang datang dari berbagai penjuru, mulai dari pola pikir guru di kelas yang feodal, juga dari media (terutama televisi).

Penjelasan anti-ilmiah dan irasional kembali menggerogoti ilmu pengetahuan yang telah tertanam di
benak pelajar pada saat mereka menghadapi ketegangan dan kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam kasus Unas yang dianggap berat karena kurangnya kesiapan dalam menjawab soal-soal yang harus dijawab dan nilai rata-rata yang ditetapkan pemerintah untuk dicapai para peserta Unas meningkat, maka tidak sedikit yang menempuh jalan pintas.

Berita menggembirakan tentang kesejahteraan guru sudah diumumkan pemerintah. Para guru dijanjikan gaji minimal Rp 2 juta mulai tahun 2009 nanti. Sebuah janji kesejahteraan bagi guru yang pertama kali diutarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pidato kenegaraan sebelum peringatan 63 tahun usia kemerdekaan Indonesia itu tentunya membuat wajah para guru sumringah. Mendiknas Bambang Sudibyo menyampaikan bahwa gaji Rp 2 juta itu merupakan uang pangkal bagi guru dengan pangkat terendah meski yang bersangkutan belum mempunyai sertifikat ataupun belum memiliki ijazah S-1.


Para guru tak sabar menunggu datangnya tahun baru 2009 karena mulai waktu itulah gaji minimal guru khusus PNS dengan jumlah gaji minimal Rp 2 juta mulai berlaku. Pertanyaan yang kemudian muncul cukuplah klasik: benarkah kesejahteraan guru akan meningkatkan kualitas para pendidik sekaligus kualitas pendidikan kita?

Hak Universal Guru
Yang perlu diingat bahwa kesejahteraan gaji guru—sebagai mana gaji-gaji pekerja lainnya—adalah hak-hak universal yang memang harus dilakukan. Jadi, jangan di
lihat bahwa kenaikan guru adalah hasil dari ‘kebaikhatian’ dari pemerintah Yudoyono. Memang sudah sepatutnya hak-hak guru untuk hidup layak dan sejahtera harus diberikan. Seharusnya hak itu tidak diberikan sekarang atau nanti, apalagi diberikan menjelang pemilihan umum 2009 di mana terkesan bahwa presiden Yudoyono ingin menarik simpati dari para guru dan PNS agar ia terpilih lagi.

Penjaminan hak-hak guru akan kesejahteraan telah jauh-jauh hari menjadi tuntutan universal masyarakat di seluruh dunia. Bahkan untuk menghormati hak-hak guru, PBB telah merekomendan pemberian kesejahteraan itu dalam Recommendation concerning the Status of Teachers oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco), dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam sebuah konferensi khusus antarpemerintah, tepatnya pada tahun 1966.

Di dalamnya, pasal 60 memaksimalkan jaminan kesejahteraan bagi guru. Guru tetap/penuh waktu dengan guru tidak tetap/paruh waktu/honorer mempunyai hak memperoleh pengupahan yang sama secara proporsional, hak yang sama untuk menikmati kondisi-kondisi dasar kerja, hak liburan, libur sakit, libur melahirkan, termasuk jaminan sosial dan pensiun.

Kesehatan guru juga mendapat perhatian. Pasal 53 rekomendasinya menyebutkan, guru-guru hendaklah disyaratkan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala yang harus disediakan secara cuma- cuma. Bahkan, ketika sakit guru berhak mendapatkan izin dengan tetap memperole
h bayaran penuh (Pasal 101 ayat 1). Tidak hanya izin sakit, guru pun berhak izin untuk alasan-alasan pribadi yang memadai dengan tetap memperoleh bayaran penuh (Pasal 100).

Pasal 126 Ayat 1 menyebutkan, Para guru hendaklah dilindungi oleh aturan-aturan jaminan sosial mengenai semua kemungkinan yang termasuk di dalam Konvensi Jaminan Sosial (standar-standar minimum) ILO tahun 1952, yaitu perawatan medis, tunjangan kesehatan, tunjangan manula (manusia usia lanjut), jaminan kecelakaan pekerjaan, tunjangan keluarga, tunjangan kehamilan, tunjangan kecelakaan, tunjangan kecacatan, dan tunjangan bagi mereka yang tidak terkena bencana.

Lalu apakah janji Yudoyono untuk memberi gaji guru PNS minimal 2 juta mulai tahun depan akan menjamin kualitas guru kita?

Adalah terlalu naif jika satu-satunya cara yang dianggap meningkatkan kualitas guru tak lain hanyalah dengan meningkatkan bayaran atau gaji guru. Anggapan seperti itu tidak melihat guru tidak bisa kreatif dan berkembang karena diawasi oleh petugas yang menyebut dirinya pengawas guru dan penddikan. Yang dirisaukan bukan guru itu mengajarkan pengetahuan yang tidak diperkenankan tetapi lembaga pengawasan telah mematikan fungsi pendidikan yakni mendidik siswa tentang makna kemerdekaan dan bagaimana mewujudkannya.

Anggapan bahwa cara meningkatkan kualitas guru dengan cara ditingkatkannya jenjang pendidikan calon guru dan intensifikasi program pelatihan. Kemudian solusi yang didasarkan pada keyakinan bahwa proses pendidikan adalah aktivitas yang sifatnya teknis, bukan penanaman ideologi juga ditolak dalam buku ini. Dari pemahaman ini, guru bukan hanya ujung dalam soal pendidikan, melainkan juga akar dari masalah-masalah pendidikan dasar.

Las but not least, sudah terlalu lama guru berdiam diri terhadap apa yang dialaminya. Walau UU Guru telah hadir sejak tahun 2005 lalu, itu bukan jaminan kebebasan dan kesejahteraan bagi pahlawan tanpa tanda jasa ini. Profesi guru bukan hanya kurang dihargai tetapi juga kerapkali dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi-politik kekuatan tertentu. Buktinya kini semakin banyak perkumpulan guru di luar PGRI warisan Orde Baru. Selain itu, metode aksi massa yang dipilih untuk memper
juangkan hak-haknya bukan lagi cara yang asing. Ada potensi bagi para pendidik ini untuk mengajarkan semangat juang bagi anak didiknya ketika mereka kembali ke kelas dan mengajak serta mmandu murid-murid untuk melihat apa yang sebenarnya di lingkungan alam dan lingkungan sosial. Sehingga, ada tujuan dalam dunia pendidikan untuk membebaskan diri dari kungkungan penindasan.

Diharapkan nantinya mengajar tidak sekedar menyuruh murid menghafal, juga bukan hanya memindahkan ‘pengetahuan’, tetapi juga mengenalkan realitas sejati, bukan sekedar melatih menipu.***
------------------------------------------------------------

Selasa, 11 November 2008

Dimuat di "SUARA KARYA" Edisi Selasa (11 Nopember 2008):



Konstruksi Baru Karakter Pahlawan
Oleh Nurani Soyomukti *)

Betapa sulitnya mencari pahlawan di tengah-tengah kebuntuan ekonomi-politik yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kita butuh pahlawan-pahlawan yang berani memperjuangkan nasib rakyat, berani mengambil risiko, dan berani mengatakan realita secara benar dan memperjuangkan kebenaran itu sendiri.

Ada hambatan sejarah yang menyebabkan masyarakat kita (terutama para elitenya) tidak berani mengatakan kebenaran secara tegas, peragu, plintat-plintut, dan pengecut. Hal ini lahir dari sisa-sisa feodalisme yang belum tuntas. Karena, ketika industrialisasi dan kapitalisme masuk melalui kolonialisme, sesungguhnya tatanan feodal kerajaan tidak pernah dihancurkan oleh penjajah, tetapi justru diperalat untuk memaksimalkan keuntungan. Industrialisasi dan modernisme diterima, tapi unsur enlightment-nya tidak dilakukan.

Memang ada pahlawan yang berani melawan penjajah sejak kedatangannya di Indonesia, tetapi sedikit. Hal ini juga merupakan kesalahan sejarah peradaban kita. Kapitalisme dan industrialisasi seharusnya dapat dilalui oleh masyarakat kita sendiri, bukan dicangkokkan oleh penjajah asing.

Politik-ekonomi Kerajaan Majapahit, misalnya, sebenarnya telah mengarah pada corak produksi merkantilistik yang merupakan awal-awal masyarakat industrialisasi. Hal itu ditandai dengan membesar dan meluasnya bandar-bandar yang merupakan tempat perdagangan dari berbagai belahan dunia.

Sayangnya, kehancuran Majapahit dan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak mendorong pusat-pusat ekonomi bergeser ke daerah pedalaman, kembali ke corak produksi tanah. Hal inilah yang menyebabkan feodalisme justru makin kental hingga akhirnya ketika penjajah asing masuk, ia tidak dihancurkan tapi dimanfaatkan.

Pada zaman penjajahan Belanda, para bangsawan dan priayi dididik pendidikan Barat, khususnya tentang industrialisasi dan modernisme dalam rangka mempercepat infrastruktur ekonomi-politik di Indonesia. Tetapi, kebangsawanan ini tetap dijaga untuk mempertahankan ketertundukan rakyat jelata. Para turunan priayi yang menjadi pegawai-pegawai Hindia Belanda adalah kelas sosial istimewa meski pada dasarnya mereka adalah kelas yang berfungsi sebagai alat.

Fenomena elite sebagai alat kaum modal ini pada dasarnya masih berlanjut hingga sekarang, ketika rezim yang berdiri di Indonesia (mulai Orde Baru hingga menjelang pilpres putaran kedua ini) akan menjadi tatanan politik-ekonomi yang tidak lepas dari cengkeraman ekonomi kapitalis yang sudah sampai tahap neoliberal. Jelas bahwa kapitalisme dan modernisasi (industrialisasi) Indonesia tidak menghancurkan tatanan feodal. Dengan demikian, kekuatan produktifnya tak berkembang, borjuisnya bangkrut, parasit, korup, para elitenya hanya jadi antek dan penjilat pada borjuasi (pemodal) Barat yang lebih serius iman borjuisnya.

Inilah penjelasan material-historis watak bangsa kita berkaitan dengan kegagalan national and character building-nya. Dan, pemimpinnya selalu tidak memiliki prinsip politik yang tegas. Tindakan politiknya tidak bisa dipegang.

Feodalisme adalah corak produksi dan tatanan masyarakat yang bertumpu pada tanah sebagai alat produksi utama, sehingga merupakan fase masyarakat di mana perdagangan dan pasar bukanlah aktivitas utama. Struktur sosial feodal membagi dua kelas utama yang berhadap-hadapan secara ekonomi. Yaitu, kelas tuan tanah (raja-raja, bangwasan) yang menguasai alat produksi (tanah) dengan petani hamba, dan rakyat jelata yang tidak bertanah dan harus membayar pajak (upeti) kepada raja atas apa yang telah dihasilkannya.

Dengan demikian, akumulasi hasil kerja (produksi) dimiliki oleh tuan-tuan tanah yang akhirnya bisa hidup mewah dengan membangun istana. Istananya dipagari dengan benteng dan di dalamnya ada taman bermain sendiri, tempat selir-selir sendiri, dan berbagai kesenangan yang lain. Sementara itu, tenaga produktif rakyat tidak bisa dinikmatinya sehingga mereka hidup menderita.

Feodalisme Indonesia berbeda dengan di Barat. Di Barat dan bahkan kawasan Amerika Latin, feodalisme melahirkan hubungan kepemilikan yang tegas, di mana tanah-tanah benar-benar dimiliki oleh tuan-tuan (baron-baron di Eropa, hacienda di Amerika Latin). Sedangkan rakyat jelata berfungsi sebagai petani hamba yang tidak memiliki tanah sama sekali.

Inilah yang menyebabkan pertentangan kelasnya sangat besar. Dan, ketika pada masa selanjutnya terjadi perubahan, tatanan feodal benar-benar dihancurkan, mulai dari corak produksinya hingga hasil-hasil budaya dan pemikirannya. Ketika liberalisme hadir, ia lahir secara tegas, tidak setengah-setengah dan tidak berpijak di dua kaki, konsisten dan tidak peragu, karena kondisi material ekonominya memang mendukung watak itu.

Kita bisa melihat karakter masyarakat kita saat ini. Corak produksi kapitalisme pasar bebas telah menyeruak dengan budaya dan gaya hidup yang ditawarkannya. Tetapi, karena elite borjuis Indonesia tidak kuat dan tidak kreatif, maka secara nyata selalu kalah dengan borjuis-kapitalis asing yang kuat dan konsisten ide-ide liberalnya.
Sementara itu, masyarakat semirenaisans Indonesia mendorong untuk berpikir setengah feodal dan setengah liberal. Atau, pada kenyataannya, Indonesia telah terjerat pada sistem ekonomi liberal, tetapi karakter, semangat, dan budayanya masih feodal.

Karakter tersebut tampaknya juga masih terwariskan di pemerintahan sekarang ini. Kita mungkin masih bisa berharap atas sikap moral pemimpin yang, misalnya, antikorupsi. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada langkah politik yang direncanakan dan dibuat untuk menghukum para koruptor dan pelanggar HAM. Kemungkinan besar juga masih memakai cara-cara kompromi dan mempertimbangkan watak-watak feodal yang berupa rasa kasihan, persekongkolan berdasarkan perasaan masa lalu, atau bahkan kompromi dalam makna pertukaran bargaining politik.

Menjelang Pemilu 2009 dapat kita bayangkan kadar pragmatisme elite kita yang makin parah. Demi mencapai kemenangan, mereka tak lagi akan berpikir tentang pengorbanan, tetapi hanya berpikir bagaimana caranya menang dengan jalan apa saja. Wallahu'alam!***
-----------------------------------------
*)Penulis adalah perawat pustaka di Yayasan Tabur(Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur

Sabtu, 08 November 2008

Pengantar Penulis, dari buku BUNG KARNO DAN NASAKOM:

Melanjutkan Ajaran NASAKOM Bung Karno

Judul Buku: “BUNG KARNO dan NASAKOM”
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi Book, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2008
Tebal: xii+287 halaman
Harga: Rp 38.000,-


“Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat—kafir; radio dan kedokteran—kafir; pantolan dan dasi dan topi—kafir; sendok dan garpu dan kursi—kafir; tulisan Latin—kafir; ya bergaulan dengan bangsa yang bukan Islam-pun—kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi... dupa dan kurma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan mengenggam tasbih yang selalu berputar—dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan komoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”
(Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 340)

***
“Islam harus berani mengejar jaman… bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat ‘mengejar’ seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman—itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang-gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat aja
ran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936, dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?
… Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syari’at? Lupakah kita, bahwa hukum Syari’at itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau jaiz ini! Alangkah baiknya, kalau ia ingat, bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh berradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka—perjuangan inilah yang Kemal Ataturk maksudkan, tatkala ia berkata, bahwa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi Islam adalah perjuangan’. Islam is progress: Islam itu kemajuan!”
(Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga).
Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 334)


***
“Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka—nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari
nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan—nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti… Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup”.
(Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 5-6)

***
“Teori sosialismelah yang membawa kita pada pengertian tentang keadaan-keadaan objektif di dalam masyarakat Indonesia di masa sekarang dan masyarakat dunia. Teori sosialismelah yang memberi pengetahuan pada kita bahwa tingkatan Revolusi kita sekarang tak mungkin lain daripada tingkatan Nasional. Teori sosialismelah, dan bukan teori borjuis, yang menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme”.
(Bung Karno, “Sarinah”, hal. 298)

***
“Siapa—kalau ia benar-benar Manusia, dan bukan makhluk tanpa arah—yang membantah kebenarannya benang merah dalam ‘Manifesto Komunis”, bahwa sebagian besar ummat manusia ini ditindas, di-“onderdrukt” dan di-uitgebuit” oleh sebagian yang lain, sehingga akhirnya ‘kaum proletar tak akan kehilangan barang lain daripada rantai belenggunya sendiri. Mereka sebaliknya akan memperoleh satu dunia baru. Hai Proletar di dunia, bersatulah!’?...
(Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid II.
Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1965, hal. 362)


***
“... kusebut Pak A
limin dan Pak Muso. Kedua-duanya sering bertindak sebagai guruku dalam politik ketika aku tinggal di rumah Pak Cokro... Orang Jawa mempunyai suatu peribahasa, ‘Gurumu harus dihormati, bahkan lebih dari orangtuamu sendiri...
... dia adalah salah-seorang guruku di masa mudaku. Aku berterimakasih kepadanya atas segala yang baik yang telah diberikannya kepadaku. Aku berhutang budi kepadanya.
Yang sama beratnya untuk dilupakan ialah kenyataan, bahwa dia adalah salah seorang perintis kemerdekaan. Seseorang yang berjuang untuk pembebasan tanah-airnya, berhak mendapatkan penghargaan dari rakyatnya...”
(Bung Karno. “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”,
Jakarta: Gunung Agung, 1966, hal. 99-100)


***
“Fakta bahwa kita masih dijajah belum banyak dipahami oleh rakyat atau para pimpinan negeri ini, tetapi hanya sedikit para politisi dan aktivis politik dan segelintir ekonomi. Dan upaya untuk menyembunyikan fakta adanya penjajahan ini juga dilakukan terus-menerus, baik melalui pelajaran sejarah di sekolah maupun dalam berbagai wacana yang berkembang. Bahkan tak jarang para ekonom yang ada, terutama para ekonomi Liberal, yang mengakui bahwa babagan imperialisme adalah bagian dari sejarah ekonomi di Indonesia. Boediono, menteri keuangan di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK), saat memaparkan paper dan pidato pengukuhan guru besarnya di UGM pada tahun 2007, misalnya, sama sekali menghapus fakta imperialisme dalam sejarah ekonomi Indonesia dalam tuliasnnya yang sangat panjang. Ini adalah contoh kecil bagaimana kemunafikan elit kita, entah sengaja menutupi atau memang karena kebodohan”.
(Nurani Soyomukti, “Bung Karno dan Nasakom”, hal. 15)


***
Sejarah perlawanan sengaja hendak dihapus oleh kekuasaan Indonesia yang curang. Sejarah tokoh juga disederhanakan sebagai sejarah kesuksesan dan keagungan pribadi, dan bukan sejarah bangsa yang di dalamnya ada sejarah rakyat (yang melawan) karena penindasan. Karenanya menghapus fakta sejarah perlawanan juga dilakukan dengan menghapus sejarah penindasan.

Sejarah penindasan itu salah satunya adalah sejarah penjajahan, kolonialisme dan imperialisme—yang untuk konteks saat ini masih terjadi dan berlangsung. Fakta itu disembunyikan agar rakyat tidak mengetahui bahwa kesengsaraan mereka disebabkan oleh sesuatu yang sebenarnya bisa dikenali. Imperialisme begitu nyata: pengurasan dan perampasan aset-aset rakyat mulai kekayaan tambang dan mineral, perusahaan-perusahaan komunikasi dan perbankan, hingga berbagai sumber ekonomi yang menguasai hidup orang banyak. Penjajahan itu juga dapat bertahan, memiliki kaki dan tangan, punya anteknya di pemerintahan, lembaga legislatif, partai politik, hingga lembaga swadaya masyarakat.

Dan salah satu cara menyembunyikan fakta penjajahan era sekarang (penjajahan baru)—yang disebut Bung Karno dengan istilah NEKOLIM (Neo-kolonialisme dan Neo-imperialisme)—adalah dengan menghilangkan memori rakyat (khususnya anak-anak muda) pada sejarah perlawanan terhadap imperialisme yang dilakukan oleh para pejuang di masa lalu. Melupakan sejarah berarti melupakan jati diri kita yang sebenarnya. Kehilangan jati diri membuat kita bimbang dan ragu akan keberadaan diri sendiri, yang membuat kita dipermainkan oleh sesuatu kekuatan dari luar—yang menjajah kita dengan wacana-wacana dan ide-ide kebudayaannya. Anak-anak muda begitu fasih menyebut nama-nama artis dan menghafal lirik lagu-lagu, tetapi untuk memahami dan membaca sejarah (perlawanan) bangsanya mereka sulit. Dan memang ada upaya untuk menghilangkan sejarah dari anak-anak itu.

Jika buku ini dimaksudkan untuk melontarkan fakta sejarah, yang jarang dilontarkan, mungkin tujuannya adalah untuk memberikan inspirasi atau semacam gambaran tentang apa yang dilakukan oleh para pejuang bangsa ini di masa lalu. Kita yang telah menikmati hasil dari perjuangan itu, memang masih menghadapi kontradiksi yang sama: penjajahan yang mungkin modelnya berbeda, tetapi tetap saja membuat bangsa kita kian mundur dan tertinggal dibanding bangsa-bangsa lain yang mulai bangkit.

Jika buku ini adalah buku sejarah, maka pertama-tama saya terbebani oleh ketakutan kalau-kalau saya tidak mampu menggambarkan sejarah secara objektif. Karena itulah saya berusaha untuk memilih ’enjel’ berupa sejarah perlawanan Bung Karno dan sejarah perlawanan rakyat, terutama sisi radikalnya. Bisa jadi cara ini beresiko bahwa saya akan memaafkan kisah-kisah individual dari tokoh yang merugikan bangsa. Tidak! Saya tidak mau masuk ke wilayah-wilayah individual yang kadang memberikan citra negatif bagi tokoh itu. Saya mendengar berbagai macam tuduhan dan cerita tentang sisi negatif Bung Karno dari orang lain. Misalnya, Bung Karno itu ”ngacengan” dan tak tahan jika melihat perempuan, Bung Karno pengecut dan antek penjajah Jepang, Bung Karno narsis, Bung Karno itu Jawa kuno yang suka mistik dan seperti raja-raja yang suka mengagung-agungkan diri, dan lain-lain, dan seterusnya.

Saya punya pandangan bahwa, jika kita ingin memberikan inspirasi pada kaum muda dari kisah perjuangan tokoh-tokoh bangsa ini. Ada baiknya kita menonjolkan berbagai kisah yang membuat mereka percaya diri dan menirunya. Fakta bahwa Bung Karno adalah tokoh radikal, Kiri, idealis dan romantis harus kita ketahui dan harus diketahui pula oleh anak-anak bangsa kita.

Bung Karno tetaplah seorang yang radikal hingga menjelang akhir hayatnya. Ia tetap melihat ancaman imperialisme terhadap Indonesia—dan kemampuan itu tak dimiliki oleh para pimpinan negeri ini sekarang. Bung Karno adalah orang yang demokratis karena tidak hitam-putih dalam melihat persoalan. Cita-cita NASAKOM (Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme) adalah warisannya, wasiatnya, yang harus kita terima sebagai senjata pemersatu dan alat membangun negeri. Ketiga ide(ologi) itu adalah produk sejarah (perlawanan) bangsa ini sepanjang bangsa ini lahir dan terus saja berhadapan dengan penjajahan. Selama penjajahan ada, maka NASAKOM akan tetap menjangkiti kita—entah sadar atau tidak!

Memahami dan mempraktekkan nasionalisme secara benar, Islam secara benar, dan komunisme secara benar, serta tidak mempertentangkan antara ketiganya, akan menghasilkan energi atau kekuatan anti-penjajahan yang luar biasa. Tetapi, mempraktekkan ketiganya secara tidak benar, atau hanya memanipulasi ketiganya untuk kepentingan politik sempit, justru akan mempercepat bangsa ini menuju lubang pembantaiannya.

Saat ini kita menghadapi nasionalisme palsu dan sempit, nasionalisme untuk membohongi rakyat! Saat ini kita menghadapi Islam palsu dan sempit, yang hanya kelihatan wajah teroristiknya, formalitas kosongnya, hingga Islam politik yang berwajah memalukan! Sata ini kita berhadapan dengan orang-orang yang sok komunis dan menggunakan komunisme untuk menakut-nakuti di satu sisi, atau anak-anak muda yang sok komunis!

Maka, dengan memahami pikiran Bung Karno kita akan mengetahui siapakah nasionalis sejati, Islamis sejati, dan komunis sejati—yaitu mereka yang memiliki semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari tangan imperialis, yang menghormati perbedaan kepercayaan dan suku, yang tidak memaksakan cara-cara kekerasan yang tidak efektif, yang terlalu jauh meninggalkan kesadaran massa!

Pertama-tama, saya akan mengajak pembaca untuk memahami kontradiksi sejarah bagaimana perkembangan masyarakat Indonesia sebelum Bung Karno muncul dan saat Bung Karno hidup—alam penindasan dan penjajahan. Kedua, saya akan menggambarkan bagaimana riwayat hidup Bung Karno, dari masa kecil hingga tua. Ketiga, saya akan membawa pembaca pada inti dari apa yang ingin saya sampaikan dalam buku ini, yaitu konsep NASAKOM menurut Bung Karno.

Dari uraian itu, saya berharap akan muncul uraian mengenai apa yang dipahami oleh Bung Karno tentang nasionalisme, Islam, dan Komunisme. Lalu penting pula untuk mengetahui latarbelakang, baik objektif maupun subjektif, kenapa Bung Karno menawarkan konsep NASAKOM. Tesis saya adalah: karena Bung Karno anti-imperialis, atau setiadaknya Bung Karno adalah orang yang mendefinisikan atau menyandarkan eksistensinya dengan cara menempatkan diri sebagai orang besar—dan untuk menjadi besar ia harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat (rakyat), kebutuhan rakyat adalah melawan imperialisme. Makanya, Bung Karno akan tetap dikenang rakyat karena kebesarannya.

Tabik! Dan selamat membaca!
-------------------------------------------------------